60

138 10 0
                                    


'sah!'

Kata² sakral yang seharusnya terucap dalam keadaan sangat membahagiakan. Namun tidak untuk kali ini.

Kata² yang merubah statusku, tepat setelah isya, beberapa menit sebelum Eyang menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku tiba di ruangan vvip dimana Eyang terbaring dengan segala alat yang menempel di tubuh rentanya. Beliau masih bisa berkomunikasi dengan baik meski tersendat karena nafas beratnya.

Di dalam ruangan sudah berkumpul seluruh anggota keluarga. Bahkan ada pengacara keluarga, yang notabene adalah calon mertua Altair, om Gunawan beserta keluarga juga. Bahkan ada para sahabat mas kembar dan mertua mas Anhar.

Eyang melambaikan tangannya lemah, memintaku mendekat. Aku yang sudah berderai air mata dan nafas tersengal akibat berlari menuju ruangan ini.
Ku cium punggung tangan Eyang, ku cium pula kedua pipinya. Ku ucapkan permintaan maafku yang belum sowan kerumahnya.

Beliau tersenyum, lalu Papa menarikku agar sedikit menegakkan tubuhku. Papa masih merangkulkan tangannya di bahuku.

"Ra, Eyang punya satu permintaan terakhir buat kamu." , Lembut, namun tegas Papa mengucapkannya.

"Apa Pa, apa Eyang, Ra mau berikan apapun asal Eyang sembuh Eyang bahagia." , Masih dengan terisak ku sanggupi apapun yang Eyang mau agar beliau sembuh dan aku bisa membahagiakannya.

"Menikahlah di depan Eyang, dengan laki² pilihan Eyang."

'deggg.....'

"Tapi...

Eyang menggerakkan kepalanya lemah sekali, aku tak kuasa menolak.

"Iy-iya iya Pa, iya Ra mau Ra terima apapun asal Eyang sembuh jangan bilang ini permintaan terakhir Eyang, Ra gak mau. Ra mau tapi Eyang sembuh. Ra mau."

Seolah tak bisa berfikir dalam keadaan kalut, aku terima karena melihat Eyang yang sangat lemah. Padahal aku tidak tahu siapa yang Eyang pilihkan untukku. Karena selama ini, sudah jelas aku selalu menolak karena dulu Eyang dan Papa sendiri yang bilang tidak akan menjodohkan aku, Ryan juga Tair.

Tapi, apa yang sudah ku sanggupi tak mungkin aku batalkan. Sesaat setelah adzan maghrib, Eyang sempat kembali anfal. Tak akhirnya, Papa memutuskan menyiapkan semua secepatnya untuk memenuhi permintaan Eyang. Aku sudah pasrah, tidak bisa berfikir. Bahkan aku sempat hampir tak sadarkan diri jika saja Malika tidak segera memberiku susu dalam kemasan tetrapack.

"Ra, sudah siap kan? Ikhlas menerima semua?" , Tanya mas Amar saat aku melihat sosok pria paruh baya bersorban di ruangan Eyang.

Aku hanya mengangguk lemah, "bismillah, Ra terima Ra ikhlas Pa."

Dan barulah aku tahu, siapa laki² yang menjabat tangan Papa di hadapan Eyang dan pria yang akhirnya aku bisa pastikan penghulu.

Alzam Prasetya Radika.
Dialah laki² yang menjabat tangan Arhimza Alamsyah, Papaku. Dia yang mengucap ikrar ijab qabul atasku, mengambil alihku dari Papaku.
Laki² yang tahu keadaanku sebenarnya seperti apa. Akan seperti apa ini?

Belum genap nafasku menyadari keadaan ini, suara EKG menggema memenuhi ruangan. Semua menangis, dokter yang turut menjadi saksi proses akad tak lama menyatakan permohonan maafnya dan turut berduka cita.

Gelap sudah yang aku rasakan.
Karena begitu berat rasanya semua ini.
Bukan tak ikhlas, namun aku tak siap.

"Ra, gak usah bangun."

"Mas..

"Istirahat aja dulu, tenangin diri kamu."

Aku bisa merasakan perhatiannya tulus, dari perkataannya yang lembut dan perlakuannya yang halus.
Ya, siap atau tidak, semua sudah terjadi. Dia sudah sah menjadi suamiku.

"Mas..

"Iya Ra, kenapa, kamu mau apa?"

Aku raih tangan kanannya yang sedang mengelus pucuk kepalaku. Kucium hikmat, sebagai bakti pertamaku padanya.

"Alhamdulillah." , Ucapnya, lalu dia cium keningku lama.

"Oh iya, maaf aku belum siapin cincin, jadi nyusul gak apa² ya, kamu pilih sendiri besok."

Aku mengangguk dengan senyuman tipisku, "Eyang...

"Sedang di urus admistrasi dan pemulasarannya sama Papa dan mas Amar. Yang lain sudah pulang duluan buat siapin dirumah karena jenazah akan di bawa kerumah Papa. Kalo kamu udah enakan, kita bisa pulang."

Aku tak tahu, harus bagaimana. Mendengar mas Pras memanggil mas Amar dengan 'mas' , aku terharu. Dia benar² menghargaiku, juga keluargaku. Padahal jelas² dia tahu keadaanku. Aku tidak pantas untuknya. Sangat tidak pantas.

"Ngelamun apa? Masih mau istirahat, apa kita pulang sekarang?" , Mas Pras sangat perhatian padaku.

"Aku udah baikkan kok Mas, kita ke Papa dulu ya?"

"Boleh, ayo. Oh ya tas kamu udah di bawa Ryan. Dan ponsel kamu ada sama aku."

"Iya makasih, biar di Mas aja. Aku gak ada kantong."

Mas Pras menuntunku, meninggalkan igd dan menuju ruang pemulasaran jenazah.
Tapi ternyata sudah selesai, dan sudah siap di bawa kerumah.

"Kalian duluan aja Pras, aku sama Papa ikut mobil jenazah."

"Iya Mas, ayo Ra."

"Udah Ra, ikhlas, Eyang udah bahagia tenang. Apalagi kamu udah penuhi permintaannya kan. Ikutlah suamimu, kita ketemu di rumah." , Mas Amar tak terlihat risih saat mas Pras menyapanya dengan 'mas', dan penuh kasih dia kuatkan aku.
Meski aku tahu, mas Amarlah sosok cucu paling dekat dengan Eyang. Jadi pastilah dia yang teramat sangat lebih merasa kehilangan.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang