69

127 11 0
                                    


Hari² kembali kujalani seperti biasa. Aku dan mas Pras sudah kembali menetap di Magelang.

SK kenaikan pangkatku juga sudah turun. Statusku secara birokrasi juga sudah berubah. Meski tak seberapa, namun aku bangga memiliki gaji yang mencantumkan nama suamiku juga.
Dan semua gajiku aku simpan utuh karena Mas Pras melarangku menggunakannya untuk keperluan rumah tangga. Bahkan semua kebutuhanku pun jelas terpenuhi oleh suamiku.

Kami hanya menggunakan gaji mas Pras sebagai dosen saja. Sedangkan pasif income dari semua bisnisnya sengaja ditabung. Aku dan mas Pras akhirnya terbiasa hidup sederhana.
Namun kami sangat bahagia.

Apalagi, satu bulan setelah aku menjadi istri mas Pras seutuhnya, dokter menyatakan aku hamil. Hamil dengan dua embrio, hamil kembar.

Dan karena itu, aku mengajukan mutasi ke Yogya. Agar lebih dekat dengan keluarga. Namun, sampai sekarang belum mendapat keputusan. Saat kandunganku sudah berusia empat bulan.

Aku menggelar acara pengajian empat bulan kehamilanku, di rumah Magelang. Bersama para tentangga di kompleks ini. Juga para kerabat yang ikut datang.

Termasuk baby twins, Elka dan Erka. Dua bayi kembar laki² berumur hampir dua bulan, putra Alryan dan Malika.
Papa kesampaian ingin mempunyai cucu laki². Bahkan dua sekaligus.

"Ra, Pras, besok kalo usg, cek kelamine apa. Siapa tau kaya Rara sama Ryan."

Kami sedang bersantai selesai acara pengajian sore tadi. Dan keluargaku memutuskan menginap. Tidur bareng² karena memang hanya ada tiga kamar. Jadi di berikan pada para ibu² dan para balitanya.

"Rara gak mau Pa, kata dia biar suprise aja. Tuh Yang, cek aja besok kalo emang udah keliatan." , Ucap mas Pras yang setia memeluk pingganku.

"Enggak, apa aja yang penting sehat selamet sempurna. Papa juga, kan udah dapet Tifa, Fita sama Dinan, terus cowok dua tuh tuyulnya Ryan. Jadi gak ngaruh mau cewek apa cowok anak Ra."

"Hussst Yang, ponakan di bilang tuyul."

"Tau tuh istrimu sembarangan kalo ngomong. Di kata gampang apa bikinnya."

"Gampang Yan, gak sesusah bikin Dinan kan mbak Dila?"

"Edan. Kaya gitu kok ya dosen. Mas Am, nyesel jadiin dia iparku Mas." , Mas Pras langsung melempar bantal kursi pada mas Anhar. Dan yang lain tertawa saja melihat candaan yang di buat mas kembar dan suamiku. Yang jelas mereka adalah sahabat.

"Aku jadi mikir deh." , Tiba² si bontot berbicara.

Kami semua lalu mengarahkan pandangan padanya.

"Pas mas An nikah, mbak Dewi hamil. Pas mbak Ra nikah, mbak Lika hamil. Ter-

"Pas Tair nikah semua mbak hamil Dek."

"Papaaaaaaa......" , Kompak kami empat perempuan. Aku, Malika, mbak Dila dan mbak Dewi. Sedangkan para suami kami hanya melongo.

"Mending kamu nikah sekarang² aja Dek, pas Rara hamil. Biar Papa gak ngayal ketinggian."

"Modalin ya mas An, hahaha...."

"Serius Tair?"

"Emang aku pernah becanda mas Yan. Seriuslah. Sinta udah siap kok. Tapi modalnya belum cukup."

"Siapin semuanya girls, minggu besok kita lamar Sinta."

"Maaf mas Amar, yang lamar Sinta biar Tair aja deh, kita kan udah punya masing²."

"Wooo memang harus tak hajar kok kamu Pras."

"Mas Annnnn, jangan, suami Ra ini." , Aku memeluk mas Pras saat mas An bergaya akan melayangkan tinju.

"Ciee..

"Yang suami yang suami

"Suit deh...

"Baru di akuin nih kayanya. Mas Pras, besok kita makan malam enak lho..."

"Tiap hari juga makan malam enak kok aku mbak Dewi. Emang mas Amar gak enak ya, payah, tukerin aja."

"Semprul emang adik ipar mu An."

"Wes sudah. Udah malem, kita tidur." , Ajak Papa.

"Fa bobo ama yangkung." , Cucu sulung Papa merengek.

"Boleh, ayo, sikat gigi dulu tapi. Sana sama bunda, yangkung tungguin."

Latifa, memang lebih dekat dengan Papa, di banding Lafita. Berbeda lagi Dinan, yang harus tidur dengan papinya. Bahkan kemanapun mas Anhar dinas luar kota, istri dan anaknya jadi harus selalu ikut.

"Sayang, sehat² ya di dalam perut ibu, bapak gak sabar pengen kalian cepet lahir." , Itulah kebiasaan mas Pras saat kami sudah sama² bersiap mau tidur. Dia akan mengelus perutku sambil berbicara pada anak² kami yang masih dalam kandunganku.
Kami sama² berkompeten di dalam bidang psikologi, jadi akan lebih mudah bagi kami berdua menjalani ritual apapun yang bisa mendukung perkembangan janin juga anak² kami nantinya.
Komunikasi aku dan mas Pras juga sangat terjaga. Mulai dalam hal terkecil, kami selalu membicarakan. Ternyata, Prasetya berhasil mengembalikan sosok seorang Almira.

"Yang, tumben udah di elus² belum bobo kamu, mau apa, pengen apa?"

Aku menatap suamiku, ragu dan takut.

"Ngomong Ra, gak usah takut. Apa sih?"

"Tapi Mas jangan marah ya, janji."

"Iya, kapan sih mas marah sama kamu sayang. Bilang kamu pengen apa?"

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang