4. Rencana Balas Dendam

430 21 0
                                    

Jam menunjukkan pukul empat sore. Alissa dan Bhiyan baru saja meninggalkan area sekolah. Terlihat, Alissa tengah merangkul gitar milik Bhiyan sembari memetik senarnya satu persatu. Nadanya terdengar aneh di telinga Bhiyan. Tidak teratur dan selaras. Bhiyan tertawa kecil mendengarnya.

"Jadi, gimana cara lo ngasih tahu Bunda soal kejadian di sekolah tadi Bhi?" Tanya Alissa memecah kesunyian, dirinya terus-menerus memetik gitar dengan kuku-kuku jari tangan kanannya.

"Enggak perlu dikasih tahu kayaknya. Kan lo tahu sendiri gimana reaksi Bunda kalau menyangkut urusan sekolah." Bhiyan bergidik ngeri sembari memegang tengkuknya, merasakan bulu kuduknya berdiri.

Sedetik kemudian Alissa berkacak pinggang. Ia memasang raut wajah marah, sembari mempraktekkan karakter Bunda Bhiyan disaat marah.

Bhiyan tersenyum kecut, mendengarnya. "Maaf Bunda. Bhiyan janji enggak bakalan ngulang hal yang serupa."

Keduanya lantas tertawa lepas, menertawakan aksi mereka yang barusan.

"Tapi gue salut banget sama lu Bhi. Lo bisa ngalahin mereka bertiga sendirian dalam keadaan lo yang sekarang."

"Lo tahu gak, mereka itu sabuk biru taekwondo loh." Bhiyan sedikit tersentak.

"Seriusan?" Seru Bhiyan tidak percaya.

"Iya, Bhiyan Adiaksa. Luna, Caca, Adelia, udah terkenal banget di sekolah. Baik dari prestasi, maupun tingkah lakunya di sekolah. Yah... seperti yang lo tahu, waktu pagi tadi."

Bhiyan mengangguk pelan.

"Tapi lo harus hati-hati sama mereka Bhi. Mereka enggak bakalan puas, sebelum orang yang di cap musuh sama mereka hancur. Terlebih lagi lo udah membuat api." Peringat Alissa merasa cemas pada sahabat.

"Tenang aja. Gue bisa jaga diri." Ujar Bhiyan sembari menepuk pundak Alissa, berusaha meyakinkannya.

Namun seketika Alissa membuang jauh-jauh pikiran cemasnya itu. Menggantikan air muka cemasnya, dengan senyum sumringah.

"Yah... mau sabuk merah, kuning, hijau enggak ada artinya sama juara anggar tingkat nasional kita."

Bhiyan menyunggingkan senyum. "Terserah lo deh, Alissa Fahira."

"Oh ya!" Seru Alissa teringat sesuatu. "Viona tadi ngucapin terima kasih sama lo Bhi, waktu di ruang BK tadi. Tapi lo keburu lari dari sana."

"Viona? Siapa?" Bhiyan tidak mengenal nama itu. Ia mengerutkan dahinya.

"Ah..." Alissa menepuk jidatnya, tidak percaya dengan temannya yang satu ini. "Cewek tunawicara yang lo tolong tadi."

Bhiyan ber-o ria. Seketika dirinya mengangguk paham.

"By the way, Viona cantik banget loh Bhi. Gue yang berpredikat Miss Universe aja merasa kalah. Sumpah... putih bersih, rambut hitam panjang, senyumnya yang manis banget. Satu lagi, dia tinggi banget mirip tower. Kayak lo!"

Bhiyan tersenyum kecut mendengarnya.

"Terus?" Tanya Bhiyan seadanya.

Alissa mendecak sebal. Sepanjang jalan kenangan ia berbicara, jawabannya hanyalah satu kata? Cih... rasanya Alissa menyesal telah mengajak Bhiyan berbicara.

***

Bhiyan sampai di rumahnya. Indera pendengarannya disambut oleh merdunya suara dentingan piano. Bhiyan mengenali gaya permainan ini. Pasti Bunda!

Ia melangkah, mendekati sumber suara itu. Ia meraba, menarik kursi lalu duduk di dekat Bundanya.

"Ah... kamu sudah pulang," Bunda menghentikan permainannya, mengacak gemas rambut Bhiyan.

A Miracle In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang