16. Untuk Lebih Dekat

214 25 0
                                    

Malam hari di kamar Bhiyan, laki-laki itu seperti biasa memilih untuk menyibukkan diri dengan buku pelajarannya. Headset terpasang di kedua telinganya, terhubung ke MP3 recorder di atas mejanya, mendengarkan penjelasan gurunya tentang materi yang selalu ia rekam di setiap mata pelajaran. Duduk santai, sembari meraba titik-titik timbul di buku braille-nya.

Kira-kira sudah satu jam yang lalu sejak ia duduk di meja belajarnya. Sejujurnya ia sudah merasa bosan. Ia memilih menutup bukunya. Mengangkat kedua tangannya sembari meregangkan otot-otot kakunya. Ia kemudian menarik kursi, berjalan merebahkan diri ke atas kasur.

Bhiyan mengusap wajahnya, beberapa saat kemudian gerakkan tangannya berhenti tepat saat telapak tangannya menutup kedua matanya. Seketika teringat akan hal-hal menyakitkan yang membuatnya harus merelakan kepergian orang tersayangnya serta indera penglihatannya.

Bhiyan sinis. Ia langsung menepis tangannya itu dari sana. Setiap ia teringat akan dirinya yang seorang tunanetra, pasti ingatan itu selalu muncul. Kenangan pahit itu. Ia selalu berusaha untuk melupakan ingatan itu. Namun mimpi buruk itu terkurung abadi di otaknya.

Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya ia sudah lama tidak membuka pelupuk matanya. Setahun? Dua tahun? Entahlah. Ia tidak tahu pasti kapan terakhir kali ia membuka kelopak matanya. Lagian untuk apa membukanya jika ia hanya menemukan kegelapan.

Ia menghela pelan. Tiba-tiba saja ia teringat akan Adelia. Gadis yang baru-baru ini menjadi sahabatnya. Ia ingat betul dengan suaranya seperti apa, tawanya, sedihnya, bahkan amarahnya, semuanya mengiang jelas di kepalanya.

Ia ingat dengan konflik yang terjadi antara dirinya dengan Ray. Mengharuskan ketiganya harus masuk ke ruang BK. Diinterogasi oleh Pak Farid yang selama ini di cap sebagai monster-nya para guru SMA Bharatayudha. Dibentak dan dimarahi. Mengingat itu ia tertawa pelan. Berani banget lo nantangin itu anak, sialan! batinnya dalam hati.

Ingatannya kemudian beralih saat ia mengajarkan Adelia bermain gitar. Jujur saja Adelia jenis manusia yang memegang teguh ucapannya. Gadis itu tidak sulit untuk diajari. Tipikal orang yang cepat untuk mengerti. Apa yang Bhiyan ucapkan, itu yang Adelia kerjakan. Sepertinya Bhiyan harus mempersiapkan dirinya untuk menerima segala konsekuensi atas perjanjiannya itu.

Banyak hal yang terjadi semenjak Adelia hadir di dalam kehidupannya. Kalau di pikir-pikir, Adelia sedang apa sekarang ya?

Baru saja menebak-nebak, ponselnya berdering di sebelahnya. Panggilan telepon. Bhiyan langsung menjawab panggilan itu kemudian menempelkan ponselnya ke telinga kanannya.

"Malam Bhiyan."

Panjang umur. Baru saja ia membicarakan gadis itu.

"Malam Del. Ada apa?" Tanya Bhiyan dengan suara lembutnya.

"Jari gue sakit banget. Nyeri. Mau berdarah kayaknya."

Terdengar isakan kecil di seberang telepon membuat Bhiyan ingin tertawa. Ia sudah tahu penyebabnya.

"Wajar buat lo yang masih pemula Del. Sakit di awal. Kalau udah kapalan gak bakalan terasa sakit lagi. Di tahan aja dulu."

Adelia tidak menjawabnya. Masih terdengar isakan kecil di sana.

"By the way, yang gue minta tadi siang udah lo hafal belum?" Bhiyan sengaja meminta Adelia untuk menghafalkan nada-nada di setiap fret pada gitar.

"Easy! Udah gue hafal semuanya."

"Boleh dong gue tes?"

"My pleasure."

Bhiyan diam sejenak, berfikir.

"Senar dua fret satu?"

"C."

A Miracle In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang