26

154 12 0
                                    


Hari ini, dirumah akan di adakan acara siraman. Dan pengajian pada siang hari nanti. Sebelum malam nanti akan ada acara seserahan sekaligus malam midodareni.

Keluarga calon istri mas Anhar, menempati rumah lama almarhum Mama sesuai dengan rencana. Karena memang rumah itu tak kalah besar dari rumah yang kami tempati. Jadi cukup untuk tinggal keluarga mbak Dilla.

Akad akan di laksanakan dirumah Mama, dengan menumpang nikah di KUA setempat. Sedang resepsi di gelar di ballroom hotel ARS milik mas Amar.

Rencana juga akan ada resepsi di Jakarta, dua minggu setelahnya. Karena pasti saja relasi kedua orang tua mbak Dila banyak disana. Meski kerabatnya lebih banyak di Yogya sini.

"Ra.."

"Ya Yan, masuk."

"Si anak kedele jadi mau kan temenin aku?"

Alryan memang meminta Malika untuk menjadi pasangannya dalam acara pernikahan mas Anhar ini. Sedangkan aku sudah si pasangkan dengan Alzam Prasetya oleh Papa. Begitupun Altair yang Papa pasangkan dengan Sinta Naifarasti, putri bungsu om Gunawan. Pengacara sekaligus sahabat almarhumah Mama.

"Udah oteweh kok Yan, santai. Tapi Yan, aku mohon, jangan php-in Lika ya, kasian. Dia tuh sayangnya tulus beneran lho ke kamu."

"Doain aja oke. Turun yuk, di tunggu mbak Dewi dari tadi lho kamu. Adik kesayanganmu juga cemberut aja tuh dari semalem."

"Iya, dia harusnya ada quiz hari ini. Tapi katanya udah ikhlas kok karena udah dapet jadwal susulan dari dosennya."

Altair, sosok yang belakangan hampir tak pernah dekat lagi denganku karena padatnya jam kuliahnya. Akhirnya sejak kemarin sore dia kembali bemanja padaku.

"Kok pada pake jas sih, bukannya harusnya batik ya?" , Tanyaku saat mendapati mas Amar, mas Pras, Alryan juga Altair bersiap dengan stelan jas lengkap. Padahal rencana awal di acara seserahan ini mereka mengenakan batik seperti acara siraman dan pengajian tadi. Tapi pastinya dengan motif berbeda.

"Enggak, kata Papa jas lengkap aja keluarga inti." , Terang Alryan yang berdiri sambil memegang tas milik Malika, karena si empunya sedang merapikan kebaya Sinta.

"Masa pak Alzam juga..."

"Almira, dia gak lagi jadi dosen kamu nak." , Interupsi Papa yang masuk bersama Eyang.

Skakmat, aku cuma bisa diam sekarang. Menerima tatapan hampir seluruh keluarga besar yang juga ada di ruangan ini.

"Udah, yuk." , Mbak Dewi yang sepertinya sangat mengerti perasaanku menghampiriku dan merangkul pundakku dengan elusan halusnya.

"Jangan rewel dulu ya Dek, demi mas." , Aku hanya pasrah menganggukan kepala atas permintaan mas Anhar. Kakakku yang akan melepas status lajangnya besok pagi.
Iyalah, semanja apapun aku, gak mungkin juga aku mengacaukan acara kakakku kan? Apalagi mas Anhar itu sudah selalu memanjakanku.

Hampir jam tujuh malam, rombongan kami berangkat beriringan dengan beberapa mobil menuju tempat mbak Dila.

Aku, Prasetya, Alryan dan Malika berada dalam satu mobil. Sedangkan Altair dan Sinta ikut mobil mas Amar. Papa dan mas Anhar satu mobil dengan supir Papa. Sedangkan Eyang bersama dua sepupu Papa.

Sepanjang perjalanan, terus terang moodku sudah rusak. Entah kenapa. Dan beruntung, Malika bisa menjelma seperti mbak Dewi, sabar dan mampu menenangkan aku. Tidak seperti Malika yang biasanya di kampus, reseh.

"Are you okey Ra?" , Alryan yang sedari tadi aku tahu mencuri pandang ke arahku melalui kaca spion tengah meski dia juga sedang mengemudi.

"Hmmm, aku baik² aja Yan. Maaf, gara² aku jadi buat semua kepikiran. Maafin saya pak Alzam gak maksud buat nyinggung." , Ucapku penuh takut.

"It's oke Ra, aku yakin mas Pras juga gak tersinggung kok, iya kan Mas?" , Ryan memang penyelamatku, selalu jadi pelindung meski kadang terasa menyebalkan.

"Santai Ra, aku gak marah kok. Aku kenal kamu bukan baru kemarin kan."

"Pak Alzam kalau gini santai banget ya ternyata."

"Bisa aja kamu Malika, oh ya, berlaku buat kamu juga kok, jangan panggil aku 'pak' kalau gak lagi dikampus ya, biar Rara juga gak sungkan."

"Ehh..iya." , Malika terlihat canggung.

Perjalanan dari rumah kami ke rumah lama memang cukup memakan waktu, karena jalannya adalah jalur kemacetan.

Mobil Ryan yang berisi kami berempat pun tiba di barisan paling akhir. Dan kami semua kemudian berbaris dengan tangan yang membawa barang² hantaran. Dan khusus di tanganku, akulah yang membawa kotak berisi sejumlah uang yang pastinya aku sendiri tak tahu berapa.
Mas Anhar di apit Papa dan Eyang kung. Lalu di belakangnya ada pakde Eko dan pakde Dwi selaku perwakilan prakata dari keluarga. Lalu mas Amar dan mbak Dewi, dan di susul aku dan mas Pras, lalu Ryan dan Malika dan Altair bersama Sinta barulah para kerabat yang juga turut membantu membawa barang² seserahan.

Acara berlangsung dengan bahasa Jawa halus, bahkan mungkin, aku rasa mbak Dila yang berada di dalam kamar saja tak akan paham mendengarnya melalui layar. Mbak Dila memang tidak keluar, tadi hanya aku dan mbak Dewi yang di ijinkan menemui masuk ke kamarnya, menyampaikan sebuket bunga sebagai lambang kerinduan dari sang calon suami.

"Cantik Ra mbak Dila nya?" , Bisik Malika yang duduk di sebelah kananku, sedangkan sebelah kiriku jelas, Prasetya.

"Hu uh, putih banget."

"Kamu ntarnya item sendiri kali Ra, tuh Sinta aja juga putih banget." , Malika menunjuk Sinta yang duduk di depanku bersebelahan dengan mbak Dewi.

"He em, tapi kamu gak putih² banget kok Ka."

"Kurang asem kamu."

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang