42

185 29 0
                                    

"Aku tidak akan mengejar Jinri."

Kalimat itu diucapkan Vernon dengan tegas begitu ia dan Woozi ditinggal oleh Hoshi dan Dokyeom di studio. Keduanya duduk berjauhan, bahkan Woozi membelakanginya, menatap layar komputer untuk mendengarkan beberapa lagu yang ia coba aransemen ulang. Meski ada suara lagu, Woozi tetap bisa mendengar Vernon di belakangnya.

"Kau tidak perlu khawatir, Kak. Jinri sudah menolakku kemarin." Lanjut Vernon kemudian berdiri dari duduknya. Ia merasa tidak sanggup berada di studio itu apalagi melihat Woozi yang mengingatkannya akan sosok Jinri.

"Aku tahu." Woozi berkata, menghentikan langkah Vernon yang hampir mendekati pintu.

"Baguslah."

"Maaf karena tidak memikirkan perasaanmu." Seru Woozi saat melihat tangan Vernon menyentuh knob pintu.

Vernon tersenyum tipis, ia berbalik nenatap Woozi yang tengah bersidekap memandangnya. "Jangan minta maaf, itu kan hakmu untuk menyukainya dan Jinri sudah memutuskan."

"Hmm... iya."

"Santai. Kau hanya perlu melanjutkan hubunganmu bersama Jinri, Kak. Maaf sudah menyusahkan kalian." Kata Vernon lalu keluar dari studio.

Lepas Vernon pergi, Woozi hanya bisa mematung. Ia menatap pintu studionya dengan pikiran yang berkelana ke tempat lain. Sudah hampir dua minggu Jinri belum juga menghubunginya, apakah perempuan itu lupa padanya? Apakah mereka sudah putus sekarang? Tapi kenapa tidak ada kata pisah?

Woozi kesal bukan main meski hubungannya dengan Vernon terasa sedikit membaik. Selagi ada waktu kosong ia segera meraih ponsel di atas meja, menelpon satu nomor yang membusuk di daftar kontaknya.

~~~

"Kau punya masalah apa?"

Jinri terhenyak dari kasur. Baru 30 menit ia menikmati dunia mimpi dan teleponnya berdering. Tanpa melihat nama kontak ia langsung mengangkatnya dan terkejut ketika suara Woozi membentaknya tanpa salam atau basa-basi.

"Masalah apa, sih!?"

"Kau ini pacarku, bukan!?"

Ditanya begitu tentu saja membuat Jinri diam. Sembari mengumpulkan nyawa, Jinri juga berusaha mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Woozi yang tanpaknya kesal sekali dengan sikap Jinri yang acuh. Padahal Jinri juga sama kesalnya dengan Woozi yang tidak menghubunginya hampir dua minggu.

"Ya, habisnya aku kesal kau tidak menghubungiku untuk sekadar bilang maaf atau apa gitu." Keluh Jinri, bibirnya sudah maju beberapa centi sangking kesalnya.

"Harusnya kau tahu aku, kan, marah. Bagaimana bisa kau biarkan pacarmu marah karena ada pria yang mengunjungi pacarnya malam-malam!?"

"Kan sudah ku jelaskan. Vernon datang tiba-tiba! Aku tidak pernah mengajaknya ke sini. Bukannya khawatir malah memarahiku. Tahu begitu aku tidak akan menolak Vernon."

"Apa!?"

"Eish... aku mau tidur! Besok aku harus kerja pagi-pagi!"

"Kau tidak rindu sedikit pun kepadaku!?"

Jinri meringis. Jam wekernya menunjuk ke angka 1 dan ia belum juga tidur. Padahal besok ia harus datang ke radio pagi-pagi untuk merekam siaran tapping salah satu penyiar senior di radio.

"Aku kangenn... tapi kau mengesalkan!"

"Coba bilang sekali lagi!"

Napas Jinri terhela berat, tubuhnya sudah kembali terbaring di atas kasur. Kedua matanya mengerjap beberapa kali. "Aku kangen, Woozi. Kau mengesalkan tidak mengabariku apa-apa, tidak khawatir saat aku keluar malam-malam untuk menemui Vernon. Kerjaanmu marah terus, bahkan sekarang pun kau memarahiku."

"Itu karena aku khawatir padamu, Park Jinri! Kau harus tahu aku marah karena aku tidak mau kau kenapa-kenapa. Aku marah karena aku cemburu dan takut saat tahu Vernon menemuimu."

"Tapi kenapa tidak menghubungiku?" Tanya Jinri lirih, kini matanya benar-benar tertutup meski ia masih bisa mendengar suara Woozi dan bisa merespon telepon pria itu.

"Maaf." Ucap Woozi terdengar menyesal. "Aku sempat berpikir untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tidak mau membuat hubunganku dengan Vernon memburuk dan Scoups menyuruhku fokus dengan jadwal promosi. Aku... pacar yang buruk, ya?"

"Aku juga... aku juga berpikir untuk mengakhiri hubungan kita. Aku merasa bersalah sudah membuat hubunganmu dengan Vernon memburuk. Padahal kalian, kan, sudah seperti saudara." Jelas Jinri kali ini membuka matanya, kesadarannya kembali pulih saat mendengar penjelasan Woozi. Ternyata mereka memikirkan hal yang sama.

"Apa kita harus putus saja?" Tanya Jinri saat Woozi tidak merespon kalimatnya.

"Kenapa?"

"Aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian, Woozi. I'm a stranger after all. Lagipula aku bukan pacar yang baik, dikala kau sibuk promosi, aku malah memikirkan perasaanku sendiri."

"Kalau kita putus, kau harus mau menyanyikan lagu yang aku buat untukmu, bagaimana?"

"Kau gila!?"

"Makanya, Jangan berpikir seperti itu. Kalau kita putus, hubunganku dengan Vernon akan memburuk. Lagipula, aku sudah memutuskan menyukaimu." Jelas Woozi terdengar menenangkan bagi hati Jinri.

Rasanya malu untuk mengakui, tapi Jinri merasa bodoh sudah mendengarkan opini Jinhyuk. Pantas pria itu masih menyandang status jomblo dari zaman SMA, pemikirannya membuat dirinya dijauhi perempuan. Kalau tahu begini tentu saja Jinri akan membuang rasa gengsi untuk menghubungi Woozi terlebih dahulu.

"Maaf..." ucap Jinri.

"Maaf juga. Ini pelajaran berharga untuk kita berdua. Jangan gengsi lagi, ya."

"Kau juga!"

"Aku tidak gengsi! Lihat? Siapa yang menelpon?"

"Ish..."

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang