Rumah sakit selalu ramai seperti biasanya. Orang-orang berlalu-lalang dengan berbagai kesibukannya masing-masing. Beberapa perawat sedang berjalan santai satu sama lain, beberapa pula ada yang terburu-buru karena kewajibannya.
Entah sudah berapa banyak orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Duduk layaknya sebuah patung, menunduk lesu, dengan tatapan kosong. Setengah jam? Satu jam? Dua jam? Ia tidak tahu sudah berapa lama waktu yang dia habiskan hanya untuk berdiam diri di tempatnya.
Untuk kesekian kalinya air matanya mengalir. Bibirnya bergetar, memikirkan keadaan Bhiyan, kekasihnya yang sampai saat ini sedang dirawat oleh beberapa petugas medis.
Sesaat setelah tidak sadarkan diri, Bhiyan langsung dibawa menuju Rumah sakit. Guru-guru langsung bertindak dengan cepat, mengantarkan Bhiyan menuju rumah sakit. Adelia tidak diizinkan ikut. Alhasil, dirinya baru tiba setelah selesainya pembelajaran. Walaupun pada akhirnya, ia tetap tidak diizinkan untuk melihat Bhiyan secara langsung. Hanya bisa melihat dari balik kaca pintu.
Pintu ruangan ujung sebelah kanan terbuka. Dokter Hendi baru saja keluar dari ruangan tersebut, melepaskan stetoskop, menghapus peluh yang membasahi keningnya.
Pria itu melihat seorang gadis yang cukup familiar baginya, sedang duduk sendirian. Ia mengembangkan senyumnya, mendatangi gadis itu dan duduk di sebelahnya.
"Adelia bukan?" Dokter Hendi memastikan nama gadis itu.
Adelia mengangkat kepalanya, menatap wajah Dokter Hendi kemudian mengangguk lemah, tanpa suara.
Dokter Hendi merasa iba akan Adelia. Ia hanya bisa tersenyum dengan tulus.
"Saya kira, kamu sudah pulang dari tadi."
"Saya enggak bisa pulang sebelum memastikan dengan mata kepala saya sendiri, kondisi Bhiyan seperti apa." Ujar datar Adelia tanpa tenaga.
Dokter Hendi menghela napasnya, membiarkan kepalanya bersandar di tembok. Ucapan Adelia serasa serius baginya. Ia jadi teringat akan pasiennya beberapa hari belakangan.
"Beberapa bulan yang lalu, ada pasangan lansia suami-istri yang dirawat di sini. Umurnya sudah sangat-sangat tua, baik laki-laki maupun perempuan. Sakit-sakitan karena memang faktor usia."
"Selama perawatan, mereka berdua saling memberikan semangat, selalu berpikiran optimis kalau mereka akan kembali sehat sedia kala. Saling mengingatkan satu sama lain, yah... hubungan yang harmonis sekali."
Dokter Hendi melekukan bibirnya.
"Kamu tahu? Karena harmonisnya hubungan mereka berdua, membuat orang-orang yang ada di sini, baik para karyawan ataupun pasien, iri dibuatnya. Termasuk saya sendiri."
Adelia yang sedari tadi menyimak, menaruh perhatiannya pada Dokter Hendi.
"Siapapun pasangan di dunia ini, pasti memiliki keinginan agar hubungan mereka bisa bertahan hingga tiba hari tua. Saya sendiri juga memiliki keinginan seperti itu."
"Hidup sederhana bersama istri saya di sebuah pondok kecil, pinggir danau. Pergi memancing, pulang memasak ikan hasil tangkapan, begitu seterusnya, setiap hari sampai menutup mata."
Adelia terpana mendengarnya. Keinginan dokter Hendi benar-benar tulus. Semoga saja keinginannya bisa terkabul. Amin.
Beberapa saat lamanya larut dalam diam, Dokter Hendi mengecek jam tangannya, "Sudah waktunya," Dokter Hendi berdiri.
"Saya mau balik tugas. Ngomong-ngomong soal Bhiyan, dia baik-baik saja. Kamu boleh jenguk Bhiyan, tapi jangan lama-lama ya. Bhiyan masih perlu istirahat banyak."
Adelia langsung berdiri, raut bahagianya perlahan terbit. "Makasih Dok," lirih Adelia dengan berkaca-kaca.
Dokter Hendi tersenyum, memegang salah satu bahu Adelia.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Miracle In Your Eyes
Teen Fiction(16+) Adelia Maudy Dinata, gadis cantik dengan suara teramat merdu ketika bernyanyi. Ia dicap sebagai trouble maker di sekolahnya, SMA Bharatayudha. Sikap usilnya terhadap siswa-siswi difabel benar-benar meresahkan. Sebuah insiden mempertemukan Adel...