Ruangan serasa begitu sepi. Detikan jam dinding terdengar di telinganya. Serasa membuat ruangan ini semakin hampa. Ditambah kegelapan abadi yang tidak akan pernah menemukan titik cahaya lagi.
Dari sebelah kanannya, angin menerpa tubuhnya yang masih terkulai lemas. Ia mendesis. Seseorang pasti lupa menutup jendela dengan rapat.
Ia tidak memiliki tenaga untuk menutupnya saat ini. Sisa tenaganya ia gunakan untuk menarik selimut, menutupi tubuhnya hingga ke bagian leher.
Sudah malam. Angin malam sama sekali tidak bisa membohongi kulitnya.
Bhiyan tidak tahu sudah berapa lama dirinya terlelap dan siapa yang sedang tertidur pulas di sebelah kanannya? Deru napasnya terdengar jelas sampai ke telinga.
Bunda atau Adelia?
Entahlah. Namun ia berharap Adelia yang ada di sampingnya. Yah... kalaupun bukan Adelia, tidak apa-apa juga. Setidaknya dia tidak merasa kesepian saat ini.
Teringat akan Adelia, mengingatkan Bhiyan pula pada kesalahannya yang dia lakukan. Ia benar-benar bodoh. Saat perdebatan, Adelia membelanya mati-matian dan dirinya malah membalas seperti itu?
Ia tidak berdaya. Benar-benar tidak berdaya.
Setiap perkataan yang Mama Adelia ucapkan serasa begitu menyakitkan di hati. Mengingatnya hanya akan membuatnya semakin sakit.
Setiap kata yang diucapkan Mama Adelia selalu benar. Dirinya yang memikirkan ucapannya matang-matang, membuat pendiriannya langsung down. Mempertanyakan apakah dirinya benar-benar pantas untuk mencintai.
Kesal sekali!
Kalau saja Tuhan tidak mengambil penglihatannya, nasibnya tidak akan seperih ini.
Tidak.
Kenapa Tuhan tidak mengambil nyawanya saja waktu itu? Tentunya dia tidak akan merasakan penderitaan seperti ini. Berdua bersama Ayahnya di sana.
Walaupun pada akhirnya, ia hanya perlu menunggu.
Sejurus lamanya merenung, pintu ruangan tempat Bhiyan dirawat terbuka. Bhiyan tersadar, memilih untuk tetap diam, penasaran dengan siapa yang baru saja masuk.
"Demian. Kamu enggak pulang?"
Suara Bunda dan orang tertidur di sampingnya adalah Demian?
Wow! Ia benar-benar tidak percaya dengan ini.
"Jam berapa, Bunda?" Demian menggeliat. Mengusap-usap wajahnya.
"Sembilan. Mendingan kamu pulang. Lagian besok kamu harus masuk kantor pagi-pagi sekali, kan? Biar Bunda yang jagain Adik kamu." Bunda mengingatkan dengan suara yang lembut.
Demian akhirnya mengiyakan seraya menguap. Perlahan ia bangkit, mengambil tasnya kemudian berjalan sedikit sempoyongan.
"Hati-hati bawa mobilnya."
"Iya, Bunda."
Pintu tertutup. Bunda menghela napas panjang, menatap anak keduanya yang saat ini masih terbujur lemah.
Sekelebat angin, masuk dari sela jendela membuat Hera mendesis. Ia langsung menutup rapat jendela tersebut. Memperhatikan jendela-jendela lainnya siapa tahu kurang tertutup rapat. Setelahnya ia duduk di tempat Demian duduk sebelumnya.
"Kenapa Bunda enggak tidur di rumah aja? Bhiyan jadi kasihan sama Bunda, tiap Bhiyan masuk Rumah Sakit Bunda harus tidur di samping Bhiyan."
Hera sedikit terkejut dengan Bhiyan yang tiba-tiba saja berbicara. Mendengar ucapannya membuat Hera bisa sedikit tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Miracle In Your Eyes
Fiksi Remaja(16+) Adelia Maudy Dinata, gadis cantik dengan suara teramat merdu ketika bernyanyi. Ia dicap sebagai trouble maker di sekolahnya, SMA Bharatayudha. Sikap usilnya terhadap siswa-siswi difabel benar-benar meresahkan. Sebuah insiden mempertemukan Adel...