Saat janji yang sudah tidak ditepati, disitulah kepercayaan yang susah payah di bangun, tak lagi berarti.
Pagi hari yang damai, Maya tidak membahas apapun tentang kejadian semalam. Entah sedang tidak ingin berdebat atau percaya apa yang ku ucapkan.
Setelah Maya selesai sarapan, aku berencana untuk keluar, namun kali ini aku membawa Dion, aku hanya ingin membawanya jalan-jalan agar ia tidak bosan terkurung di rumah.
Aku mengajaknya melihat dunia luar, karena sangat-sangat jarang aku bisa membawanya keluar. Melihat dari pekerjaanku dan ancaman yang bisa kapan-kapan saja menghampiriku membuatku lebih tenang meninggalkannya di rumah dari pada harus membawanya.
Tapi, setelah mendengar bahwa ibu membawanya keluar, aku merasa tertantang untuk mengambil hati mereka. Aku akan mulai dengan Dion yang mudah untuk dipengaruhi, setelah itu Maya. Aku akan membuatnya membutuhkanku dan membenci ibu.
Terdengar kejam, namun aku melakukannya demi mereka, agar mereka tidak merasakan penderitaan yang kurasakan karena dirinya.
Aku tidak mau mereka tersiksa dengan apa yang pernah membuatku terluka. Cukup aku, yang mencobanya, mereka jangan, satu-satunya semangat hidupku.
Aku duduk di tempat biasa bertemu dengan Joe, hari ini adalah weekday jadi Joe pergi sekolah. Aku juga khawatir bagaimana jika ada yang mengenaliku, atau siaran berita yang mempertunjukkan kejadian semalam.
Aku juga tidak bisa memastikan apa wajahku terkam atau tidak. Aku bahkan tidak sempat memikirkan tentang itu semalam. Aku akan berhati-hati, tapi tidak akan terlihat seperti orang yang ketakutan.
Aku membelikan es krim untuknya. Ia sangat suka es krim rasa coklat, sama sepertiku. Aku berharap saat ia besar nanti ia tidak sepertiku, baik dalam pekerjaan maupun dalam perasaan, atau kebencian.
Aku hari ini berdiri di atas rasa sakit, demi menopang asa karena rasa yang telah tumpul yang diberikan ibu saat ia masih bayi. Aku kasian padanya tidak bisa merasakan mempunyai orang tua. Hanya aku, seorang kakak yang sama sekali tidak baik.
Aku mengusap rambutnya, ia terlihat senang saat memperhatikan Bus besar lewat. Sambil menunjuk ia meneriakinya. "Kau senang?" Tanyaku.
"Ya." Jawabnya dengan senyum lebar sampai menutup matanya yang agak sipit. "Tapi aku lebih senang saat kau senang." Katanya menggodaku.
Aku tersenyum semakin lebar karena ucapannya. "Aku lebih senang saat kau senang." Kataku membalas godaannya.
Setelah selesai makan es krim, tanpa kusadari Joe sudah pulang dari sekolahnya. Aku tidak akan bisa bersembunyi darinya, jadi aku hanya menunggunya sampai di tempatku.
"Kenapa kau disini?" Tanyanya langsung bahkan sebelum ia benar-benar di depanku.
"Aku hanya mengajaknya bermain." Jawabku penuh senyum dengan gigi agar ia tidak marah padaku.
"Bukankah aku sudah bilang padamu, untuk tetap di rumah?" Katanya mulai memarahiku.
"Aku tahu." Kataku menunduk menerima omelannya. "Tapi-" kataku ingin membela diri tapi terhenti karena seseorang datang dari belakangku.
Ia menarik Dion dariku, "Ayo kita pulang, Dion." Katanya menurunkan tubuhnya sejajar dengan tinggi Dion. "Apa yang kau lakukan? Membuatnya melihat pertengkaran kalian?" Katanya memarahiku. Aku diserang dari dua sisi membuatku serba salah.

KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK LIFE✓
Teen FictionHidup tanpa arah di temani kegelapan. Ini Aku, yang disiksa gelap dan menuggu pagi datang. Menunggu untuk membawaku pergi dari gelap malam. Ini Aku, yang terlelap dalam kehampaan dan kebisuan hati yang meminta untuk di isi. Ini Aku, yang be...