18| Misi [2]

98 5 3
                                    

Semua punya kehidupannya masing-masing, punya masalahnya masing-masing. Berat ringan hidup yang kita jalani itu tergantung berapa ikhlas kita menerima takdir.

"Ayah?" Panggilku ragu.

"Apa nak?" Tanya Ayah yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Jika temanku memiliki sesuatu apa aku boleh meminjamnya?" Tanyaku menunduk.

"Boleh, asalkan kau menjaganya dengan baik dan mengambalikannya." Jawab Ayah menaikkan daguku memandang matanya.

"Bagaimana jika aku tidak meminta izin meminjam padanya?" Tanyaku lagi. "Apa itu buruk?" Aku menunduk semakin dalam takut mendengar jawabannya.

"Itu tidak boleh, jika kau meminjamnya tanpa izin maka itu disebut pencuri. Mencuri itu tidak baik." Kata Ayah mengajariku. "Memangnya kenapa?" Tanya Ayah.

"Aku ingin meminjam penghapus ini, tapi Sila tidak mau meminjamkannya, jadi aku mengambilnya tanpa izin." Kataku membuka genggaman tanganku dan mempertunjukkan sebuah penghapus bergambar karakter. "Tapi, aku akan mengembalikannya!" Kataku tegas sebelum Ayah memarahiku.

"Walaupun kau mengembalikannya, itu tetap saja tidak baik, penghapus ini bukan hakmu." Ayah mengambil penghapus itu dan membolak-balikkannya. "Begini saja, jika kau mempunyai sesuatu yang sangat ku sukai, apa aku marah jika sesuatu itu diambil tanpa izin?" Tanya ayah. Aku mengangguk mengiyakan dengan menunduk. "Nah, sama seperti ini Sila pasti juga tidak mau barangnya diambil."

"Jadi aku mohon pada putri kecilku untuk mengembalikan penghapus ini pada pemiliknya besok," kata ayah memegang kedua pundakku. Aku mengangguk  mengiyakan perintahnya.

"Aku tidak mau mempunyai seorang putri yang mencuri," kata ayah sambil menyilangkan tangannya di dada dan membuang muka dariku bibirnya ia majukan seperti anak kecil yang sedang marah.

Walau itu hanya candaan tapi saat aku masih berumur 5 tahun, aku menganggapnya serius. "Aku akan mengambalikannya dan berjanji tidak akan mengulanginya." Kataku serius dan cemas karena ayah tidak ingin menganggap ku anaknya lagi.

"Janji?" Kata ayah mengeluarkan jari kelingkingnya dan tersenyum padaku.

"Janji." Kataku menjabat jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Aku meniupnya sebagai tanda janji yang harus dan akan ku tepati.

"Anak ayah pintar." Kata ayah mengelus rambutku dan kembali pada pekerjaannya.

Aku berjalan pelan-pelan menunggu semua pegawai dan penjaga keluar. Setelah ku hitung-hitung semuanya sudah keluar dan tak terlihat lagi di jalanan. Aku berdiri mematung sambil menatap pintu yang ada didepanku.

Aku menutup mata dan menarik nafas panjang.

"Ayah, apa kau masih mau menganggapku putrimu jika tahu apa yang selama ini kulakukan?" Gumamku dalam hati tak yakin.

"Alena kau bisa dengar aku?" Helen mulai berbisik ditelingaku.

"Ya." Kataku menjawabnya.

Aku mendorong ganggang pintu dengan menunduk.

Kring!

Lonceng yang dipasang di atas pintu berbunyi menandakan ada seseorang yang masuk.

"Halo, selamat datang." Seorang pegawai menyambutku dengan senyuman. 

Aku menunduk sambil tersenyum membalas senyumnya. "Ah, gadis cantik." Katanya memujiku.

"Alena tegapkan wajahmu, jangan sampai orang-orang di sana mencurigaimu. Bersikaplah elegan seperti orang kaya!"

BLACK LIFE✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang