18

181 37 0
                                    

"Jinri, kau tidak apa-apa?"

Dari semua orang yang memberinya selamat tentang trending Naver yang membawa nama panggung Underground Rapper Jinri sebagai orang yang paling dicari hari ini, hanya Woozi yang bertanya tentang keadaannya. Gadis itu menggigit bibir, menahan tangis yang ingin keluar dari mata.

Ia takut. Super takut. Terlalu banyak orang yang mengetahui siapa dirinya sekarang dan untung saja feeling-nya memaksa untuk mengangkat telepon Woozi yang saat ini terdengar agak khawatir.

"Nggak. Aku nggak baik-baik saja, Woozi."

"Tarik napasmu dalam-dalam, keluarkan secara perlahan." Titah Woozi tegas, Jinri mengikuti arahan itu sesegera mungkin dan dadanya makin sakit. Ia takut sekali.

"Woozi, aku nggak bisa."

"Kau ada di mana? Ada orang lain di sana?"

Jinri menggelengkan kepala. "T-tidak. Aku ada di apartemenku."

"Kau har--"

Suara Woozi terputus. Ada panggilan lain yang tiba-tiba masuk ke ponselnya. Saat melihat nama penelpon yang muncul di layar, Jinri terperanjat. Ia hampir melempar ponsel ke sembarang arah dan segera menekan tombol untuk menolak panggilan itu.

"Jinri? Jin--"

"Woozi, aku harus matikan ponselku."

"Jin--"

~~~

Jinhyuk berlari kencang menelusuri koridor gedung apartemen Jinri. Begitu melihat nama adik sepupunya itu muncul di tranding Naver, Ibunya menelpon, mempertanyakan keadaan Jinri yang segera membuatnya absen rapat dengan staff programnya hanya untuk bertemu dengan Jinri yang mungkin tengah terpuruk ketakutan. Jinhyuk tentu tahu apa yang terjadi dengan gadis itu. Sangat tahu dan ia merasa bersalah, menyesal memaksa Jinri ikut program yang ia buat.

"Jinri?"

Terengah-engah, Jinhyuk memanggilnya lewat intercom dan tidak lama pintu apartemen terbuka. Buru-buru Jinhyuk masuk, menatap Jinri yang kedua bola matanya berair, memperlihatkan ponselnya yang mati. Gadis itu menggigit bibir, jelas sekali tengah menahan tangis.

"Ayahmu menelpon?"

Jinri mengangguk. "Aku takut, Kak. Bagaimana ini!?"

Napas Jinhyuk terhela. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia dan Jinri bertatapan, keduanya tahu siapa yang menelpon.

Karena tidak ingin membuat masalah makin runyam, Jinhyuk menyuruh Jinri untuk duduk di sofa ruang tengah. Ia mengangkat jarinya di depan bibir, memberikan isyarat kepada Jinri untuk diam.

"Halo? Jinhyuk!? Apa kau bersama Jinri sekarang?"

Suara itu keluar dari loudspeaker ponsel Jinhyuk. Suara berat nan tegas yang membuat siapa pun yang mendengarnya akan bergidik ketakutan. Begitu pula yang dirasakan Jinhyuk dan Jinri sekarang.

"Tidak, Paman."

"Aku dapat kabar kalau Jinri muncul di TV sebagai Rapper?? Apa itu!? Kau kerja di TV, kan!?"

"Iya." Jawab Jinhyuk. Ia melirik Jinri yang memeluk bantal ketakutan di sofa, lalu menelan ludah dengan susah payah. "Itu programku, Paman. Aku yang meminta tampil di acara itu."

"Maksudmu Jinri sekarang jadi Rapper!? Bukannya dia sibuk melanjutkan S2-nya di sana!?"

Lidah Jinhyuk terasa kelu. Ia tidak ingin berbohong tentang Jinri yang memutuskan untuk tidak melanjutkan S2-nya, tentang Jinri yang kabur dari Chicago hanya untuk meraih impiannya untuk bekerja di industri entertainment sebagai MD dan Rapper.

"Jinhyuk?"

"Selain kuliah, Jinri juga aktif membuat musik, Paman dan aku butuh peserta untuk programku. Jadi mau tak mau aku memintanya muncul di episode pertama." Jelas Jinhyuk cepat, ia sedikit cengengesan, berharap tidak ketahuan berbohong oleh Pamannya itu.

"Hah... jangan lagi kau ajak dia muncul di programmu! Musisi itu tidak menghasilkan banyak uang! Kasih tahu Jinri untuk lebih fokus kuliah!"

"Siap, Paman."

"Dia pasti sedang bersembunyi dariku. Daritadi aku tidak bisa menelponnya." Sungut Ayah Jinri di seberang sana. "Aku sampai harus bangun pagi-pagi setelah mengecek pesan teman-temanku di sana."

"B-baik, Paman."

"Beritahu Jinri, jangan matikan ponselnya! Ayah sudah tahu tentang sound--apalah itu."

"Siap, Paman."

"Kau juga! Jangan bawa-bawa Jinri ke pekerjaanmu!"

"Baik, Paman."

"Ya, sampaikan salamku untuk Ibumu. Tolong, ya, beritahu Jinri." Kata Ayah Jinri sebelum ia mematikan telepon.

Lepas teleponan yang penuh dengan jumpscare itu, Jinhyuk buru-buru menghampiri Jinri. Menepuk bahu Adiknya itu dengan lembut.

"Maaf." Katanya penuh penyesalan.

Jinri hanya bisa memutar kedua bola matanya. Menahan kesal. Tetapi ia tidak ingin menyalahi Jinhyuk. Ini semua tetap salahnya yang tidak bisa jujur kepada Ayahnya sendiri tentang impiannya, tentang alasannya pergi ke Korea Selatan hanya untuk kabur dari kekangan beliau. Kalau saja ia bisa lebih jujur.

"Apakah aku harus mendaftar kuliah tahun depan, Kak?" Tanya Jinri pesimis.

Jinhyuk menghela napas panjang. "Agar tidak terkena amukan Ayahmu, sebaiknya iya. Tapi kau tetap harus bekerja dan mempertahankan impianmu."

"Sepertinya begitu."

~~~

Woozi berjalan bolak-balik di kamarnya. Ia menggenggam ponsel, menanti pesannya dibalas Jinri yang tiba-tiba mematikan telepon mereka. Tentu saja ia khawatir. Pikirannya sampai ke mana-mana, takut Jinri tiba-tiba bunuh diri karena tidak tahan terkena terjangan netizen. Ya, menjadi artis memang tidak mudah dan ia takut Jinri tidak memiliki mental yang kuat untuk menghalau segala terjangan itu.

Kalau saja ia tahu tempat tinggal Jinri, mungkin ia akan memberanikan diri untuk menghampirinya. Memastikan Jinri baik-baik saja. Dan jangan salah, ia khawatir karena juga memikirkan perkembangan proyek mereka. Kalau Jinri stress dan bermasalah, proyek mereka akan ditunda dan akan lebih buruk lagi kalau digagalkan.

"Kau kenapa?"

Woozi terperanjat. Pintu kamarnya dibuka oleh Hoshi. Pria itu mengerutkan dahi melihatnya yang berjalan bolak-balik.

"Berpikir."

Hoshi mengerucutkan bibir. "Masa?"

"Kau mau apa mendatangiku?" Tanya Woozi memutar topik agar Hoshi tidak bertanya lebih lanjut.

"Ayo ke Gym!"

P.s

Haiii!!!
Aku kangen bangettt nulis dan up ceritaaa!!
Sudah 5 harian ini aku sakit berat dan ga bisa buka Wattpad😭😭

Sejujurnya kondisiku sekarang juga belum baikan tapi better-lah daripada kemarin-kemarin. Maaf yahh dibuat nungguu...

Selalu sehat semuanya!❤

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang