Manusia itu bisa bertahan 7 hari tanpa makan,
5 hari tanpa minum dan
3 menit tanpa udara, tapi tidak bisa bertahan
2 detik tanpa harapan.-Joe-
"Terima kasih sudah menjaga adikku, sekarang kau bisa pulang." Kataku pada Joe, tanpa menjawab pertanyaan dari Tan.
"Dia temanku." Jawabku berbisik pada Tan atas pertanyaannya tadi.
"Bukan. Aku bukan sekedar teman dari Alena." Kata Joe mengagetkanku.
"Hei, apa maksudmu?" Tanyaku bingung dengan perkataannya.
"Aku hanya penjaga adik-adiknya." Jawabnya, Joe langsung pergi tanpa permisi dan dengan wajahnya yang kesal namun masih datar.
Kenapa? Apa aku salah? Sepertinya begitu. Aku harus meminta maaf padanya, karena bagaimanapun ia juga banyak membantuku.
Setelah memperhatikan kepergian Joe, mataku terarah pada Maya yang sedang menguping serta memata-matai ku yang sedang bersama dua laki-laki, namun satunya sudah pergi.
"Kalau begitu aku pamit, jaga dirimu. Kita bertemu lagi besok." Katanya mengelus rambutku dan pergi. Ia memandanginya sampai ia hilang ditelan kejauhan. Entahlah, hatiku bahagia atau apa, tapi rasa ini sangat jarang ada.
Aku membuka pintu dan masuk, langkah kakiku spontan mundur karena kaget melihat Maya berdiri dengan tangan dilipat di atas dada dilengkapi wajah yang merah marah.
"Astaga, kau mengagetkanku." Kataku mengelus dada menenangkan jantungku yang baru saja dipompa secara drastis.
"Oh sekarang kau benar-benar menjadi jal-" kata Maya dengan tangan ia pindahkan pada pinggangnya. Namun belum selesai ia mengatai ku, aku langsung menamparnya. Tangan Maya beralih memegang pipinya yang memerah terkena telapak tanganku.
"Jaga mulutmu." Kataku dan masuk dengan perasaan yang masih emosi. Aku mendengarnya menarik ingus menangis tersedu-sedu di balik selimutnya.
Aku terlalu terbawa emosi sampai menamparnya. Aku tidak berniat untuk menyakitinya, tapi mengapa tangan ini spontan naik dan mendarat di pipinya? Aku benar-benar menyesal, aku berusaha untuk membujuknya, tapi ia tetap menangis dan menolak bujukan ku.
"Kakak kenapa?" Tanya Dion padaku yang menghampiri pintu kamar Maya.
Aku hanya diam membisu tidak tahu harus menjawab apa, aku bertekuk lutut untuk menyamai Dion berdiri. "Sayang, maafkan kakak." Aku mengelus-elus rambutnya. Ia menatapku heran.
"Apa kau yang membuat kak Maya menangis?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan mengiyakan pertanyaannya. "Kenapa?" Tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu." Jawabku menunduk. Dion mengangkat kepalaku dengan tangan mungilnya. Aku menatap matanya.
"Aku akan menghiburnya." Ucap Dion tersenyum padaku. Mungkin ia tahu bahwa aku sedang frustasi karena sangat banyak masalah yang harus kepalaku tanggung. Aku menggapainya dan langsung memeluknya.
===
Sampai pagi menyapa pun Maya masih menatapku sinis. Apa sebesar itu kesalahanku? Benar memang sebesar itu, seharusnya aku menjaganya, tapi malah aku yang menyakitinya. Bahkan bukan hanya menyakiti fisiknya tapi aku juga menyakiti hatinya.
Kakak macam apa aku yang berani main tangan dengan adikku sendiri? Benar, sedari awal aku memang bukan orang baik. Maya pasti membenciku, semakin bertambah manusia yang tidak menginginkan kehadiranku.

KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK LIFE✓
Teen FictionHidup tanpa arah di temani kegelapan. Ini Aku, yang disiksa gelap dan menuggu pagi datang. Menunggu untuk membawaku pergi dari gelap malam. Ini Aku, yang terlelap dalam kehampaan dan kebisuan hati yang meminta untuk di isi. Ini Aku, yang be...