PROLOG

319 39 15
                                    

Pesta perpisahan. Demikian aku dan Arkana—adik laki-lakiku menyebut hari itu.

Pagi itu, sebuah mobil pick up berhenti di depan rumahku. Aku dan Arkana bersorak girang. Kita akan pergi ke pasar, teriaknya. Kami berlarian dengan gembira, memainkan kuda lumping dari bambu buatan Ayah. Sementara aku menabuh kayu, Arkana berjoget riang. Tidak ada keganjilan yang kurasakan. Segalanya tampak baik baik saja.

Lebaran segera tiba, kami akan membeli baju, batinku.

Namun, kebahagiaan itu begitu cepat sirna. Ritual membeli baju lebaran yang sudah jauh-jauh hari kami impikan terpaksa dibatalkan. Mobil pick up yang berhenti di depan rumah kami bukanlah angkutan umum tujuan pasar.

Sebelum kami sempat menyadari keanehan sikap ibu, seorang pria turun dari mobil dan menarik tubuh sintalnya. Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia hanya menciumiku dan Arkana, lalu pergi meninggalkan kami. Suara tangis Arkana tak membuatnya kembali. Dia pergi meninggalkanku dan Arkana yang terus menangis.

Anak lelaki berumur dua tahun dalam pangkuanku baru saja kehilangan penampung air susunya. Dan aku hanyalah gadis berusia enam tahun yang tidak berdaya.

Aku bisa mengingatnya dengan jelas. Sebuah rumah bernuansa Jawa kuno, pagar kayu setinggi satu meter, pohon belimbing, ayam-ayam tetangga, dan Arkana yang masih berumur dua tahun. Anehnya, aku sama sekali tidak bisa menangis. Ada perih yang tak terlukiskan, ada rasa sakit yang entah bagaimana seolah mengukungku dalam kebekuan.

Semua emosi yang ada dalam diriku seolah menguar bersamaan dengan menghilangnya mobil pick up di tikungan jalan kompleks rumah kami.

 “Mulai hari ini, kalian tidak lagi punya ibu. Ayah akan membesarkan kalian dengan baik. Dia tidak pernah pantas menjadi ibu kalian.”

Kalimat ayah hari itu menambah pilu suasana hatiku. Ibu sangat mencintai kami. Paling tidak, itu adalah hal yang selalu kuyakini. Tapi, Ibu tak pernah kembali sejak hari itu. Nama baiknya hanya kuingat setiap kali membuka kembali akta lahir atau kartu keluarga—sebagai orang yang pernah bertaruh nyawa untuk menghadirkan kami. Karena setelah itu, yang kudengar hanyalah betapa buruknya dia membesarkan kami selama ini.

Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab hingga hari ini. Dan Ayah, memilih menyimpan segalanya rapat-rapat.

Kata orang, ibu akan mengajari anaknya banyak hal. Tapi, bagiku ibu adalah sebab dari luka-luka menganga di hati kami.Hingga kini, sesuatu yang selalu ada dalam benakku hanya pertanyaan, apakah rasa sakit ini akan sembuh jika aku mati?

***

Halo, apa kabar teman-teman readers?

Sudah lama saya nggak posting apapun di sini, tiba-tiba kembali dengan cerita baru. Semoga cerita ini bisa menemani waktu luang teman-teman semua, ya. Stay healthy, stay safe.

Salam

Sekar

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang