7

236 35 1
                                    

Gedung kantor agensi memang memiliki hawa yang berbeda dengan kantor penyiaran. Jinri masuk ke gedung itu dengan kikuk, pemeriksaannya ketat sekali, memastikan dirinya bukan penggemar gila yang ingin bertemu idolanya. Bahkan Jinri harus membuka tasnya dua kali, para keamanan tidak ingin kecolongan kalau ia membawa kamera atau barang-barang semacamnya yang bisa membahayakan idola mereka. Selain itu ia harus memperlihatkan surat yang didapatkannya dari Woozi sebagai tanda bahwa ia datang ke agensi pria itu sebagai tamu undangan. Tanpa surat itu ia tentu saja tidak diperbolehkan masuk.

Begitu pemeriksaan selesai, seorang perempuan menuntunnya menaiki lift, menuju lantai di mana studio Woozi berada.

Rasanya kikuk dan terlalu kaku. Padahal agensi itu adalah agensi entertainment! Berbeda dengan kantornya yang sedikit lebih bebas, belum lagi terdapat berbagai macam orang berlalu-lalang di sana. Rasanya kantor Jinri terasa seperti sebuah pasar dibandingkan kantor Woozi.

"Selamat datang!" Bumzu berseru dari sofa begitu melihat Jinri masuk.

Studio itu membuat Jinri terperangah. Selain luas--berbeda dengan dua studionya--warna LED biru yang menyala meneramkan pandangan tapi tetap tampak indah dan aesthetic. Ia sedikit iri pula melihat berbagai kelengkapan di studio itu. Membuatnya merasa bahwa tatanan seorang MD dan produser agensi ternama memang jauh sekali levelnya.

"Silahkan duduk." Kata Woozi sembari menyeret kursinya dari hadapan komputer.

Jinri segera duduk, ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan rasa 'wah' yang membuncah. Apalagi saat melihat Woozi, pria yang pongah dan menyebalkan. Kalau bukan karena ajakan Soohyun, ia mungkin sudah menolak proyek ini!

"Aku terkejut kau akan menerimanya, Gum--atau mau ku panggil Jinri?" Tanya Bunzu retoris, ia memajukan badan agar bisa melihat Jinri lebih dekat.

"Jinri juga tidak apa-apa." Kata Jinri merasa agak aneh dipanggil Gum meski sebenarnya itu nama yang harus digunakannya sebagai seorang Rapper.

"Terima kasih sudah ingin bekerjasama." Woozi menyela, terdengar lebih ramah dari sebelumnya. Pria itu tersenyum tipis lalu menyerahkan selembar kertas kepadanya. "Sesuai kesepakatan kita waktu itu." Katanya.

Kertas itu adalah kontrak kerjasama mereka, yang dibuat setelah perdebatan panjang antara ia dan Woozi di KakaoTalk. Karena sama-sama keras kepala, kontrak bisa diputuskan selama sehari itu jadi mandek tiga hari. Padahal kerjasama mereka tidak sekompleks kerjasama antar artis. Mereka hanya perlu bersama-sama mengubah lagu Metamorph dan beberapa draft lagu Jinri menjadi lagu yang lebih kompleks untuk Album Seventeen, tapi syarat Jinri agak berlebihan dan Woozi tidak terima.

Diambilnya kertas itu, Jinri kemudian membacanya dengan saksama. Ia tidak ingin ditipu, takut kalau kontrak itu diubah lagi. Woozi bertatapan dengan Bumzu yang sangat santai, pria itu sebenarnya heran dengan sikap Jinri yang menyebalkan. Kalau bukan karena lagu-lagunya, mungkin Woozi enggan bekerjasama dengannya.

"Oke." Kata Jinri sembari membubuhkan tandatangannya.

Woozi dan Bumzu mengangguk, meraih kertas itu untuk dicap dan difoto sebagai bukti.

"Jadi kau setuju, kan, lagu Metamorph sedikit diubah?" Tanya Bumzu hati-hati dan Jinri ingin sekali mendecakkan lidah. Ia tidak setuju dengan hal itu, tapi tidak bisa berbuat banyak karena Woozi memilih Metamorph sebagai lagu yang ingin dikerjakannya meski ia sudah memberikan draft lagu lain yang lebih catchy.

"Sudah tertera pada kontrak." Jawab Jinri singkat.

"Aku hanya akan menambahkan sedikit vokal dan irama." Kata Woozi sembari duduk di samping Bumzu, menyerahkan sekaleng cola kepada Jinri.

"Tidak, terima kasih." Jinri menolak, ia mengeluarkan tumblr dari tas. "Saya tidak minum soda."

"O-oke." Woozi terperangah. Sikap Jinri dingin sekali. Tapi tidak heran, mungkin gadis itu masih kesal dengan sikapnya waktu itu--sikap yang refleks ia keluarkan karena kesal.

"Jadi, mulai kapan kita akan bekerjasama? Saya sudah mengirimkan jadwal kerja pada anda, kan?"

Bumzu tertawa. "Chill. Tidak perlu seformal itu, Jinri. Kau kelahiran berapa?"

"Iya, rasanya jadi aneh. Santai saja." Timpal Woozi sembari menyeringai. Sedangkan Jinri menghela napas panjang, ia masih tidak terima dengan apa yang dilakukannya sekarang, membuat sikapnya kaku dan emosian.

"Saya kelahiran 1996. Dan saya harus cepat kembali ke studio, makanya kalau bisa langsung to the point saja, kapan kita bisa mulai bekerja." Kata Jinri dengan pandangan lurus. Tidak ada senyum terpampang di wajahnya membuat Bumzu kembali tertawa.

Sikap Jinri yang kaku mengingatkan Bumzu akan Woozi saat pertama kali ia mengajak pria itu untuk belajar dunia produksi, makanya ia tidak tahan untuk tertawa. Terasa seperti kembali ke masa lalu, melihat Woozi versi perempuan.

"Kalian seumuran." Bumzu menunjuk kedua orang itu.

"Banmal saja." Kata Woozi singkat.

"Oh... oke. Jadi bagaimana?" Tanya Jinri kikuk. Ia tidak peduli dengan banmal dan tahun kelahiran Woozi. Yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya untuk cepat-cepat beranjak dari tempat itu.

"Besok kita bisa mulai. Waktunya sore sepulang kau kerja saja." Jawab Woozi pada akhirnya. Ia memberikan sebuah ID Card kepada Jinri. "Ini bisa kau gunakan untuk masuk ke gedung, sekaligus akses ke beberapa lantai."

Jinri menerimanya. "Baik. Ada lagi?"

"Sepertinya sudah cukup."

"Oke. Saya permisi dulu. Terima kasih atas waktunya." Pamit Jinri sembari berdiri dari sofa. Ia membungkukkan badan dan berlalu keluar studio.

Sepeninggalnya, Woozi dan Bumzu bertatapan. Keduanya memiliki pemikiran yang berbeda, kalau Bumzu merasa gemas karena sikap Jinri mengingatkannya akan Woozi di masa trainee, Woozi sendiri merasa heran bercampur kesal dan ingin bersumpah serapah.

"Dia mirip sekali denganmu."

"Mirip apanya!" Woozi berseru tidak terima. Ia menyeret kursi ke depan komputer, membuat looping sebuah lagu.

"Serius! Dia mirip sekali denganmu, Lee Jihoon!"

"Tidak. Sikapnya membuatku kesal." Elak Woozi tidak terima.

"Sekarang kau tahu, kan, rasanya menjadi diriku?" Tawa Bumzu sembari berdiri dari sofa. Ia menghampiri Woozi, mendengarkan looping dibuatnya.

"Memangnya waktu itu kau kesal padaku, Kak?"

"Begitulah." Bumzu menyeringai. "Seiring waktu aku paham kalau itu sebenarnya sikap defensif ketika kau malu."

"Aku tidak begitu..."

"Tidak. Kau memang sangat mirip dengannya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang