73

131 9 0
                                    


Prasetya pov_

Aku bisa menangkap pergerakan kecil dari jari tangan istriku yang sudah hampir tiga sudah hanya berbaring lemah setelah perjuangannya melahirkan kedua buah cinta kami.

Aku tak tau, apa ini yang dinamakan ikatan batin.

Aku memang hanya menduga saja. Namun bukan tanpa alasan.

Kilasan ingatanku kembali, pada masa pesta pernikahan ku. Rara, istriku menerima kado dari laki² pertama dalam raganya. Semua perhiasan itu tampak pas melekat untuk istriku. Bahkan cincin kawin kami pun masih mengalami perbaikan karena masalah ukuran yang sedikit kebesaran di jari Rara. Padahal jelas, kami memesannya pun berdua, bersama.

Selama hamil, Rara tidak pernah mengalami apa yang disebut ngidam.
Namun malam itu, dengan sorot mata penuh harap yang tertutup rasa takut. Raraku meminta ingin bertemu Defan. Terkejut, sungguh sangat terkejut.
Namun, aku bukanlah laki² yang bisa menunjukkan ego ku. Dan aku yang telah berjanji akan memberikan apapun asal membuat wanitaku bahagia.
Aku penuhi permintaannya. Aku sendiri yang menghubungi dan membuat janji dengan laki² itu.

Dalam kesehariannya, Rara memang tak pernah berhubungan komunikasi dengan Defan. Aku tau itu. Istriku tak pernah berbohong. Ponselnya pun biasa aku gunakan. Tanpa pernah ada yang dia sembunyikan.

Namun ternyata, keinginannya bertemu dengan Defan seolah membuat suatu tanda. Meski bukan buruk. Defan ternyata telah berubah. Cerita hidupnya seolah sudah berputar arah.

Dan itu membuat aku sendiri menyelipkan rasa salut pada laki² itu.
Bahkan semakin terkejutnya, ketika melihat putri Defan. Yang kami sebut Almira kecil, wajahnya benar² sangat mirip dengan Rara. Sangat mirip dengan Nara dan Nino, kedua buah hatiku.

Dan apa yang kulihat tadi, mampu kembali menggelitik sedikit perasaanku.
Defan yang datang karena kebetulan ada tugas di kota ini, menjenguk kami. Lebih tepatnya, anak²ku dan keadaan istriku.

Meski Defan hanya berdiri dan membisu, yang aku yakin hatinyalah yang berbicara. Terlihat dari sorot matanya yang memerah berkabut, yang sesekali dia usap berusaha menutupi.

Bersamaan itu pula, kurasakan jemari tangan istriku bergerak. Aku elus pucuk kepalanya. Aku takut kehilangannya. Aku takut jika ternyata hatinya bukan memilihku. Meski selama ini, dapat kurasakan sudah ada kehangatan cintanya untukku.

_Prasetya pov end.

"Pras!"

"Ehh! Astaghfirullah...maaf An."

"Ngelamun aja. Tuh Nino nangis, di tolongin siapa² gak mau. Samperin dulu sana."

Prasetya pun menuju halaman belakang, dimana kedua anaknya bermain bersama mami dan kakak sepupu mereka, Dilla dan Dinan.

"Kenapa jagoan bapak kok nangis." , Prasetya mengambil Nino untuk di gendongnya.

"Nala pukul Nino Pak."

Dila yang ada disitu hanya tersenyum.
Itulah Nino, mirip sekali dengan Almira kecil, yang suka menyalahkan Alryan.

"Kok mukul sih No, kan Mbak Nara elus Nino kan Nino kangen Ibu, makanya mbak Nara elus Nino." , Terang mami Dila mereka.

Nara, mengambil sifat keibuan Almira yang merawat Altair sejak kecil. Nara juga memiliki sifat pendiam Almira.
Benar² kedua bocah kembar itu mewarisi sifat ibunya dalam versi masing².

"Nino kangen ibu? Yuk mandi dulu nanti baru boleh ke kamar ibu. Mau?"

Bocah laki² kecil itu mengangguk lalu menyembunyikan wajahnya di leher sang bapak.

"Nara mau juga Pak."

"Boleh, ayo."

"Bisa Pras mandiin mereka langsung berdua?"

"Bisa kok mbak Dila. Tenang aja. Adeknya mandi dulu ya mbak Dinan."

Dinan yang tengkurap sambil menggambar di kertaspun hanya mengangguki ucapan omnya.

"Nino Nara, udah solatnya kan, sekarang doain ibu yuk, minta sama Allah biar ibu cepet bangun."

Begitulah Pras mendidik kedua anaknya. Dan mereka berdua pun sangat patuh.

"Kata suster tadi ada yang dateng Pras, siapa?"

Malam hari, seluruh keluarga Almira berkumpul dan akan menginap dirumah itu.

"Defan Pa, teman Al di Kalimantan dulu."

"Defan???"

"Iya Tair, kamu masih ingat?"

"Enggak. Ehh...iya. ngapain dia Mas?"

"Ya silahturahmilah, menjenguk. Kebetulan, dia sedang ada tugas disini kemarin. Jadi tadi mampir kesini sebelum kembali ke Jakarta."

"Sorry, mas Pras, waktu Lika minta ijin kasih alamat, emang aku yang iyain tanpa ijin kamu."

"Gak papa Yan gak masalah."

"Kalo aku lihat, kayanya ada sesuatu antara kalian. Bener gak sih perkiraanku?"

"Sesuatu apa sih mas Amar. Gak ada kok. Semua biasa aja."

Prasetya tahu, kakak sulung istrinya itu memang diam² selalu memperhatikan keadaan semua keluarganya. Sejak dulu, saat mereka masih remaja.

"Apapun itu aku harap semua bisa baik² aja Pras, karena kamu gak cerita, kita anggap kamu bisa selesaikan."

"Iya. Semua baik² aja. Gak ada masalah, gak ada yang perlu di khawatirkan."

Pras merasa tidak perlu mengumbar masalah yang telah lalu pada keluarganya. Apalagi tentang pikiran dan ketakutannya sendiri. Tak perlu.

Namun tanpa Pras juga Almira tahu, bahwa sebetulnya, selama ini, semua anggota keluarga sudah tahu. Kecuali sang Papa. Semua terungkap saat malam resepsi pernikahan Pras dan Almira. Dan semua itu dari pengakuan Defan sendiri.

Defan menceritakan semua pada kakak² Almira. Juga Altair dan Malika, yang melihat Defan berputar hendak meninggalkan gedung sebelum bertemu langsung dengan sang pengantin.

Dan karena itulah, Defan tak mau memberikan hadiah secara langsung, meski dia sebetulnya menginap di hotel yang sama.

'Gak mungkin aku menemui kalian dengan keadaan seperti ini.' , Defan menatap wajahnya yang lebam² dan luka di ujung bibirnya akibat serangan seorang Anhar Alamsyah.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang