Hari itu adalah pagi yang cerah. Mentari belum naik sepenuhnya di atas kepala, memancarkan cahaya hangat ke penjuru tempat yang dapat dijangkaunya. Awan-awan menjuntai indah di langit biru. Burung-burung bertengger di dahan pohon, menari-nari, menarik lawan jenisnya, serta berkicau dengan nyaring nan merdu.
Di sebuah ruangan serba putih, seorang gadis sedang terduduk di tempat tidurnya. Wajah tampak pucat dengan pipi yang menirus. Matanya ia edarkan ke seluruh ruangan. Gadis itu tidak mengenal tempat ini namun ia merasa sedikit familiar dengan tata letak ruangan di tempat ini.
Pandangannya kemudian beralih ke arah lengannya. Ada sebuah selang menancap di punggung tangan kanannya. Dengan melihatnya saja, gadis itu tahu kalau itu adalah selang infus. Selain itu ada satu hal yang menarik perhatiannya. Gadis itu menurunkan pandangannya. Dari rongga pakaian yang dikenakannya saat ini, ia bisa melihat tubuhnya dibalut kain putih sepenuhnya.
Karena penasaran lantas ia menyentuhnya namun rasa penasarannya tersebut harus dibayar dengan rasa sakit yang diterimanya. Gadis itu langsung teringat akan malam kecelakaan itu. Bersamaan dengan itu pula, seorang wanita dengan seragam Susternya membuka pintu ruangannya. Bukan menyapa, Suster tersebut malah mematung di tempatnya yang membuat gadis itu sontak kebingungan.
"P-pagi Suster. Ngomong-ngomong Adel boleh minta makanan gak? Lapar soalnya."
Gadis itu adalah Adelia. Sepuluh hari pasca operasi, gadis itu akhirnya membuka matanya. Dan hal yang pertama yang ingin dia lakukan hanyalah mengisi perutnya yang sudah berbunyi sedari tadi. Benar-benar lapar sekali.
Wanita itu perlahan bergerak mundur dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan. Detik berikutnya Suster tersebut langsung menghilang, berteriak, membuat kegaduhan di sepanjang koridor.
Pagi hari yang indah ini hampir rusak karenanya.
Kabar akan dirinya yang sudah siuman sampai ke telinga kerabat-kerabatnya dengan begitu cepat. Mamanya yang hendak berangkat ke kantor langsung putar balik menuju tempatnya sekarang. Bahkan Caca dan Luna sampai melewatkan jam pertamanya demi melihat dirinya yang sudah sadar ini. Semuanya hadir bahkan Yohan dan Sherly pun sampai mengikuti jejak kedua sahabatnya itu. Namun rasanya ada sesuatu yang kurang dari mereka. Adelia sama sekali tidak menemukan kehadirannya.
Kehadiran mereka bisa dibilang percuma saat ini. Dokter Hendi langsung turun tangan mengingatkan mereka untuk membiarkan dirinya beristirahat terlebih dahulu. Lagi pula karena kesadarannya sudah pulih, dirinya harus menjalani berbagai macam pengecekan.
Tentunya segala jenis protes terjadi namun karena Adelia yang membujuknya, mereka akhirnya mematuhinya.
Walau hanya dapat melihat mereka sekilas, tapi membuat Adelia merasa senang. Hanya saja perasaan yang mengganjal ini ... menghalangi kesenangannya.
Lima hari setelahnya Adelia mulai mendapatkan kunjungan pertamanya. Masih dengan orang-orang yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Dan lagi-lagi Adelia tidak melihat kehadirannya. Kemana dia? Apa karena kecelakaan itu membuat dia merasa takut untuk mengunjunginya? Kalau memang begitu, semuanya memang murni kesalahannya.
Andai dirinya tidak berbohong malam itu. Padahal ia sudah tahu kebenarannya dan sadar kalau dia akan memberikan pembenaran kepadanya, namun kenapa dirinya bisa berbicara seperti itu kepadanya? Kalau saja dirinya mau mendengarkan serta menerima ucapannya waktu itu, kejadian ini pasti tidak akan terjadi.
Malam itu ... Kenapa dirinya memilih untuk menghindari kenyataan?
"Hei, Del. Lo dengar gak?"
Panggilan seseorang langsung membuyarkan lamunan Adelia. Gadis itu menolehkan wajahnya, melihat ke arah Caca dan Luna—berada di sebelah kanan dan kiri ranjangnya—bergantian dengan tampang polosnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Miracle In Your Eyes
Novela Juvenil(16+) Adelia Maudy Dinata, gadis cantik dengan suara teramat merdu ketika bernyanyi. Ia dicap sebagai trouble maker di sekolahnya, SMA Bharatayudha. Sikap usilnya terhadap siswa-siswi difabel benar-benar meresahkan. Sebuah insiden mempertemukan Adel...