57

111 6 0
                                    


Tak hanya lembaran kalender yang berganti, namun angka penunjuk tahunnya pun bertambah.
Sudah kulewati beberapa bulan sendiri dirumahku semenjak mbak Rani menikah dan tinggal bersama suaminya. Dan kami hanya bertemu saat di sekolah.

Aku justru semakin menikmati kesendirianku dengan nyaman. Seolah tak perlu aku membagi apa yang tengah kurasa pada orang lain.

Dengan alasan banyak pekerjaan, aku juga tak lagi pulang kerumah setiap minggunya. Aku akan lebih menikmati waktu libur sekolah untuk istirahat atau membersihkan rumah yang jelas memang butuh tenaga ekstra untuk melakukannya. Meski tak mewah, tapi rumah ini cukup besar, dengan dua kamar di lantai atas dan satu kamar di lantai bawah yang aku tempati karena memang lantai atas hanya untuk yang datang menginap atau istirahat saja ketika singgah.

Seperti sore ini, ada mas Anhar dan mas Pras. Tadi siang mas Anhar menemuiku di sekolah untuk meminta kunci rumah. Mereka baru saja survey lokasi tempat rencana pembukaan cabang baru.

"Kamu tiap hari masak Ra?"

"Ehh, iya Mas, meski sedikit dan sebisaku aja, tapi aku milih masak sendiri. Lebih sreg aja. Mas Pras gak tidur?"

"Udah. Nyaman ya disini, udara sejuk. Pantes kamu betah."

"Ya, tapi dimana pun juga akan berusaha betahlah Mas. Mas Pras mau kopi atau teh?"

"Gak usah, air putih aja."

Aku masih terus asik dengan wajan dan spatulaku yang mengaduk capcay sayur dan sedikit seafood.

"Ra, boleh aku tanya?"

"Hmm, tanya aja kali Mas, kalo aku bisa jawab pasti aku jawab.''

"Hahaha mungkin bukan gak bisa jawab, tapi kamu gak mau jawab. So, aku harap kamu mau jawab."

"Hmm, silakan."

"Se istimewa apa sih pertemanan kamu sama Defan Mahardika itu?
Karena yang aku lihat, sorot mata dia dalam banget ke kamu. Dan aku rasa ada yang beda dari kalian berdua."

Aku menoleh sejenak, melihat arah Prasetya yang duduk di pantry tepat belakangku.

"Aku yakin kamu bisa jawab, jadi ingat kata²mu tadi ya. Bahkan aku juga masih menunggu kamu mau kasih penjelasan yang sempat kamu janjikan Ra."

Aku matikan kompor karena memang masakanku sudah matang dan siap aku pindah ke piring.

"Masih sama Mas, suatu saat aku akan ceritakan jika mungkin sudah waktunya. Maaf, aku buat kecewa."

Ku taruh piring² berisi capcay juga telur dadar dan tahu goreng.

"Aku lihat mas Anhar dulu ya, kita makan bareng. Doyan kan masakanku...." , Sengaja kuciptakan canda di depan Prasetya.
Aku tak menyangka dia masih mengharap penjelasan cerita dariku.
Padahal sejauh ini, aku merasa dia sudah percaya bahwa aku baik² saja.
Bahkan saat aku mengajaknya ke acara pernikahan mbak Rani, aku bisa berpura pura benar² seperti Almira yang dulu. Bermanja meski kadang ketus pada seorang Alzam.

"Besok pulang kan Ra?"

Saat ini aku sedang mengantar mas Anhar juga mas Pras sampai depan gerbang karena mereka akan pulang setelah makan bersama tadi.

"Pulang, kemarin kan gak sempet pulang Mas. Kenapa toh?"

"Mbakmu minta di bawain tahu kupat pedes. Beli yang banyak ya buat semua. Jangan sore² tapi."

"Ya kalo gitu aku pulang sabtu aja, malah pas buat makan siang. Nek besok ya jelas sore aku dari sekolah aja udah jam empat besok."

"Ya wes gak apa². Ati² ya. Mas pulang."

Aku kunci kembali gerbang setelah mobil mas Pras dan mobil mas Anhar meninggalkan halaman rumahku.

Baru saja kurapikan alat solat, ponselku berdering tanda panggilan masuk.
Tertera nama 'Defan' dilayar. Kubiarkan saja, seperti yang selama ini kulakukan.

Defan

'Al, aku mohon, jawab panggilanku.'

'Al, atau kamu mau aku menggedor gedor pagar rumahmu?'

Kaget aku mencerna isi pesannya. Apa maksudnya? Apa dia ada disini? Tapi tahu darimana, sedangkan aku sudah benar² melarang Malika memberi informasi apapun tentangku pada Defan.

Aku keluar dari kamarku. Kusibakkan sedikit tirai gorden penutup kaca jendela depan.

'whatttt?'

Mobil yang terparkir di depan gerbang, jelas sudah ku kenal.
Benar² ada di depan sana, Defan Arial Mahardika.

Kembali notifikasi pesan masuk berbunyi.

'kenapa cuma ngintip Al?'

'kamu mau aku gedor pagarmu dulu baru kamu bukain aku pintu?'

Tak mungkin juga ku biarkan dia membuat ulah. Dan tak akan ku dapat jawaban dari semua pertanyaanku jika aku diam saja seperti ini.

"Aku gak dipersilakan masuk Al?"

Aku mundur sedikit, memberi ruang Defan agar masuk dan membiarkan pintu bahkan gerbang tetap terbuka lebar.

"Mau minuman hangat atau dingin?"

"Apapun yang kamu suguhkan aku terima dengan senang hati Al." , Jawabnya penuh senyuman.

Aku tinggalkan Defan diruang tamu untuk membuatkan minuman dan kue camilan.

"Silakan di minum."

"Makasih, tetnyata kamu masih hafal juga kalo aku gak minum kopi di malam hari."

"Kebetulan aja hanya ada teh. Langsung aja Def, ada apa kamu kesini? Dan dari mana kamu tau rumahku? Bukankah ini juga bukan hari libur, kenapa kamu tinggalkan tangggung jawabmu?"

"Aku kesini justru mau tanggung jawab Al, tanggung jawab atas perbuatan kita."

"Bukan itu maksud pertanyaanku Defan."

"Oke, aku udah mutasi. Kemarin sore aku sampai di pelabuhan Semarang. Aku mendapat SK tugas di Jakarta. Sama sepertimu Al, penyesuaian ktp. Aku meminta alamatmu ke Malika tapi dia gak mau kasih. Dan aku tau pasti kamu yang melarang. Beruntung, kepala dinas di kota ini cukup kenal baik dengan Papaku, dan dari dia aku dapatkan dimana bu Almira mengajar. Dari sore aku mengikutimu, tapi aku tau ada kakak²mu jadi aku menunda kedatanganku. Karena aku ingin bicara hanya berdua dulu denganmu."

"Apa tujuanmu Def? Tanggung jawab apa yang kamu maksud, aku rasa tak ada yang perlu kamu pertanggung jawabkan. Semua yang terjadi, bukan salah siapa². Jadi kamu gak perlu bertanggung jawab. Hidupku biarlah aku yang menjalani dengan semua keadaanku. Kamu bisa lanjutkan hidupmu dan lupakan aku....juga kejadian itu.

"Enggak Al, aku mencintai kamu Al, aku menginginkan kamu, meski tanpa kejadian itupun aku tetap ingin menikah denganmu Al."

"Kejadian apa yang kalian maksud?"

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang