47

127 7 0
                                    


Aku masih berdiam diri ditempat ku. Sudah satu jam lalu Defan meninggalkan rumah yang kutempati ini atas permintaanku. Meski tak bosan dia terus mengucapkan permintaan maaf dan memintaku berbicara padanya.

Ponselku pun masih aku matikan. Aku tahu, Alryan dan Malika pasti akan terus mencoba menghubungiku. Setelah kebodohanku tadi yang menelponnya dalam keadaan masih tak tahu harus bagaimana. Sampai saat ini pun, aku juga masih tidak tahu apa yang akan aku lakukan.

Aku sudah lalai akan diriku sendiri. Aku telah mengecewakan keluargaku. Aku hancurkan diriku sendiri, hanya karena ajakan dalam acara semalam. Ya, aku ingat kembali semua. Aku yang entah karena ego tak mau di remehkan. Akhirnya dengan sok tahu ku, aku tenggak juga minuman yang padahal jelas aku tahu itu haram dan memabukkan.
Dan tak kutahu jika reaksi yang akan aku rasakan teramat panas di tubuhku.
Benar kata Defan, aku yang mencumbunya lebih dulu. Karena ketidak sadaranku di bawah pengaruh minuman terkutuk itu.

Dan aku tahu, kini, tak seharusnya aku melimpahkan semua kesalahan atas kejadian ini pada Defan.

Aku juga tak mau merusak nama semua orang, dengan kejadian ini. Aku akan menyimpannya sendiri, cukup aku sendiri.

Ya, itu keputusan yang aku ambil.

Meski Defan tak berhenti meminta agar dia bisa bertanggung jawab atas semua ini. Namun aku tak bisa. Aku tidak mau. Menyerahkan diriku, karena alasan ini semua. Walau aku tahu, Defan memang menyukaiku, menginginkan aku dan selalu baik padaku.

Adzan ashar menyadarkanku untuk beranjak dari posisiku, hampir tiga jam ini.

Aku hanya di kamar, tak bergerak selain kembali bersujud pada Nya. Memohon ampunan Nya. Aku berfikir, mungkin inilah hukuman bagiku, yang dengan semau ku sendiri mengambil keputusa lancang tanpa mendengar nasihat keluargaku.

Dan sekarang, apa yang aku dapat?

Mentari kembali mengambil alih gelap, hangat sinarnya mulai terasa kala kaki ku melangkah menuju tempatku mengabdi hampir satu tahun ini.

Sengaja menghindari, aku memilih meninggalkan rumah dinasku sejak pukul setengah enam pagi. Kususuri jalanan yang masih lengang.
Aku melangkah, meski hati dan akalku masih tak ku tahu. Bahkan, aku melupakan ragaku yang telah ku abaikan sejak kemarin, tanpa asupan apapun.

"Saya dimana?"

"Bu Almira sudah siuman, syukurlah. Ini di klinik, tadi bu Almira pingsan waktu upacara. Untung pak Defan sigap langsung menopang badan bu Almira."

"Terima kasih bu Aini. Maaf jadi merepotkan."

"Tidak, kita kan keluarga bu Almira. Oh ya, jam keempat saya harus ngajar, saya tinggal gak apa ya, pak Defan ada sedang mengurus administrasi."

"Terima kasih bu Aini." , Aku paksakan senyumku pada rekan sejawadku ini. Dia adalah guru muda yang sangat baik dan lembut. Idola para siswa.

Sakit, menyadari punggung tangan kananku yang tertancap jarum infus. Kembali, semua salahku. Aku tak memasukkan apapun ke mulutku lebih dari dua puluh empat jam ini.

"Al, syukurlah kamu udah bangun."

"Maaf pak Defan jadi menyusahkan." , Tanpa ku arahkan penglihatanku padanya, karena aku tahu, sejak masuk ruangan ini, dia terus menatapku.

"Al,  kumohon jangan seperti ini Al. Jangan sakiti dirimu sendiri. Kamu boleh marah, salahkan aku. Tapi jangan siksa badanmu Al."

"Tolong lepasin Def." , Defan terus menautkan tangannya di tangan kiriku.

"Oke, tapi janji dulu, kamu makan ya Al, aku suapin."

"Aku bisa makan sendiri. Dan sebaiknya kamu kembali saja kesekolah."

"Jangan maksa Al. Untuk bangun aja kamu gak kuat, gimana bisa makan sendiri. Dan aku akan tetap disini, karena kebetulan pak kepala sekolah sendiri yang memintaku menjagamu."

"Meski, tanpa diminta pun aku akan tetap menjagamu disini. Ayo buka mulutmu, aku suapin. Kecuali kamu memang betah tiduran disini."

Terasa penuh kasih memang gerakan tangan Defan menyuapkan bubur untukku.
Aku tidak buta, aku tahu segala usaha Defan selama ini menunjukkan perasaannya padaku. Tapi, aku tak punya rasa apapun untuknya. Apalagi dengan kejadian ini, aku jadi merasa membencinya. Bukan, aku tak pernah mau membenci seseorang. Aku hanya merasa sangat kecewa. Terbersit pikiran, seolah Defan memanfaatkan keadaanku kemarin.
Itulah rasa sesak yang ku punya untuk dia.

"Apa aku bisa pulang sekarang?"

"Kata dokter tunggu keadaan kamu sore nanti dokter akan periksa kamu lagi. Tidurlah, istirahat. Setidaknya istirahatkan badanmu kalo kamu tidak bisa mengistirahatkan pikiranmu. Satu hal lagi Al, ku mohon katakan sesuatu padaku tentang yang kita hadapi, jangan diam dan pendam semuanya sendiri. Aku akan bertanggung jawab, secepatnya aku akan memintamu pada keluargamu."

Berpura pura menutup mata, aku rasa adalah pilihan yang lebih baik saat ini. Aku masih enggan membahas semuanya. Dan bisa kupastikan, Defan akan tetap berada disini. Dan akan terus membicarakan hal ini jika aku masih tersadar.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang