6 jam sebelumnya...
"BHIYAN! CEPAT BANGUN! KAMU GAK SEKOLAH!?"
Teriakan yang sudah menjadi pemandangan yang lumrah di rumah berukuran 6×7.5 meter persegi ini. Sebuah hunian keluarga kecil yang hanya diisi oleh tiga orang saja.
Di dapur, terlihat wanita berumur 52 tahun—masih terlihat begitu muda—tengah menghidangkan makanan yang baru saja ia masak ke dua wadah piring di meja makan tepat di hadapannya.
Ia berdecak. Beberapa kali ia menolehkan kepalanya ke arah ruang tamu. Ia sedang menunggu seseorang, namun sampai sekarang, yang ditunggu tidak kunjung datang.
Hera, nama wanita itu kembali meraung. "BHIYAN! NANTI TERLAMBAT LOH!"
Sesaat berselang, pria bertubuh tinggi tegap berpakaian kemeja biru laut menghampiri meja makan. Ia menarik kursi dan langsung menadahkan tangannya, seraya berdoa.
Tangannya yang kini memegang sendok, segera meraup nasi hendak memasukkannya ke dalam mulut. Namun sebelum sempat melahapnya, tangan pria tersebut diketok Hera dengan sutil yang sebelumnya ia gunakan untuk memasak.
Pria itu meringis, memegangi tangannya. "Sakit Bunda!"
Hera tidak memperdulikan, ia malah menatap tajam pria dewasa di hadapannya.
"Adik kamu mana Demian!? Sudah Jam berapa sekarang!? Kalau nanti terlambat sekolah gimana!?"
Pria yang dipanggil Demian tersebut menghela nafas. Sedetik kemudian ia menaikkan kedua bahunya. "Masih tidur palingan Bunda. Bunda 'kan tau sendiri kalau tidurnya Bhiyan mirip mayat. Susah banget bangunnya." Ucapan Demian malah mendapatkan pelototan tajam dari Hera.
Ia mendesah. Tanpa ada arahan, dengan malasnya ia bangkit dari duduknya. Pelototan mata Bunda Hera sudah menjadi titah tersendiri bagi Demian. Tanpa ucapan kata yang keluar, ia sudah memahami maknanya. Kalau saja ia sampai tidak mematuhinya, bisa-bisa saja namanya dicoret dalam surat warisan.
Ia melangkah menuju kamar Adiknya, Bhiyan si "mayat" yang ia maksud. Hanya beberapa langkah saja dari dapur—mungkin sekitar dua puluh langkah. Ia mendesis kesal. Tangannya mengetuk pintu berwarna putih sedikit keras.
"WOI MAYAT! BANGUN LO!" Tidak ada respon dari dalam. Malahan ia merasakan aura yang begitu mencekam dari arah dapur seolah-olah ada seorang pengintai hendak menerkamnya.
Kembali, pintu itu beberapa kali ia gedor namun tetap tidak ada respon dari dalam. Ia berdecak sebal. Langkahnya kembali menuju dapur.
"No respons Bunda." Ujarnya sembari duduk hendak menyantap sarapannya yang sempat tertunda.
Kembali, di saat hendak Demian menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, tangannya kembali di getok Hera di tempat yang sama. Membuatnya kembali meringis kesakitan.
"Enggak ada acara-acara sarapan, sebelum Adik kamu bangun!" Ketus Bunda membuat Demian mendesah berat.
Terpaksa ia bangkit dari duduknya, kembali menghampiri kamar Bhiyan. Ia kembali berdecak, menatap pintu. Pagi harinya yang indah, harus sirna akibat "mayat" yang satu ini.
Demian memutar kenop pintu, mendapati Adiknya yang masih tertidur dengan pulas-nya. Separuh wajahnya tertutup selimut yang cukup tebal.
Demian melangkah mendekatinya.
"BANGUN! OI! SYNYSTER GATES MAMPIR KE RUMAH!!"
Ia terus berteriak sambil memukul benda apapun yang berada di dekatnya, seperti meja dan lemari. Namun hasilnya nihil. Mayat yang satu ini tidak kunjung bangun. Ia malah menutupi seluruh wajahnya dengan bantal. Hal itu membuat kekesalan Demian bertambah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Miracle In Your Eyes
Fiksi Remaja(16+) Adelia Maudy Dinata, gadis cantik dengan suara teramat merdu ketika bernyanyi. Ia dicap sebagai trouble maker di sekolahnya, SMA Bharatayudha. Sikap usilnya terhadap siswa-siswi difabel benar-benar meresahkan. Sebuah insiden mempertemukan Adel...