10

213 34 0
                                    

Draft lagu Jinri diperhatikan Woozi satu per satu lalu ia memencet salah satu demo yang diberi judul 'Goodbye'. Mendengarkannya selama beberapa detik kemudian memutar lagu lain. Jinri memperhatikan pria itu sembari bersidekap, ia tentu saja gugup karena Woozi tengah memilah lagu yang bisa mereka gunakan selain Metamorph dalam album terbaru Seventeen kelak. Ya, meski sebenarnya Jinri tidak berharap Woozi memilih lagu-lagu buatannya, tapi tetap saja ia gugup apalagi Woozi seorang produser ternama.

"Favoritmu yang mana?" Tanya Woozi tiba-tiba. Ia menggerakkan kursor sekarang, melihat judul-judul draft yang dipikirnya unik.

"Goodbye? Tadi yang kau putar." Jawab Jinri sembari menunjuk layar komputer.

Sekali lagi Woozi memutar lagu itu. Kali ini ia mendengarkannya lebih dari semenit, mencoba memahami lirik yang dinyanyikan gadis itu dengan tempo yang pelan.

"Lagu ini tentang seseorang yang mencoba berpisah dengan masa lalunya." Kata Jinri di tengah lagu yang terputar. Ia tersenyum kecil menatap layar komputer, mengingat hari di mana ia menulis lagu Hip Hop itu.

"Hubungan? Mantan?"

"Universal." Jinri membalas tatapan Woozi. "Kalau untukku lagu ini untuk kehidupan masa lalu, bukan percintaan."

"Tapi lagumu kebanyakan tentang perubahan, less romantic." Komentar Woozi dengan dahi hampir berkerut. Ia baru menyadari itu setelah mendengar beberapa demo lagu Jinri.

Napas Jinri terhela. Gadis itu tersenyum simpul, menggaruk lehernya yang tidak gatal lalu mengedikkan bahu. "Karena aku tidak begitu paham dengan dunia percintaan, maksudku--ya, pengalamanku di dunia itu hampir nihil. Kalau kau tidak suka dengan demoku, it's ok, laguku semua lebih tentang motivasi diri soalnya."

"Aku tidak masalah." Woozi menggaruk kepalanya, ia kembali melihat layar komputer. "Lagipula Hip Hop memang genre musik yang seperti itu."

Jinri diam. Woozi memang benar, bahkan Hip Hop merupakan musik yang lahir dari 'suara' kecil masyarakat kulit hitam Amerika kepada pemerintahan yang tidak adil. Dan bagi Jinri, musiknya adalah suara hatinya yang tidak terungkap secara baik tentang kehidupannya yang adil tapi agak terkekang.

"Hello everyone!"

Suara yang agak berat itu mengalihkan Woozi dan Jinri dari layar komputer. Keduanya menatap Vernon yang berjalan menghampiri mereka. Jinri terkesiap, ia jadi teringat pertemuan kedua mereka di halte beberapa waktu lalu. Pertemuan yang sangat membekas bagi Jinri dan sekarang gadis itu bisa melihat wajah Vernon lebih jelas.

Benar-benar wajah orang asing. Pantas matanya besar tidak sipit seperti miliknya atau Woozi.

"Kalian lagi apa?" Tanyanya sembari berdiri di samping Woozi, melihat layar komputer yang kini menjadi fokus ketiga orang di studio itu.

"Memilih lagu. Selagi kau di sini, coba kau dengar satu-satu." Kata Woozi lalu memutar 'Goodbye' untuk kesekian kali.

Jinri bersidekap melihat kedua orang itu. Ia tentu penasaran dengan respon Vernon, apalagi sejak bekerjasama dengan Woozi, ia sengaja mendengarkan beberapa lagu Hip Hop Team dan menyukai warna suara Vernon. Bukan hanya itu, Vernon bahkan aktif membuat lirik lagu, referensi pria itu pasti lebih luas daripada miliknya.

"O... lumayan. Bagaimana dengan ini?" Vernon meraih tetikus dan memutar sebuah demo berjudul 09.

Its already nine
I'm waiting for the train
Picking me up from the rain
So I wont get any pain

It's nine
Do not waitin'
Let's dreamin'
Do not gettin'
Up!
Up!
Up!

High Rises [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang