53

116 8 0
                                    


Panik, aku merasakan ketakutan yang amat sangat beberapa hari ini.
Bagaimana tidak, jadwal bulananku sudah terlewat empat hari. Padahal aku selalu rutin, bahkan mungkin lebih awal dari sebelumnya. Aku takut.

Sejak kepindahanku, Defan memang terus berusaha menghubungiku. Tapi semua ku abaikan. Pesan chatt darinya pun hanya ku baca tanpa ada satupun yang kubalas. Namun Defan tetap mengirimku pesan setiap hari. Menanyakan kabar dan keadaanku. Dia juga meminta alamatku. Karena pastinya lebaran nanti dia akan pulang.

Saat istirahat siang tadi, aku sengaja meminta ikut mbak Rani yang keluar mencari kebutuhan UKS. Dan diam² aku membeli testpack.

Bodoh. Aku belum sempat memikirkan sejauh ini kemarin. Jika ternyata benar, apa yang harus aku lakukan? Aku takut, benar² takut.

Semua memang tidak ada yang curiga, kecuali mas Pras yang terang²an menanyakan padaku. Karena aku memang sudah berusaha kembali menjadi Almira yang biasanya, dan aku berusaha keras menutup aib ku ini sendiri.

Tapi jika benar, apa yang sekarang aku takutkan terjadi, aku harus apa?

Sesuai perintah penjaga apotik, untuk hasil yang lebih baik gunakan air seni saat bangun tidur. Dan pagi buta ini, aku beranikan diri mencoba testpack.

Gemetar tanganku menahan, dan kurasakan tubuhku berkeringat meski temperatur suhu kamarku berada di angka -18°

'satu garis'

Sedikit lebih tenang, namun belum puas.

"Solat aja dulu deh, nanti coba lagi, sedeng kebelet lagi." , Monolog ku.

Ku tunaikan sujud sunnah menjelang subuh ini. Selalu ku lafalkan permohonan ampun pada Nya.

Ada rasa kelegaan meski masih terpikirkan. Hasil percobaan test kedua juga menunjukkan hasil yang sama. Lalu kenapa aku belum dapat jika hasil itu negative.

Aku putuskan, memeriksakan saja ke klinik agar lebih jelas. Tapi bagaimana, aku sama sekali belum pernah tahu tentang hal semacam itu.

"Mau kemana ini ponakan ate?"

Aku melihat mbak Dewi dan mas Amar sudah rapih bersama kedua putri mereka.

"Mau imunisasi ate Ra. Mau ikut Ra?"

"Boleh?"

"Banget malah jadi kan ada yang bantu gendong."

"Mau deh, ya udah Ra ganti baju dulu."

'kesempatan' , pikirku.

Aku ikut masuk ke rumah sakit ini. Tapi saat mas Amar dan mbak Dewi menunggu antrian di poli anak, aku pamit ke toilet. Semakin lancar sepertinya aku berbohong.

Dan akhirnya aku mencari informasi seputar poli kandungan. Bersyukur, ada satu dokter yang kosong dan aku bisa langsung periksa.

"Ada yang bisa saya bantu." , Sapa ramah dokter bername tag dr. Yoga Sp.Og ini.

Agak risih sungkan sebetulnya, dokternya laki².
Aku ceritakan bahwa aku sudah terlambat datang bulan. Dan sudah coba testpack tapi dua kali hasilnya negative. Terpaksa, aku akui bahwa aku sudah menikah.
Dokter tersebut menyuruhku berbaring dan kemudian melakukan pemeriksaan USG.

Akhirnya aku benar² bisa bernafas lega melangkah kembali ke poli anak dimana keluarga kecil kakakku berada.
Hasil testpack memang benar. Dari pemeriksaan tadi dokter juga memberikan hasil aku belum hamil dan harus bersabar. Wajar, karena kan aku mengaku sudah menikah.

Dan artinya aku benar² tak perlu memberi kabar apapun pada Defan. Karena aku sempat berfikir aku tetap akan memberitahu Defan jika ternyata aku hamil. Jelas, kami harus bertanggung jawab.

Tapi nyatanya, dokter hanya bilang mungkin faktor stress saja atau penyesuaian hormon sebagai pengantin baru. Jadi terlambat datang bulan.
Mungkin jika normal iya, menyerahkan mahkota wanita adalah layaknya pengantin baru. Tapi aku bukan. Entah apa istilah sebutannya untukku ini.

"Lama ke toilet, ngapain aja?"

"Hehe jalan² Mas. Masih nunggu berapa lagi?"

"Habis ini kok, ikutan masuk aja Ra."

"Iya deh Mbak. Biar tau perkembangan ponakan."

Hampir gelap, saat mas Amar membawa mobil meninggalkan kawasan rumah sakit.

Dan ternyata berbelok ke restoran mas Anhar. Aku masuk dengan Tifa dalam gendonganku. Sedangkan Fita dalam gendongan sang bunda.

"Lhooo disini semua ternyata."

Aku mendapati seluruh keluargaku berkumpul di ruangan mas Anhar. Ada Malika juga bahkan yang masih dengan pakaian seragamnya.

"Makanya punya hape itu di pake. Di wa gak bales, telpon gak di jawab." , Cerocos Alryan.

"Boro² bales, baca juga enggak." , Tambah Malika ngomporin.

"Hehehe kesenengan liat bayi di rumah sakit."

"Saking senengnya, pamit ke toilet berjam jam"

"Enggak, lebay mbak Dewi iih."

"Udah pengen punya bayi Ra?"

"Papa....."

"Kalo gitu bareng aja kalian nikah Yan Ra."

"Siapa sih mas An yang mau nikah, Ryan aja tuh iya. Ra belum. Nikah nikah, gampang banget ngomongnya. Mbak Dila gentian nih, pegel."

"Sini sini, Fa sama mami." , Mbak Dila segera mengambil Tifa yang tidur dalam dekapanku.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang