"P-pagi Bhiyan." Gadis itu menyapa dengan gugup kepada seorang remaja dengan postur tubuh tinggi kurus, membawa gitar yang dirangkul di bahunya. Ia memberikan senyum terbaiknya.
Laki-laki itu berhenti. Terdiam di tempatnya cukup lama sampai terdengar helaan napas darinya. Tidak lama kemudian dia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, meninggalkan Adelia tanpa memberikan respon apapun.
Adelia menatap kepergiannya dengan sendu. Lagi-lagi Bhiyan tidak memberikan respon apapun padanya. Diam dan berlalu, dua hal yang tidak pernah terpisahkan. Sejak saat itu, Bhiyan mulai menjauh.
Berbagai upaya telah ia lakukan agar hubungan mereka berdua kembali seperti semula, namun jerihnya itu tidak membuahkan hasil. Adelia merasa putus asa, tidak tahu lagi harus bagaimana.
Adelia mengalihkan pandangannya marena sudah tidak tahan lagi menatapnya. Matanya melihat keberadaan Alissa di balik kerumunan siswa-siswi yang berjalan memasuki sekolah. Ia melangkah mendekatinya.
"Alissa," panggilnya dengan nada lemas. Yang dipanggil ikut berhenti, menatap wajah Adelia sepersekian detik kemudian menghela napasnya. Ia langsung paham dengan apa yang akan dibahas Adelia.
"Bhiyan lagi?" Tanyanya tepat sasaran. Adelia mengangguk, mengiyakan.
"Gue enggak tahu harus gimana lagi—"
"Biarin dia sendiri dulu," Alissa memotongnya, tersenyum pada Adelia. "Bukan pertama kalinya Bhiyan begini. Kasih dia waktu. Kalau sudah, dia bakalan kembali seperti biasanya."
Setelah mengucapkan itu, Alissa langsung pergi meninggalkan Adelia yang terpana akan perkataannya barusan. Memandangi kepergian gadis itu sembari menahan rasa sesak yang bergejolak di dadanya. Memikirkan dalam-dalam saran yang dia berikan padanya.
***
Dua Minggu kemudian...
Musik Canon in D menggema di ruangan hotel yang cukup luas ini. Musiknya teramat merdu untuk didengarkan. Piano dan biola, dua buah instrumen yang tengah dimainkan oleh dua orang kakak beradik untuk mengiringi jalannya acara pernikahan yang sedang berlangsung di tempat ini.
Pengantin wanita dengan gaun berwarna putih panjangnya—diikuti beberapa orang serta anak-anak kecil yang mengikuti—berjalan ke tempat si pengantin pria yang sudah menunggu di tempatnya. Berdiri dengan gagah berani dengan jas hitam yang dikenakannya. Tidak sedikitpun menampakkan raut kegugupan di sana. Acara pernikahan berlangsung dengan khidmat.
"Mau ke mana?" Demian bertanya ketika pekerjaan keduanya telah usai. Bhiyan langsung berhenti.
"Jalan-jalan sebentar. Mau nitip?"
"Americano boleh. Jangan lama-lama tapi, mau hujan tuh kayaknya. Udah mendung banget," ujar Demian sembari menatap ke arah langit. "Sekalian bawakan biola gue." Bhiyan menganggukkan kepalanya, menerima biola yang dipegang Demian.
Memang benar hawa udaranya mulai terasa dingin di kulitnya.
"Lo udah makan belum?" Demian bertanya lagi seraya memperhatikan jam tangannya yang sudah memasuki jam makan siang.
"Bungkus aja."
"Lo kira warteg?"
Bhiyan menyeringai, lantas pergi ke tempat tujuannya semula.
***
Kakinya melangkah keluar dari toko dengan dua cup americano di tangan kirinya. Angin kencang langsung menerpa tubuhnya, sedikit membuatnya mendesis. Bhiyan mempercepat langkahnya. Ia merasa hujan sebentar lagi akan turun.
Lima menit kemudian hujan langsung mengguyur dengan derasnya. Menjatuhkan buliran air di tempat yang dikehendakinya, basah sekaligus dingin. Bhiyan mendesis, ia langsung berlari mencari tempat untuk berteduh. Walaupun tunanetra, Bhiyan cukup hebat soal navigasi. Itu semua berkat jiwa petualangnya yang sedari dulu melekat di dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Miracle In Your Eyes
Fiksi Remaja(16+) Adelia Maudy Dinata, gadis cantik dengan suara teramat merdu ketika bernyanyi. Ia dicap sebagai trouble maker di sekolahnya, SMA Bharatayudha. Sikap usilnya terhadap siswa-siswi difabel benar-benar meresahkan. Sebuah insiden mempertemukan Adel...