40

164 33 0
                                    

Jinri tengah fokus mengerjakan iklan di depan komputernya, iklan yang harus jadi sejam kemudian. Pekerjaan yang selalu siap Jinri kerjakan, ia sudah terbiasa dengan tugas tiba-tiba yang deadline-nya tidak main-main. Bekerja sebagai MD radio memang terkadang membuatnya repot, tapi Jinri menyukainya dan siap melakukan apa pun untuk pekerjaannya itu.

"Bagaimana rasanya pacaran dengan idola, Kak?"

Suara Taeri datang menggoda bersamaan dengan suara pintu studio yang tertutup. Tanpa persetujuan, gadis itu segera duduk di samping Jinri, menatap gadis itu dengan mata yang berbinar.

"Berhenti menatapku seperti itu, Taeri."

"Bagaimana rasanya pacaran?" Tanya Taeri sekali lagi yang kali ini disambut cubitan kecil pada lengannya oleh Jinri.

Tawa Taeri pecah meski ia harus mengaduh sembari mengelus lengannya yang dicubit. Senang sekali rasanya bisa menggoda Jinri pikirnya. Sedangkan Jinri hanya bisa menahan diri untuk tidak misuh-misuh, ia tidak ingin merusak mood yang sedang anteng mengerjakan tanggungjawabnya. Apalagi sudah seminggu lebih ia tidak berhubungan dengan Woozi setelah permasalahan mereka mengenai Vernon.

"Aku jadi ingin punya pacar juga." Kata Taeri tiba-tiba.

"Kalau kau berharap begitu malah tidak akan dapat." Ujar Jinri berusaha berkelakar meski suasana hatinya mulai memburuk, sedikit lagi pekerjannya akan selesai.

"Kakk... amit-amit!"

"Makanya santai saja. Semakin kau berharap, semakin sulit kau bisa mendapatkan pria yang menginginkanmu." Jelas Jinri sembari menekan tombil ctrl S lalu menekan space pada keyboard sehingga suara iklan yang selesai dibuatnya bisa terdengar.

Taeri dan Jinri diam untuk sesaat, mendengarkan suara iklan itu dengan khidmat. Begitu yakin tidak ada yang perlu diperbaiki, Jinri segera menggerakkan tetikus dengan cepat, memasukkan iklan ke software sehingga dapat digunakan di program yang akan datang. Taeri memperhatikan dengan sangat intens lalu menggeleng-gelengkan kepala, "wow! Cekatan sekali."

"Aku sudah terbiasa." Kata Jinri agak malu dipuji.

"Tapi aku paham mengapa PD-nim menyukaimu, Kak. Kau bekerja sangat cepat, tidak banyak komentar. Pantas saja PD-nim tidak mau melepasmu meski masalah kemarin membuat kantor gempar."

Jinri tersenyum kikuk, ia sebenarnya malu ketika Taeri menyebut masalah itu lagi. Tapi memang ia sangat bersyukur dengan Soohyun yang masih menginginkannya sebagai MD di radio tempatnya bernaung sekarang. Kalau tidak, jelas ia harus kembali ke Chicago mengikuti Ayahnya.

"Dan aku senang karena kau tidak jadi ke Chicago, jadi aku punya teman ngobrol di sela pekerjaanku." Kata Taeri riang.

"Teman ngobrol atau tempatmu misuh-misuh segala masalahmu?"

"Dua-duanya hehehe...," Taeri meringis lalu meraih tangan Jinri yang dipeluknya erat-erat. "Pokoknya Kak Jinri tetap harus di sini!!"

"Lebay."

"Aku serius, Kak!!"

~~~

"Tes masuknya dua bulan lagi, kau sudah mulai belajar?"

Kepala Jinri bergerak ke atas dan ke bawah, ia tidak bisa menjawab karena mulutnya penuh dengan nasi dan Kimchi Jiggae buatan Bibinya. Lepas dari drama Ayahnya, akhirnya Jinri bisa berkunjung dengan bebas ke rumah Bibinya. Bisa makan gratis dan sehat. Meski masih ada satu drama yang belum ia selesaikan. Drama hubungannya dengan Woozi.

"Benar mau lanjut ke Seoul University?" Tanya Bibinya masih tidak percaya pilihan Jinri. Padahal SNU termasuk kampus yang sulit untuk ditembus, pasti akan sulit untuk Jinri yang juga sibuk bekerja.

"Iya, Bibi. Dicoba saja dulu." Jawab Jinri setelah menelan makanan di mulutnya. "Lagipula aku dari kampus luar, sepertinya akan mudah diterima untuk menambah jumlah mahasiswa luar."

"Betul juga, sih. Akreditasinya bisa dipertahankan."

"Betul." Jinri menyumpit satu Gamja Jorim yang menjadi makanan pendamping yang dibuat oleh bibinya malam itu.

"Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana caranya kau menjelaskan perpindahan kampus dari Hongik ke SNU? Itu pun kalau diterima, kalau misalnya kau diterima di kampus yang biasa-biasa saja, bagaimana!?"

Pertanyaan Jinhyuk membuat Jinri menghentikan kegiatan makannya. Ia menaruh sumpit di atas mangkuk lalu membersihkan kerongkongannya dengan air mineral. Selama beberapa saat ia berpkir sembari mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Hal itu juga menjadi beban pikirannya sejak kemarin, akan sulit menjelaskan masalah itu kepada Ayahnya. Meja makan pun jadi sepi. Tiba-tiba Bibinya ikut menyudahi makan malamya.

"Sebenarnya, Ayahmu tahu kau belum kuliah, Jinri." Kata Bibinya.

Jinri dan Jinhyuk diam, menelaah kalimat yang baru saja dikeluarkan perempuan berusia 60 tahunan itu. Setelah benar-benar yakin apa yang didengarnya, Jinri dan Jinhyuk segera memekik.

"Ibu!? Ibu tidak salah bicara, kan!?"

"Bi?? Aku tidak bermimpi, kan!?"

"Aku serius." Kata Bibi Jinri lalu menyesap air minum, membersihkan kerongkongan sebelum menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi mengenai Ayah Jinri. "Mana mungkin ada orangtua yang tidak tahu anaknya berbohong? Ayahmu tahu kau belum kuliah, Jinri."

"T-terus? Kenapa membiarkanku?"

"Bibi meminta Ayahmu untuk memberimu sedikit waktu karena aku tahu, kau pasti melakukan apa yang dikatakannya."

Kerongkongan Jinri kering sekali, ia kembali meminum air. Apa yang dikatakan Bibinya sangat benar, yang menjadi alasannya tidak ingin begitu dikenal sebagai Gum. Yang membuatnya selalu menahan diri untuk berkarya dalam diam. Semua ia lakukan karena mengingat masa depannya yang sudah dirangkai sedemikian rupa oleh Ayahnya.

"Makanya, belajar yang baik. Kau harus lolos SNU agar Bibimu ini tidak kena amukan Ayahmu lagi."

Jinri menatap Bibinya dengan kedua mata berbinar. "Aku janji, Bibi! Love you so much!!"

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang