30

146 13 0
                                    


"Selamat ya adikku, semoga ilmumu bermanfaat buat banyak orang."

Alryan, kakak lima menitku penuh haru memelukku erat di depan ruang sidangku.
Aku lolos dan tinggal menunggu wisuda untuk menyandang gelar sarjana psikologi.
Malika dan Sita yang sudah lebih dulu sidang beberapa jam lalu, juga sudah di nyatakan lolos.

"Makasih Yan, akhirnya kelar juga. Dan gak jauh² banget juga kan dari kamu."

Penuh tawa dan bangga pada diriku sendiri, aku memukul pelan lengan Alryan.

"Iya wes iya, ya udah, kedepan yuk, pasti bentar lagi ada calon pak dokter sampai sini."

Alryan merangkul bahuku melangkah ke arah depan kampus di ikuti Lika sedikit di belakangku.

"Ra, kata mas Amar makan²nya sekalian habis wisuda aku aja ya, piye?"

"Heemmmm, ya udah gak masalah. Tapi sekarang kamu traktir kita makan ya Yan, ke geprek depan aja, ya?" , Pintaku layaknya anak SD.

"Oke, tunggu adikmu bentar dia udah otewe soalnya."

Aku, Ryan dan Malika duduk di dekat parkiran mobil menunggu si bungsu Altair yang katanya sudah perjalanan dari kampusnya. Oh ya, Sita memang sudah meninggalkan aula sejak tadi, begitu keluar sidang. Pastinya menghampiri genk juga kekasihnya.

"Gimana Mbak?" , Tanpa salam Altair langsung bertanya.

"Salam dulu lah Dek." , Peringat Alryan dan Tair pun lalu bersalim pada kami.

"Alhamdulillah langsung lolos Tair. Makasih, semua berkat doa adik kecil ini kan." , Aku memeluk Altair.
Tak peduli pandangan seisi kampus yang jelas belum mengenal sosok Altair.

"Alhamdulillah, selamat mbak Ra. Aku bangga sama Mbak."

"Mbak Lika gimana?" , Altair melepas pelukan kami, namun masih merangkul bahuku.

"Alhamdulillah aku juga lolos Tair, tinggal tunggu jadwal wisuda aja."

"Selamat ya mbak Lika."

"Makasih Altair. Kita jadi makan gak nih?"

"Hahaha...dasar, cewek² tukang makan. Tair, aku diporotin suruh traktir mereka geprek, ayolah kita makan."

Kami berjalan kaki ke kedai geprek depan kampus persis. Dan masih sama, aku yang berada dalam rangkulan Altair masih menjadi pusat perhatian penghuni kampus yang berlalu lalang.
Kalau dulu sebelum tahu aku dan Alryan adalah saudara kembar, kami juga selalu jadi sorotan. Karena kami memang tak jarang mengumbar kemesraan seperti saling memeluk atau berjalan dengan rangkulan.
Dan sekarang, Altair yang jelas bukan warga kampus ini, kembali menjadi bahan perhatian.

"Pada mau kemana nih?" , Suara yang biasa terdengar tegas di kampus ini menyeru setelah menutup pintu mobilnya.

"Hei Mas, mau makan di depan. Baru sampe?"

"Iya Yan tadi ada urusan. Oh ya Almira, Malika, gimana sidang kalian?"

"Alhamdulillah lulus Pak, terima kasih semua berkat bantuan Bapak." , Ucapku dan di angguki Malika.

"Syukurlah. Ohhh jadi ini ceritanya traktiran toh."

"Mau gabung Mas?"

"Gampang nanti aku susul, aku harus ketemu dekan 1 dulu. Sekali lagi selamat ya. Aku duluan."

Kami mengangguk dan pak Alzam mekangkah ke arah gedung kantornya.
Dan kami melanjutkan langkah tujuan awal kami, kedai geprek.

Kenapa aku tidak memilih ke cafe mbak Dewi, padahal juga tak jauh lokasinya dari kampus. Karena aku gak mau ada dosen² yang jelas doyan nongkrong disana. Termasuk dosen satu tadi.

Pagi ini, adalah acara wisuda Alryan.
Aku menemani Papa menghadiri acara ini. Kami bertiga berangkat dengan supir. Altair bilang akan menyusul nanti dari kampusnya. Sedang kedua mas kami, tidak bisa ikut menunggu karena ada urusan penting dan akan pulang kerumah sore hari agar bisa makan malam bersama sesuai rencana.

"MasyaaAllah, cantik putri pak Himza ternyata."

"Papaaaaaaa." , Aku langsung memeluk pria yang sudah hampir berumur enam puluh tahun ini.

"Iyalah, orang lain putra mana ada cantik."

"Mas An sirik." , Ejekku pada kakak keduaku.

"Enggak, ngapain sirik cantiknya kamu. Siap aja Ra kalah cantik sama yang ada dalem perut mbak Dewi."

"Elehhh cari pembela. Mas Amar gak bakalan belain."

"Iyalah wong aku bukan pengacara."

"Sudah, ayo sarapan, acaranya jam berapa Yan?"

"Jam sembilan Mbak."

"Nih spesial cumi tepung buat yang lagi wisuda."

"Makasih nyonya Anhar." , Alryan langsung meraih piring saji berisi cumi goreng tepung kesukaan kami berdua.

"Kok aku enggak Mbak?"

"Siapa bilang, nih buat Almira yang sudah berhasil sidang skripsi juga."

Ternyata, tadi mbak Dila yang memberikan untuk Ryan dan sekarang masih ada di tangan mbak Dewi buat aku.

"Makasih bumil. Gak apa deh ate nya kalah cantik sama debay asal sering² di masakin gini."

Semua tertawa dengan kata²ku.

"Dasar, yang ada tuh Mbak Ra belajar masak juga ke mbak Dewi biar bisa, kaya mbak Dila tuh."

"Iya calon pak dokter, ini juga otewe belajar masak tiap hari."

Kami sarapan dengan penuh bahagia. Kedua kakak ipar perempuanku juga pandai mengambil hati kami adik² iparnya. Dan bersyukur, apa yang sempat aku khawatirkan dengan mas Anhar ternyata tidak terjadi. Setelah resmi menyandang istri Anhar Almasyah, Adila mau menjadi ibu rumah tangga yang baik meski tetap berkarir.

Dirumah memang berlaku, pakaian mas Amar atau juga sekarang mas Anhar, adalah tugas masing² istri. Begitupun seluruh keperluan pribadi mereka. Sedangkan untuk masakan rumah, mbok Tik yang bertanggung jawab namun jika mbak Dewi juga mbak Dila mau memasak silakan² saja. Papa tidak mau rewel pada mantu²nya.
Dan urusan belanja rumah, masih di sokong Papa, dan memang melarang anak²nya membantu. Lebih baik untuk tabungan anak²nya saja.
Tapi tak jarang, mas Amar juga mas Anhar membawa jajanan makanan atau apapun ketika pulang. Bahkan saat belanja kebutuhan pun juga membeli banyak untuk tambahan persediaan dirumah.
Kalau untuk uang belanja dari Papa, memang aku yang pegang. Tapi selalu aku serahkan pada masing² post. Seperti untuk urusan dapur, aku serahkan langsung uang belanja pada mbok Tik. Untuk listri dan segala iuran, pada pak Jo satpam rumah. Dan jika mau belanja, aku akan berdiskusi dengan mbak Dewi, juga mbak Dila sekarang.
Karena dari dulu Papa selalu terapkan apapun itu bicarakan baik² dan bersama.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang