Sejak mengetahui fakta mengejutkan tentang Ayahnya yang tahu Jinri belum melanjutkan S2-nya di Korea Selatan, Jinri jadi lebih semangat belajar. Setiap pulang bekerja, yang biasanya ia bersemedi di studio, kini jadi bersemedi di ruang tamu dengan berbagai jenis buku dan materi yang ia simpan dalam laptopnya. Meski bukan impiannya, Jinri jadi tertantang untuk membuktikan kepada Ayahnya bahwa ia bisa melakukan apa yang diinginkan pria itu. Apalagi ia harus menjaga Bibinya dari amukan Ayahnya yang tidak pandang bulu. Padahal Ibu Jinri adalah Kakak kandung Ayahnya.
Selain itu, belajar adalah salah satu cara bagi Jinri untuk mengalihkan pikirannya dari Woozi yang benar-benar menghilang. Tidak benar-benar hilang karena Jinri masih bisa melihatnya di layar TV, tapi pria itu tidak memberinya kabar dan Jinri pun enggan untuk bertanya. Ya, Jinri terlau gengsi.
"Kau belajar sampai tidak produktif membuat lagu, bukankah ini membuatmu kalah?" Jinhyuk berjalan menghampiri Jinri, satu tangannya memegang gelas berisi air yang baru ia ambil dari kulkas.
Malam ini Jinhyuk sengaja mendatangi Jinri, membawakannya beberapa bekal makan malam yang telah dimasak oleh Ibunya. Sekalian bersantai sesaat, sebelum kembali ke stasiun TV, bermalam dengan berbagai perencanaan acara yang ia produksi.
"Aku tidak akan kalah. Lagipula, kalau aku sudah masuk kuliah, aku punya waktu lagi untuk membuat lagu."
"Dan sibuk belajar, membuat penelitian, paper..."
"Percaya padaku," kata Jinri dengan kedua mata fokus menatap laptop. "kuliah memang sulit, tapi jurusanku tidak akan membuat hidupku seruwet memikirkan koding dan bahasa matematika."
"Yaa... lihat saja nanti."
"Doakan." Ujar Jinri membuat Jinhyuk menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana hubunganmu dengan Woozi?"
Gerakan tangan Jinri di atas kertas-kertas materi perkuliahannya terhenti, ia mengerjap beberapa kali, memastikan pikirannya bisa dialihkan sepenuhnya ke materi yang ia pelajari sekarang, tidak kepada pertanyaan Jinhyuk yang membuat dadanya nyeri.
"Jinri?"
"Uh?"
"Kau pasti sedang tidak baik-baik saja. Pantas kau jadi rajin belajar."
"Baik, kok." Kata Jinri berusaha menyamarkan suaranya yang bergetar. Ia benar-benar tidak pintar berbohong. Pantas Ayahnya tahu segala hal yang ia lakukan di Seoul.
Jinhyuk mendecakkan lidah. "Aku senang kalau kau bekerjasama dengan Woozi, membuat proyek agar mengembangkan karirmu di dunia musik. Berpacaran? Kau tahu, kan, aku sudah sering melihat bagaimana kehidupan idola yang sebenarnya? Kehidupan dan sifat mereka tidak sepenuhnya baik."
"Aku tidak sepolos itu, Kak."
"Terus? Kenapa kau mau menerima Woozi? M-maksudku kenapa kau menyukainya?"
"Memangnya aku harus punya alasan menyukai orang lain?" Pikiran Jinri 100% teralihkan. Ia tidak bisa lagi fokus belajar, kedua matanya menatap Jinhyuk yang duduk di atas sofa.
Mendengar jawaban Jinri tentu saja membuat Jinhyuk kesal. Ia hampir membanting gelas yang dipegangnya, urung karena gelas itu terbuat dari kaca. Dipikirnya Jinri adalah adik sepupunya yang cerdas, yang tidak akan termakan rayuan gombal pria. Ternyata tidak. Jinri tetaplah perempuan yang naif.
"Kau benar tidak punya alasan menyukainya!?"
"Ada! Aku juga punya alasan! Kau pikir aku bisa termakan cinta buta apa!?"
"Kau serius?"
"Serius!"
"Terus?"
"Aku tidak tahu." Jinri menghela napas panjang, kepalanya jadi pusing sampai ia harus memijit pelipisnya pelan-pelan. "Woozi tidak memberiku kabar sejak seminggu lalu dan aku juga gengsi menghubunginya duluan."
"Jangan menghubunginya." Kata Jinhyuk.
"Kenapa? Bukannya kau harus menyuruhku menghubunginya?"
"Jangan." Jinhyuk menggerak-gerakkan telapak tangannya yang bebas di udara. "Kau harus tahu sebesar apa cintanya kepadamu. Biarkan dia yang menghubungimu lebih dulu."
Jinri tidak merespon tapi ia agak setuju dengan apa yang dikatakan Jinhyuk kepadanya. Lagipula sejak kemunculan Vernon di taman dekat apartemennya ia jadi mempertanyakan keputusannya menerima Woozi. Apakah tidak bijak menerima cinta Woozi dikala Vernon juga menyukainya?
~~~
Woozi memandang software video call pada komputernya dengan kosong, tangannya gatal ingin mencoba menelpon Jinri, tapi pemikiran itu masih mengganggunya. Ia tidak ingin hubungannya dengan Vernon memburuk hanya karena perempuan, apalagi akhir-akhir ini Vernon tidak pernah mengajaknya bicara. Rasanya salah mengikuti keinginan hatinya waktu itu, ia terlalu dibutakan dengan cinta sampai lupa harus menjaga hati orang sudah dianggapnya adik sendiri.
"Lagu baru?" Suara Hoshi membuat Woozi segera menggerakkan tetikus, membuka software lain di komputer.
"Tidak." Kata Woozi sembari menggerakkan kursor, melihat-lihat lagu yang ada di bank music-nya.
"Kau bisa buatkan aku lagu Horanghae, tidak?"
Tangan Woozi segera menepuk perut Hoshi yang berdiri di sampingnya. Ia kesal sekali dengan kata 'Horanghae' sejak Hoshi tidak habis-habisnya mencuci otak Carat untuk merubah image hamsternya menjadi image yang lebih manly.
"Aku bercanda!"
"Berhentilah meracuni orang dengan Horanghae, itu memuakkan." ujar Woozi dengan tajam.
"Uhm... no... sekarang Horanghae sudah melekat di diriku."
"Karena kau memaksa mereka dengan Horanghae!"
"Kenapa emosi, sih? Ini kan keinginanku!" Hoshi jadi ikut kesal.
"Terserahlah!"
"Kau benar-benar punya masalah emosi, deh." Kata Hoshi sembari berjalan menjauh, ia mengerucutkan bibir, ngambek dengan apa yang dikatakan Woozi tentang dirinya.
"Bukannya bahagia punya pacar, malah emosian terus." Katanya lalu menghilang dari balik pintu, keluar meninggalkan Woozi yang frustasi di kursinya. Apalagi setelah mendengar kata 'pacar'.
Pacar apaan. Bahkan Jinri tidak menghubunginya sejak kejadian Vernon.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Rises [Complete]
FanfictionUnderground Rapper dengan nama panggung Gum mencuri perhatian dua Idol asal Korea Selatan, Woozi dan Vernon. Keduanya berusaha mencari tahu Gum untuk bekerja sama dalam pembuatan album Seventeen di masa mendatang. Dan tiba-tiba gadis itu muncul dala...