18. Jalan-Jalan

191 21 2
                                    

Pagi menjelang siang, kabar Adelia putus dengan Ray sampai di telinga dua sahabatnya. Adelia yang baru bangun dari tidurnya terpaksa harus menjawab segala pertanyaan-pertanyaan mereka yang serasa membombardir dirinya.

"Wah... udah kelewatan dia Del. Kalau ketemu bakalan gue hajar itu mukanya. Janji gue!" ujar kesal Luna di seberang. Mereka bertiga berbicara melalui via telepon.

"Lo sekarang gimana Del?" Timpal Caca yang dari suaranya terdengar khawatir akan dirinya.

Adelia yang hendak menjawab terpaksa harus dipotong Luna. "Ya sedih lah... Caca bego!"

"Lah... gue kan mau mastiin aja Lun!"

Alhasil mereka berdua berperang via telepon.

Adelia meletakkan ponselnya yang sedari tadi menempel di telinganya di atas kasurnya. Terbaring tengkurap sembari memeluk bantal tidurnya, mendengarkan pertengkaran dua sahabatnya yang kelihatannya akan lama selesai. Matanya kelihatan sembap, lemas tak berdaya. Ia tidak menyangka efek putus cinta bisa sampai separah ini.

Sakit rasanya. Menangis pun ia tidak sanggup lagi. Air matanya enggan kembali menetes. Ia merasa tengah berada di titik terendah dalam hidupnya. Namun ia merasa senang sekaligus lega karena masih ada orang-orang yang mempedulikan dirinya saat ini. Ia benar-benar kuat karena mereka.

"Gue udahan. Thanks udah support gue," Adelia meraih ponselnya, menekan tombol merah yang terpampang pada layarnya. Ia membiarkan dua sahabatnya berkelahi di sana karena ia tahu perkelahian mereka tidak akan ada ujungnya sampai salah satu dari mereka mengalah.

Ia meletakkan ponselnya sembarang, kemudian membenamkan wajahnya di dalam bantalnya. Ia benar-benar berharap hari-hari seperti ini bisa berlalu dengan cepat. Terutama pada kesedihannya.

Belum ada beberapa menit ia menenggelamkan wajahnya, ponselnya kembali bergetar. Tanpa menoleh sedikitpun, ia meraba kasurnya mencari keberadaan ponselnya. Ia langsung menjawab panggilan telepon tersebut.

"Halo?" Ucap Adelia dengan suara lemas.

"Kan kemarin lo udah janji sama gue, lo enggak akan nangis lagi."

Adelia terdiam cukup lama dalam posisinya yang sekarang, memastikan bahwa Bhiyan sedang menelepon dirinya. Ia sedikit mengintip di balik celah bantalnya dan benar saja Bhiyan sedang menelepon dirinya. Segera ia bangkit, terduduk.

"Mana ada gue nangis!" Ketus Adelia pada Bhiyan. Ia merasa begitu senang ketika mendengar suara Bhiyan kali ini.

Bhiyan berdeham singkat, "perasaan lo gimana sekarang?" Tanya Bhiyan.

Adelia menghela nafas panjang, dahinya berkerut turun. "Bad. Pretty Bad."

"Jadi, lo lagi uring-uringan sekarang ceritanya?"

"Hmmm... kayak lo belum pernah putus cinta aja." Entah kenapa Adelia bisa berbicara seperti itu pada Bhiyan.

"Kalau belum kenapa, kalau udah kenapa?"

Adelia menggaruk belakang kepalanya, "enggak apa-apa sih. Pengen tahu aja."

"Kalau udah tahu, memangnya lo mau jadi pacar gue?"

"He!?!?" Sontak saja Adelia kaget mendengarnya. Tanpa ia sadari rona wajahnya seketika berubah kemerahan.

Yang di seberang terkekeh geli, "bercanda. Jangan dibawa serius."

Dengan teganya Bhiyan menggodanya sekaligus membuatnya kesal sepagi ini. Padahal moodnya tidak kunjung membaik karena kejadian semalam.

"Daripada lo uring-uringan gak jelas begitu mending lo main ke Panti deh, Del. Gue lagi main sama—"

A Miracle In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang