32

131 13 0
                                    


"Kamu serius Ra?"

Malika bertanya kembali memastikan atas penjelasan yang aku berikan padanya.

"Aku gak ada pilihan Ka, Papa juga yang lain gak kasih jawaban apa² sampe sekarang, padahal waktunya tinggal sampe sore ini."

"Tapi kamu pikirin bener² Ra, jangan gegabah. Kamu belum pernah kesana, itu bukan tempat yang deket yang bisa bolak balik rumah kalo kamu gak kerasan."

"Aku udah mantep Ka, tolong kamu jangan kasih tau siapa² ya, sekalipun Ryan. Kamu sebagai sahabat aku Ka, bukan sebagai calon istri Ryan. Aku mohon Ka. Percaya aku, aku bisa lewati semua, aku pasti selalu kasih kabar ke kamu. Aku janji Ka."

Malika memelukku, sahabat yang sedang dekat dengan kakak kembaranku ini, memang orang terdekatku.

"Aku selalu dukung kamu Ra, aku akan selalu doain kamu. Kamu jaga diri baik² ya?"

"Titip Ryan juga Tair ya Ka. Aku sayang mereka semua, tapi aku juga pengen kejar impian aku Ka."

"Ya udah, aku kirim balasan dulu, habis ini, temenin aku cari tiket ya? Mungkin aku gak bisa bawa barang banyak² pasti susah keluarnya. Kalau ntar aku butuh, tolong paketin ya?"

"Iya iya Almira. Tapi aku takut, aku takut Ryan juga jadi marah ke aku Ra."

"Gak bakalan Ka, percaya, Ryan itu sayang banget ke aku, aku tau dia sebenernya juga dukung aku, cuma dia gak siap lepasin aku."

"Semoga aja."

author pov_

Tanpa keduanya tahu, ada sepasang telinga yang mendengar itu semua.

flashback_

"Lho Tair kok balik?"

"Iya Mbak ada makalah ketinggalan. Mbak Dewi mau kemana?"

"Mbak mau ke kantor masmu, Ra ada di kamar kok sama Lika baru dateng dia."

"Ya udah Tair ke atas deh buru² juga, Mbak ati² ya."

_flashback off.

Altair, mendengar semua percakapan serta rencana kakak perempuan satu²nya itu.
Altair sebetulnya juga mendukung, sangat mendukung langkah Almira. Dia tahu kakak permpuannya sama seperti dirinya yang tak berminat dengan dunia bisnis serta kekayaan keluarga. Dia dan Almira sama² ingin mengabdikan diri untuk dunia yang mereka geluti.

Namun tetap saja, sama seperti ketiga kakaknya bahkan juga sang Papa. Altair tak sanggup melepaskan Almira sendiri di tempat yang jauh. Apalagi bagi Altair, Almira adalah mama pengganti.

'melangkahlah Mbak, aku akan menjaga mu dengan caraku. Berjuanglah dan pulanglah kelak dengan hasil terbaikmu.' ,  gumam Altair lalu meninggalkan tempatnya berada dan kembali pada tujuan awalnya, tugas makalahnya.

_author pov end.

"Gimana, bisa?"

"Udah, terkonfirm. Besok pagi aku tinggal ke dinas untuk pengarahan."

"Ya udah deh aku balik ya, coba bicarain lagi, siapa tau Papa atau yang lain udah punya keputusan yang baik buat kamu."

"Iya, tapi apapun itu, keputusan aku juga udah bulat Ka. Inget janji kamu kan?"

"Iya, aku balik ya. Salam buat semua."

"Oke ati² Ka."

Malika meninggalkan kamarku setelah aku membalas salamnya.

Aku memilih mulai mempersiapkan sedikit yang bisa aku bawa. Karena pastinya setelah besok aku datang ke dinas, jadwal ku juga akan turun untuk bisa segera berangkat dan bertugas.

Aku memasukkan beberapa pakaian yang sekiranya benar² perlu saja. Karena aku harus meminimalisir barang bawaan. Mana ada kabur dengan banyak bekal kan. Toh pastinya masih bisa beli di sana.

"Ra, turun yuk makan. Semua udah nungguin tuh."

"Ehh, iya Yan."

Alryan merangkulku turun ke ruang makan.

"Maaf Ra ketiduran habis isya."

"Iya, tadi mbak denger kamu ngaji kok." , Hanya mbak Dila yang menyahuti.

Kami makan dalam suasana hening, tak seperti biasa, tak nyaman rasanya.
Ada satu yang aku rasakan, Altair yang sejak aku sampai di meja makan, selalu memandangiku. Juga sikap Ryan yang seolah kembali nyeleneh padaku. Apa mungkin Lika sudah menceritakan semua pada Ryan?

"Ra buatin jus ya bawa ke ruang tengah."

"Iya Mas." , Patuh atas perintah mas Amar, aku menyiapkan jus buah naga dalam eskan, setelah merapikan meja makan bersama mbok Tik dan mbak Dewi. Karena tadi sudah mbak Dila sendiri yang menyiapkan untuk makan malam bersama mbok Tik sih pastinya.

"Mbak Rara beneran mau tugas di luar Jawa?"

"Eh, iya Mbok, Ra pengen ambil kesempatan ini, simbok doain Ra ya bisa jalani semua, simbok harus sehat biar bisa jaga Papa juga yang lain."

Percakapan kami ini pelan sekali, agar terdengar sampai ruang tengah. Beruntung masih ada suara blender yang menyamarkan.

"Nekat pergi tetep? Kalo Bapak gak kasih ijin gimana?"

"Iya Mbok, Ra tetep pergi, Ra udah terima, setahun kan gak lama."

Mbok Tik mengusap air matanya. Aku tahu, dia juga tak tega melepasku, meski dia tahu aku cukup mampu hidup mandiri. Tapi wanita paruh baya ini jauh lebih mengenalku dengan sikap rewelku.

"Jangan nangis Mbok, ntar yang lain tau. Udah ya, Ra bawa ini dulu ke depan"

Aku membawa nampan berisi eskan jus buah naga dengan beberapa gelas.

"Apa rencana kamu Almira?"

Aku tahu, Papa akan memanggil Ryan, aku dan Tair dengan nama utuh jika sedang tidak dalam kedaan baik. Seperti sekarang ini. Terasa mengintimidasi.

"Papa kan janji kasih jawaban buat Ra, Ra mohon Pa beri kesempatan Ra."

"Kalau konfirmasi sudah kamu kirim, lalu berapa lama keberangkatanmu?"

"Ya pastinya secepatnya Mas, kan setelah ada konfirmasi SK terus segera di buat."

"Kenapa harus sekarang, masih ada kesempatan kan berikutnya?"

"Mas Amar, kan kalo kita sia²in kesempatan belum tentu akan ada rejeki lagi."

"Sekolah eyang juga kasih kamu kesempatan itu juga rejeki kan?"

"Iya itu betul mas An, tapi kalo ada kesempatan yang jauh lebih baik, kenapa gak di ambil."

"Almira yang papa tau bukan anak yang semaunya sendiri. Dia akan selalu mengutamakan orang sekitarnya."

"Maka dari itu Pa, Ra mohon, ijinkan Ra kali ini raih kemauan Ra."

"Pa, Mas, maaf, dengan atau tanpa persetujuan, Ra udah kirim konfirmasi kesediaan menerima penugasan ini. Sekali lagi maafin Ra, Ra mohon ridhoi langkah Ra."

Tak siap melihat reaksi Papa juga yang lain, aku memilih kembali ke kamarku. Aku kunci pintu kamar juga pintu paralel. Aku tumpahkan semua dalam tangisku.

Aku juga gak ingin membangkang, tapi aku juga ingin meraih keinginanku.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang