malam, lontong-lontong. sudah makan lontong hari ini?
*
*
Jisoo melirik ke Irene bergantian menatap pasangan berpakaian serba hitam di salah satu makam. Dia ikut sedih mengetahui kabar duka dari adik produser yang merekrutnya ke dalam drama, tapi di sisi lain merasa takut. Alih-alih berdukacita dia lebih melihat titik antara terang dan gelap.
"Kita harus pergi, Irene ah."
"Sebentar lagi," tahan Irene terus menatap punggung Yoona yang sedang rapuh. "Biar kupastikan mereka pergi dalam keadaan baik-baik saja."
"Mereka pasti baik-baik saja, Irene. Keberadaan tidak akan memberi pengaruh apapun. Tolong, tinggalkan tempat ini bersamaku!"
Irene tak bergerak sedikitpun atau sekadar menoleh. Sorot mata sendu masih memanah ke punggung tempat dia senang bersandar dulu. Dia ingin sekali pergi ke sana dan memberi pelukan pada wanita yang masih sangat dicintai.
"Irene, jangan memaksaku!" desis Jisoo menggenggam jemari Irene dan sekali lagi menariknya pergi. Usaha kedua kali ini berhasil menarik sahabatnya menjauh sebelum akan ada pertikaian di momen tidak tepat.
*
Seohyun menerawang ke rambut Yoona sembari kedua tangan memijat-mijat kepala yang menggelayut di perutnya. Seperti biasa Yoona sangat senang berada di perut Seohyun tak peduli ada atau tidaknya kehidupan lagi di sana. Sebegitu nyaman Yoona sampai tertidur tanpa menyadari kegundahan istrinya. Seohyun terus merasa bersalah karena gagal menjaga buah hati mereka.
"Kau menaruh harapan besar dan kuhancurkan begitu cepat."
Sejak pulang ke rumah siang tadi, Yoona sama sekali tidak menyinggung soal keguguran dan tak seorang pun berani menyinggung. Seohyun tahu pasti Yoona yang sengaja melakukan ini demi menjaga perasaannya, tapi di saat bersamaan dia paham ada kesedihan mendalam di hati Yoona.
"Jika waktu diputar aku ingin bisa menyelamatkan kakak dan anak kita."
"Mmmm, hmmm...," gumam Yoona menggeliat merasakan lelah di bagian pinggang karena terus menelungkup. Dia berpindah telantang di sisi Seohyun sambil tetap menaruh jemarinya di perut itu seperti yang dilakukan sejak pertama menikah. "Yeobo, barusan aku bermimpi menikmati mie pangsit buatanmu."
Seohyun menitikkan air mata mengetahui cara Yoona mengalihkan suasana, mengutak-atik keadaan agar lebih cerah. "Baiklah, aku akan-"
"Mmm, ani ani ani, besok saja ne kita sama-sama membuat sup pangsit. Karena kalau kau pergi aku tidak bisa tidur lagi."
Perlahan tubuh Seohyun berebah menarik kepala Yoona dalam dekapnya dan masih sebagai permintaan maaf. Dia tak bisa terperingis seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa lalu menggoda istrinya. Tidak bisa pula meringik manja mendengar rajukan barusan. Hati seorang ibu yang merasa gagal tidak bisa pulih hanya hitungan jam dan lalu tertawa seperti yang sudah-sudah.
"Jangan, jangan menangis lagi! Anak kita tidak akan senang melihat ibunda bersedih," tutur Yoona mengusap punggung Seohyun sembari bangkit mengusap air mata di pipi. "Dia mungkin tidak bisa menemani kita di sini, tapi bukan berarti tidak bisa menemani dari sana. Ne?"
Seohyun tak bisa berkata-kata lagi dan kembali menarik Yoona ke pelukan. Air mata seketika tumpah lebih deras menangis tersedu-sedu. Setelah kehilangan orang tua, kehilangan anak adalah hal paling menyedihkan.
"Sssttt, sudah. Anak kita akan menertawakan ibunya yang cengeng. Sudah ne?" ucap Yoona berdusta karena air matanya ikut tumpah dan susah payah menahan isakan. "Ssstttt!"
*
-Sebulan kemudian-
Yoona merenung di loteng redaksi menatap seisi kota yang begitu kecil, sama halnya dia yang tak kalah kecil di mata dunia. Sebulan sudah pasca kejadian dan dia berjanji tak akan menyinggung apapun mengenai musibah tersebut. Kehidupan mereka pun baik-baik saja seperti sediakala sebelum kehamilan datang. Seohyun bangun pagi ikut menghidangkan makanan lalu mereka pergi-pulang kerja bersama.
Hanya saja dia bisa melihat gurat kesedihan masih ada di mata Seohyun, sebaliknya sang istri juga melihat itu di tatapannya. Namun, tidak pernah ada yang berani menyinggung karena sadar pasti berujung air mata. Mereka sama-sama kehilangan tapi saling menunjukkan ketegaran.
"Bila Seohyun berdiam diri, Yul eonnie yang terkena dampak. Baik diam atau bertindak sama-sama akan ada yang pergi. Seohyunnie, Yul eonnie sangat penting di hidupku dan kau menyelamatkannya," batin Yoona melihat cincin pernikahan melingkar di jari manis.
-flashback-
"Nanti kita berdiri di depan altar dan saling memakaikan cincin setelah mengucap janji," ujar Yoona menaruh dagu tersenyum menatap ke altar.
Mereka tak langsung pulang usai berdoa tapi duduk-duduk dulu di bangku kiri barisan ketiga. Baik Yoona dan Seohyun seperti mempersiapkan diri untuk pemberkatan nikah nanti. Takut ketika proses berlangsung akan terjadi hal buruk atau konyol hingga membentuk memori paling tidak ingin diingat. Pasti memalukan sekali dan menjadi perbincangan keluar atau rekan.
"Seohyunnie, coba makan lebih banyak! Jarimu kurus-kurus, takutnya saat habis kupasang malah merosot."
Puk!
"Body shaming." Seohyun pura-pura kesal apalagi Yoona malah tertawa meraih jemarinya lalu digoyang-goyangkan seolah tangannya persis sehelai kertas. "Yoona Eonnie!"
-flashback end-
Pertemuan di sebelah gereja dan pangsit membuat mereka semakin dekat kala itu. Bila ada waktu senggang Yoona dan Seohyun pasti bertemu di sana dan menikmati makanan hingga lonceng berbunyi. Mereka berdoa menyalakan lilin lalu pergi ke kediaman masing-masing membawa sisa kebersamaan. Sampai kemudian gereja, sore, dan lonceng yang sama menjadi saksi tali jodoh mereka. Namun, dalam sekejap takdir dengan bengis memberi pilihan antara bayi ataukah kakak. Mana pun yang dipilih pasti mengundang air mata.
"Yoona ah," panggil Minho dari pintu loteng sambil menunjukkan buku berukuran HVS yang dijilid. "Ada seorang penulis ingin bertemu. Dia bilang mau memberikan karyanya langsung padamu."
"Baiklah."
Yoona membawa buku yang dibawa Minho tadi dan pergi ke lobi. Di sana ada seorang wanita duduk menatap keluar jendela. Yoona terkesiap memelankan langkah sambil mengerjap dan membatin, "Irene?" tapi buru-buru menggeleng berharap semoga terkaan salah lalu melanjutkan langkah lagi.
"Permisi!" Yoona menyapa seramah mungkin tapi semringah lenyap ketika pemikiran tadi benar adanya. Tidak salah lagi kalau wanita tersebut adalah Irene. "Kau?"
"Hai," sapa Irene datar tak tahu harus ramah atau sedih.
"Aku tak mau berpikir negatif tapi tidak ada alasan positif pula, sepertinya kau sengaja mengirim naskah agar bisa bertemu denganku."
"Masih seperti dulu, Yoong, kau paling memahamiku."
Yoona mengulum bibir atas lalu menebarkan pandangan ke sekeliling berharap tak ada yang mengamati mereka sebagai sesuatu yang penting. "Naskahmu di tanganku jadi kau-"
"Begitukah caramu memperlakukan tamu atau penulis?"
Yoona mengeraskan rahang mengimpit deretan gigi atas dan bawah kemudian menatap sampul buku bertajuk, 'When the wind blows'. Di bawah sudut kanan sampul tertoreh, 'Hembusan angin bisa berhenti tapi tidak untuk cintaku'. Ada kemungkinan besar bila isi dari novel bercerita tentang mereka di masa lalu beserta kepergian Irene.
"Buku ini akan masuk ke antrian dan aku akan mengirimmu email hasil keputusan kami nanti."
"Ah, aku tidak menuliskan email di data diri. Tapi apa kau tidak menyimpan nomorku? Jika tidak biar kukirim pesan lagi ke nomormu."
"Irene," panggil Yoona datar meraih bolpoin dari saku dan memberikannya pada Irene. "Kalau begitu tulis emailmu di belakang."
"Yoongie? Andaikau tahu butuh banyak perjuangan untuk bisa kembali. Jika saja kau mengertialasan ini, ketahuilah bahwa tidak ada yang benar-benar mencintaimu selain aku.Tapi mengapa mendengarku pun kau tidak mau?"
TBC
YOU ARE READING
Sore Itu Lonceng Berbunyi
Fanfiction'Maukah kau menjadi sahabatku lagi?' -Yoona- 'Saat mataku terpejam kebersamaan ini akan berakhir dan waktu berlalu sangat cepat.' -Seohyun- 'Biarkan aku menjadi ibu dari anak-anakmu!' -Irene- 'Aku adalah orang yang mencintaimu tanpa henti, tanpa lel...