33

150 35 0
                                    

Nama Jinri makin gencar diberitakan media dalam dan luar negeri, entah sudah berapa kali Ayahnya menelpon, menanyakan soal proyek yang dikerjakannya bersama Woozi. Untung saja Jinri sudah berjanji proyek yang ia kerjakan tersebut adalah proyek terakhir, ya meski ia harus mendengar ceramah selama satu jam lebih tentang betapa sangat tidak menguntungkannya menjadi seorang musisi.

Bahkan di saat ia harus mengikuti press conference bersama anggota Seventeen lainnya. Jinri sengaja tidak memberitahukan Ayahnya--lagi--karena menurutnya lebih baik dimarahi setelah mengerjakan sesuatu daripada dimarahi sebelum melakukan apa-apa.

"Janjimu masih berlaku, kan?" Woozi berbisik saat mereka hendak masuk ke dalam ruangan konferensi.

Jinri menaikkan kedua alisnya. "Janji?"

"Albumnya sudah lebih dari 1 juta PO." Kata Woozi kemudian berjalan masuk.

Mengekor di belakang Woozi, Jinri hanya bisa menahan diri untuk tidak mendecakkan lidah. Ia ingat janji itu. Janji di mana Woozi akan diperbolehkannya datang ke studio mininya apabila pemesanan album Seventeen melebihi 1 juta kopi. Kemarin Jinri terlalu sibuk berbicara dengan Ayahnya sehingga tidak memperhatikan progres penjualan album Seventeen.

"Kau cantik, Kak."

Vernon berbisik tepat di telinganya, menggoda Jinri yang hari ini mengenakan dress berwarna peach selutut. Rambutnya juga sedikit lebih rapih daripada biasanya, membuatnya terlihat berbeda dari biasanya. Tentu saja kalimat Vernon membuatnya tersipu, ia jarang sekali dipuji oleh orang tentang penampilannya.

"Santai saja." Tiba-tiba punggungnya ditepuk oleh Scoups. Pria itu tersenyum tipis, mempersilahkannya duduk di samping Woozi.

"Siap, terima kasih."

~~~

"Katamu yang kemarin terakhir!? Ini terakhir juga??"

Suara Ayah Jinri menggelegar, sampai Jinri harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Press Conference sudah selesai dan ia segera melipir ke belakang stage untuk menjawab telepon Ayahnya yang mencak-mencak melihatnya muncul di berbagai media.

"Aku janji ini yang terakhir." Kata Jinri berupaya untuk menyabarkan diri. Ia mengelus dada yang berdegup kencang.

"Pulang ke Chicago."

"Sekali saja, Ayah. Ini yang terakhir." Jinri memelas. "Lagipula aku akan masuk kuliah sebentar lagi."

"Pulang." Titah Ayahnya terdengar murka.

"Ini yang terakhir, Ayah."

"Ayah akan menjemputmu sesegera mungkin. Lebih baik kau meneruskan studimu di sini. Di sana tidak membuatmu lebih baik."

"Ayah!! Jangan--AYAH!!"

Telepon dimatikan secara sepihak. Jinri meremas ponselnya kuat sampai buku jarinya memutih. Ia berjongkok, menyandarkan tubuh pada dinding. Untung saja keadaan sudah sepi, orang-orang sudah beranjak dari lokasi itu. Ia frustasi. Membayangkan Ayahnya datang ke Korea, menjemputnya paksa untuk kembali ke Chicago adalah hal mengerikan yang tidak diinginkan Jinri terjadi.

"Kak?? Kau tidak apa-apa?"

Bahu Jinri dipegang dengan erat hingga wajahnya terangkat. Di hadapannya Vernon dengan pakaian yang sama saat mereka melakukan press conference, menatapnya dengan raut super khawatir. Pria itu lalu menangkupkan wajahnya karena Jinri tampak berdaya. "Kak?? Kau sakit?"

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang