Kelakuan Ayahnya aneh sekali, sangat aneh sampai Jinri harus berdiam lama di bandara menatap pintu keberangkatan yang selalu ramai oleh penumpang. Ayahnya baru saja masuk ke sana, untuk kembali ke Chicago setelah perseteruan mereka kemarin di radio. Hal yang memalukan, tentu saja. Tetapi sejak bertemu Woozi, Ayahnya itu terus diam bahkan tidak lagi memaksanya pulang ke Chicago. Hanya satu pesan Ayahnya tadi.
"Jangan biarkan Ayah melihatmu lagi di media sebagai musisi!"
Pesan yang tidak perlu dikhawatirkan karena Jinri memang akan berhenti memunculkan batang hidungnya di media sosial seperti soundcloud dan bahkan tidak akan membuat proyek apa pun berkaitan dengan musik, kecuali ada hubungannya dengan radio. Karena radio adalah segalanya bagi Jinri saat ini.
Bukan berarti Jinri akan berhenti berkarya, ia tetap akan membuat lagu dalam diam untuk dirinya sendiri. Seperti yang selalu ia bilang kepada Woozi atau Vernon.
"Jinri? Kau tidak mau pulang?"
Gadis itu terhenyak. Ia lupa Jinhyuk ada di sampingnya, ikut mengantar sang Ayah. "Ayo pulang." Kata Jinri lemas.
"Kenapa kau lemas sekali? Bukannya kau harus senang karena Ayahmu tidak membawamu ke Chicago?" Jinhyuk mengernyitkan dahi sembari menatap adik sepupunya itu. Bukan hanya suaranya saja yang lirih, wajah Jinri pun tampak muram.
"Aku tidak tahu apa yang direncanakan Ayah."
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak! Mungkin Ayahmu menyukai Woozi?"
Jinri mendelik. Kejadian kemarin di studio membuat hubungannya dengan Woozi terkuak orang-orang di sekitarnya. Untung saja kru radio, produser dan Jinhyuk adalah orang-orang di belakang layar. Mereka paham industri entertainment seperti apa dan tidak akan membocorkan skandalnya itu ke publik. Paling cuma digoda seperti apa yang Jinhyuk lakukan sekarang.
"Percaya padaku. Aku agak hapal dengan sifat Ayahmu itu." Ucap Jinhyuk sambil merangkul Jinri erat, menyeret gadis itu menuju parkiran mobil.
"Aku lebih hapal lagi."
"Kau tahu? Ayahmu mungkin merasa Woozi bisa menjagamu selama di sini. Selama ini ia hanya khawatir saja kau sendirian, apalagi aku dan Ibuku sibuk bekerja."
"Aku sudah besar, Kak! Umurku bukan lagi umur anak sekolahan." Jinri tambah merangut.
"Itu, kan, pikiranmu. Ayahmu beda lagi."
~~~
Jinri memetik senar Ukulelenya sembarangan. Suasana hatinya masih belum baik. Ia masih memikirkan kemungkinan apa yang dilakukan Ayahnya kelak. Sangking jeleknya suasana hati Jinri, ia bahkan tidak bisa menulis lirik lagu sebaris pun. Padahal biasanya di kala seperti ini, benaknya lancar sekali memuntahkan isinya menjadi lirik-lirik kegelisahan. Atau mungkin karena akhir-akhir ini terlalu banyak kegelisahan sehingga yang tertinggal hanya kesemrawutan di otak.
"Hei, kenapa diam saja?" Woozi bertanya sembari menggosok hidung. Ia mendekatkan wajahnya di depan kamera, menatap Jinri penuh sayang dari layar komputer.
"Tidak tahu." Desah Jinri yang menaruh Ukulelenya di kursi kosong sampingnya. Ia lalu memangku dagu, balik menatap Woozi yang tampak imut meski tidak ada segaris senyum di wajahnya.
"Kau tidak istirahat? Pasti lelah, kan, promosi ke mana-mana." Lanjut Jinri agak khawatir saat menyadari kantung mata Woozi yang menghitam. Pasti pria itu lelah sekali melakukan promosi album terbarunya dengan gencar ke berbagai media.
"Sekarang aku istirahat."
Lidah Jinri mendecak dan Woozi tersenyun karenanya. "Melihatmu sudah membuatku tenang." Tambah Woozi membuat bulu kuduk Jinri meremang. Ia geli sekali mendengarnya, apalagi dari mulut seorang Woozi yang sepertinya paling anti mengeluarkan gombalan.
"Yaa! Kau diajari siapa?"
"Aku serius." Woozi masih memamerkan senyumnya kepada Jinri. "Harusnya kau bersyukur karena aku tidak pernah mengucapkan hal itu kepada siapa pun."
"Stop it! Bulu kudukku meremang, Woozi!"
"Aku menyukaimu, Park Jinri."
Ucapan itu membuat Jinri mematung selama beberapa saat. Dilihatnya Woozi yang tampak serius dengan ucapannya, jantungnya berdegup tidak keruan sehingga rasa geli itu sirna menjadi buncahan kebahagiaan di dadanya. "Aku juga menyukaimu, Woozi."
"Hmm... tidurlah."
"Kau yang tidur. Aku besok libur." Kata Jinri dengan sombongnya.
"Hah... tunggu saja kalau jadwalku sudah lowong."
"Aku akan menunggunya." Balas Jinri sembari menjulurkan lidah.
"Iya, aku juga." Ucap Woozi sembari menyeringai. "Aku, kan, mau melihat studiomu."
"Benar." Jinri terkekeh. "Aku menantikannya."
~~~
"Kan, aku bilang menyerah!"
Vernon meringis saat perutnya ditepuk Hoshi. Keduanya menonton pacaran online Woozi dan Jinri dari balik pintu studio yang sengaja mereka buka sedikit. Keduanya sempat terkejut saat mendengar Woozi mengeluarkan kalimat gombal--yang tidak pernah mereka bayangkan akan keluar dari mulut temannya itu.
"Mereka serius pacaran?"
"Kau tidak dengar apa yang dia katakan!?" Hoshi menatap Vernon tajam. Jelas-jelas keduanya mendengar percakapan dua sejoli itu.
Napas Vernon terhela panjang. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dan Hoshi menyadari itu. Dengan sigap ia merangkul Vernon, menyeret pria itu menjauh dari studio Woozi.
"Ei... you, Vernon! Many girls out there. Be calm, okay?"
Vernon mengempaskan tangan Hoshi. Pria itu tampak kesal sampai membuat Hoshi gelagapan. Pasalnya Vernon jarang sekali kesal atau marah, kalau sudah begini, artinya Vernon benar-benar kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Rises [Complete]
FanficUnderground Rapper dengan nama panggung Gum mencuri perhatian dua Idol asal Korea Selatan, Woozi dan Vernon. Keduanya berusaha mencari tahu Gum untuk bekerja sama dalam pembuatan album Seventeen di masa mendatang. Dan tiba-tiba gadis itu muncul dala...