25

167 30 0
                                    

Dada Jinri berdebar sangat kencang. Ayahnya baru menelpon, memberitahukan kehadirannya di Bandara Incheon--meminta Jinri untuk bertemu dengannya di sebuah restoran yang ada di sana sekaligus mengantarnya ke hotel tempat ia akan menginap selama beberapa hari ke depan. Ia juga tidak lupa menginformasikan hal itu kepada Jinhyuk, yang kalang kabut menanyakan keadaannya. Pertanyaan yang bodoh karena tentu saja Jinri juga panik.

"Jinri! Jinr--"

"Woozi!?" Jinri memekik begitu melihat Woozi berlari menghampirinya. Ia hampir sampai di halte terdekat, menaiki bus yang bisa membawanya ke stasiun kereta bawah tanah agar bisa lebih cepat ke Incheon.

"Sssttt." Woozi menaruh jari telunjuk di depan bibir, ia memperingatkan gadis itu agar tidak ribut karena mereka berada di luar restoran di mana banyak orang yang bisa mengenal dirinya--meski Woozi mengenakan masker dan topi.

"Kau mau ngapain?" Bisik Jinri dengan kedua bola mata yang melotot.

Woozi mendekat, ia menarik Jinri ke halte yang untungnya agak sepi. Jinri tetap melihatnya dengan heran, "Woozi?" Bisiknya sekali lagi.

"Mungkin setelah ini kita bakal susah ketemu." Kata Woozi merogoh saku celananya. "Tapi kalau kau mau main ke studioku, feel free untuk mengunjungiku, Jinri."

Sebuah kartu pass yang biasa Jinri gunakan untuk masuk ke Gedung Pledis diberikan Woozi kepadanya. Jinri menatap kartu itu selama beberapa saat, lalu melihat Woozi yang mungkin tengah menyeringai di balik masker. Mungkin tidak seberapa, tapi bagi Jinri, Pass itu sangat berarti apalagi di studio Woozi ada banyak hal yang bisa digunakannya untuk membuat musik.

"Kau harus tetap melanjutkan hobimu, bagaimana pun itu." Ujar Woozi tulus.

Di tengah kekalutannya, Jinri merasa kata-kata Woozi membuat dadanya makin sesak. Kalau Woozi adalah Jinhyuk, mungkin pria itu sudah dipeluknya erat dan tangisannya akan tumpah. Tapi itu Woozi. Ia hanya produser yang kebetulan bisa bekerjasama dengannya untuk membuat musik yang selama ini dilakukannya sendiri, diam-diam di studio mininya. Senyum Jinri menguar, air mata ia tahan agar tidak keluar di depan pria itu.

"Aku akan berusaha melanjutkannya. Terima kasih, Woozi."

Woozi mengangguk. Ia menepuk-nepuk bahu Jinri lalu berdiri saat melihat bus yang akan dinaiki Jinri tiba.

"Kalau mau datang, hubungi aku, ya."

"Pasti." Jinri berkata, ikut berdiri. Ia mengipas wajah agar air matanya tidak jatuh sehingga membuat Woozi tertawa.

"Sial!"

"Tangisnya ditahan dulu. Busmu sudah sampai." Kata Woozi masih dengan tawa yang menyebalkan.

Jinri mendecakkan lidah, ia ikut tertawa meski agak malu memperlihatkan sisi dirinya yang jarang dilihat orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jinri mendecakkan lidah, ia ikut tertawa meski agak malu memperlihatkan sisi dirinya yang jarang dilihat orang lain. Bahkan bukan hanya sekali ia seperti itu di depan Woozi. Beberapa minggu sebelumnya, saat namanya muncul di Trending Naver, Woozi juga menelponnya, menanyakan kabarnya di saat ia sedang kalang kabut. Padahal Woozi tidak tahu apa yang terjadi dengan hidupnya, tapi pria itu seakan memahami apa yang ia rasakan.

"Makasih, Woozi. Salam untuk yang lain." Pamit Jinri lalu masuk ke dalam bus. Ia sengaja duduk di kursi yang bersebalahan dengan kaca agar bisa melihat Woozi yang melambaikan tangan di sana.

Déjà vu. Jinri membalas lambaian tangan Woozi, melihat pria itu dari kaca hingga halte itu tidak lagi terlihat di matanya.

~~~

"Ayah tidak sibuk?" Tanya Jinri yang masih deg-degan melihat kehadiran Ayahnya di Bandara Incheon, sedang mengunyah makanan di hadapannya dan Jinhyuk yang menyusul dari kantor. Untung saja pekerjaan Jinhyuk bisa ditunda malam ini, jadi ia bisa mengantar Ayah Jinri ke hotel tempatnya akan menginap.

"Aku ke sini untuk melihat Putriku satu-satunya. Harusnya kau bahagia, dong?"

Jinri menelan ludah. Ia mengangguk lalu menyikut Jinhyuk yang hanya bisa memperlihatkan senyum tiga jari kepada Pamannya itu.

"Aku baca berita tentangmu di Naver. Mereka bilang kau kerja di Radio, Jinri!?"

Mampus. Jinri menggigir bibir bawah, melirik Jinhyuk yang sudah berkeringat dingin. Keduanya suka ciut berhadapan dengan Mr. Park Jinyeong yang auranya memang sangat mengerikan. Bahkan anaknya sendiri tidak bisa berkata-kata.

"Kan, lagi libur... jadi, aku bekerja sambilan di sana." Jawab Jinri mencoba untuk tidak tampak gugup. Ayahnya itu terkadang pintar menebak kebohongan yang keluar dari mulutnya, mungkin karena sudah tua dan punya pengalaman tinggi, Mr. Park pintar membaca gelagat orang lain.

"Tapi kenapa tidak di bagian Tim Marketing!? Malah MD! Kau harus ingat! Sekarang kau berkecimpung di dunia bisnis, manajemen... kau akan meneruskan perusahaanku kelak, Jinri. Kau harus tahu bidang atau divisi mana yang cocok, bukannya jadi Music Director!" Jelas Ayahnya dengan nada yang penuh penekanan.

Kalau sudah mendengar Ayahnya bicara dengan lantang seperti itu selalu membuat Jinri ingin menangis. Tapi sekuat tenaga ia menahannya dan membiarkan penjelasan Ayahnya dibawa terbang oleh angin. Ia tidak tahu harus berkata apa, ia tidak ingin berbohong lebih jauh lagi.

"Jadi, kapan kau selesai kuliah? Kenapa lama sekali? Kau sudah beberapa tahun di sini, Jinri."

"A... aku menikmati dunia kampus dulu sesaat."

"Hah? Bagaimana!?" Ayah Jinri melotot. Ia tidak suka dengan alasan anaknya itu.

Sebelum Jinri dan Ayahnya beradu pendapat, Jinhyuk yang daritadi hanya bisa diam mendengar perbincangan mereka cepat-cepat mengambil langkah untuk menengahi.

"Jinri mengambil pilihan tepat. Sekarang banyak mahasiswa yang sengaja lulus lebih lama untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak. Aku dengar, Jinri mau ikut penelitian, ya, dengan dosennya?"

"Y-ya!" Sahut Jinri cepat. "Masih rencana! Makanya tidak ingin ku beritahu dulu lebih lanjutnya bagaimana."

"Penelitian apa? Perusahaan Ayah siap diteliti, lagipula di Korea, Ayah punya banyak kolega yang bisa membantumu." Kata Ayahnya sembari mengusap bibir menggunakan serbet. Makanannya sudah habis.

"Tentang perkembangan Ekonomi Kreatif Korea Selatan, Ayah. Dosenku sedang melobi sebuah agensi entertainment besar. Ayah tahu, kan, dunia hiburan Korea Selatan sedang ramai-ramainya dibicarakan dunia?"

"Halah." Ayahnya mendesah. "Yang seperti itu tidak akan bertahan lama! Seharusnya dosenmu bisa melihat prospek yang lebih jauh! Perusahaan Cargo tidak akan ada matinya! Dan kau beruntung bisa melanjutkan perusahaanku, Jinri!"

Jinri menelan ludah, begitu pula Jinhyuk. Keduanya kehabisan kata-kata. Untuk kesekian kalinya membiarkan kalimat yang diutarakan Ayah Jinri terbang dibawa oleh angin malam.

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang