63

121 10 0
                                    


Aku baru saja selesai merapikan meja makan bekas makan malamku dan mas Pras. Mas Pras yang langsung manthengin laptop karena ada tugas mahasiswanya, duduk di ruang tamu sambil menyalakan televisi.

"Mas, undangan udah jadi kata Ryan, mau Mas ambil sendiri besok apa nunggu aku?" , Aku sudah ikut duduk di sebelah mas Pras.

"Sama kamu ajalah, sabtu aja kita pulang. Jumat aku gak ada jam ngajar jadi aku dirumah aja."

"Kenapa gak jumat sore aja kita pulang?"

"Aku gak mau kamu capek, kalo sabtu pagi kan sedeng kamu udah istirahat, jadi seger. Nanti sekalian ambil cincinnya."

Aku dan mas Pras memang memesan cincin via online, agar lebih simple.

"Oh ya Ra, aku mau bilang, jangan lupa, kirimkan undangan untuk Defan, pakai nama dan alamatku sebagai pengirim. Kalo perlu, tetangga kamu yang Kalimantan juga, siapa, pak Tria?"

"Pak Prayit Mas, istrinya baru mbak Tria. Tapi kenapa sih harus undang dia, emm maksudku, Defan."

"Dia udah banyak nolong istriku dulu, waktu istriku berada jauh dari keluarga. Dan juga pas dia nikah kan ngundang istriku. Jadi sekarang aku pengen dia juga datang di pernikahan kita. Dan itu artinya aku gak pernah anggap apapun ada di antara kamu juga Defan. Kamu istriku, Defan teman istriku. Itu aja."

Luka itu menjadi sedikit kembali terasa, karena nama yang disebutkan oleh suamiku sendiri. Meski aku tahu maksud mas Pras adalah baik, tapi aku belum melupakan semuanya.
Bahkan, setelah hampir dua minggu kami menikah, aku belum berani tidur satu ranjang dengan suamiku. Mas Pras yang bisa mengerti, mengalah tidur di gelaran kasur lantai, asalkan tetap satu kamar dan tidak pisah.

"Udah mikirnya gak usah kelamaan. Tidur yuk, udah malem. Tolong bawain laptopku ke kamar, aku cek pintu dan gerbang dulu."
Kubawa laptop yang terselip beberapa lembar kertas di dalamnya. Dan menuju kamar kami.

Persiapan resepsi memang di serahkan pada pihak WO, tapi mereka selalu melakukan komunikasi dengan mas Pras. Dan pasti mas Pras membicarakan denganku.
Acara akan di laksanakan di ballroom Rads hotel. Jelas karena mas Pras putra satu²nya dan memang sudah menjadi pemilik Rad's group.

Kebetulan acaranya hari sabtu, dan acara pengajian untuk 40 hari Eyang di gelar malam jumat.
Ada dua ribu undangan yang di buat. Meski aku berharap tidak semua akan tersebar. Tapi mengingat jelas kolega pihak mas Pras maupun keluargaku sendiri, aku tak yakin jumlah itu cukup. Mungkin justru masih kurang.

"Ra, cek dapur dulu udah pada kecabut belum. Aku biar nanti aku yang kunci pintu."

Itulah ritual saat kami akan pulang ke Yogya. Mas Pras selalu mengingatkan kabel² listrik juga gas harus tercabut, kecuali lemari es.

Aku mengambil cuti satu minggu, atau lima hari kerja, mulai kamis besok sampai rabu minggu depan. Jadilah malam ini setelah merapikan rumah lebih dulu sepulang ngajar tadi. Dan mas Pras yang baru saja sampai rumah setelah mengajar dan memberi bimbingan skripsi mahasiswanya hanya sempat mandi dan kami bersiap.

"Mau berhenti makan dulu gak Ra?"

"Mas pasti seharian belum makan ya?" , Alih² aku menjawab pertanyaan suamiku yang sedang mengemudi, aku malah genti bertanya.

"Seneng di khawatirin istri." , Ucapnya dengan senyum yang sekilas menengok ke arahku.

"Makan aja kalo gitu, lagian sampe rumah pasti udah pada makan."

"Kamu pengen makan apa?"

"Mas pengen apa?"

"Kebiasaan kamu tuh, di tanya gentian nanya. Aku apa aja yang penting kamu doyan dan yang jelas gampang nyarinya, ini udah jam delapan."

"Lesehan aja kalo gitu, pecel lele syukur² yang ada seafood."

"Siap nyonya."

Hampir tengah malam aku dan mas Pras tiba dirumah Papa. Karena sewaktu makan kami keasikan menikmati suasana.

"Kok malem banget toh Mas Mbak?"

"Iya pak Jo, maaf jadi ganggu. Ada kunci serep gak?"

"Ada Mbak, tapi simbok masih di dapur kok, lagi goreng emping lewat garasi aja Mbak Mas."

"Oh iya deh, makasih ya pak Jo, met tugas."

Meski menjaga rumah,namun pak Jo juga bisa tidur di dalam kamar mbok Tik, karena Papa selalu bilang kalau sudah terkondisi tinggal masuk saja kan memang ada satpam juga di depan komplek.

Setelah masuk lewat garasi yang ada pintu menuju dapur, aku dan mas Pras langsung ke kamar. Karena suasana dalam rumah jelas sudah sangat sepi. Semua pasti terlelap di kamar masing².

"Mas, ganti baju dulu toh, jangan langsung tidur."

"Iya, kan aku nunggu kamu. Masa iya mau barengan."

Bukan kesal dengan candaan yang dilontarkan suamiku, tapi justru seolah terasa sakit bagiku.
Terus terang, satu bulan lebih aku sudah sah menjadi istri mas Pras, namun hubungan kami interaksi kami hanya sebatas bersalaman, mencium atau memeluk. Bahkan dia masih terima tidur tidak satu ranjang denganku. Aku tahu aku salah. Aku tahi ajaran agama, seperti apa kewajiban istri. Namun, rasa takut juga merasa kotor masih lekat dalam pikiranku.
Beruntung, mas Pras tidak pernah menuntut. Bahkan cenderung sangat mengalah dengan sikapku.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang