Eating For Two?

12K 399 19
                                    

Hari sudah mulai siang, aku sedang menunggu jarum jam menunjukkan ke arah jam 12, menunggu saat dimana bel sekolah berbunyi dan menunggu Sunny keluar dari kelasnya.

Yup, aku sedang menjemput Sunny bersama dengan Kevin. Kali ini, aku dan Kevin diantar oleh supir pribadi yang baru saja bekerja denganku. Dia bernama Pak Gera, dia orangnya baik dan ramah. Sangat sopan dan kukira umurnya sekitar 30-35.

Setelah sarapan tadi, David berkata ia sudah menyiapkan supir pribadi untuk kami dan juga asisten rumah tangga. Padahal aku sudah membantahnya, tapi dia selalu bilang kalau aku sedang sakit dan aku membutuhkannya.

Ada-ada saja David itu. Padahal kan aku tidak akan selamanya juga sakit seperti ini, lagipula aku cuma pusing dan mual biasa kok. Sikap David memang terlalu berlebihan.

Tak berlangsung lama, bel sekolah pun berbunyi dan anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Aku berdiri di dekat mobil sambil memeriksa satu-satu anak yang keluar dari sekolahnya, menunggu kehadiran Sunny.

"Aunty! Kevin!" Pekik Sunny saat keluar dari sekolahnya dan menemukan kami berdua yang berdiri tak jauh dari mobil.

"Ayo kita pulang, kak," ajak Kevin lalu menuntun Sunny masuk kedalam mobil. Aku hanya tersenyum kecil melihat mereka lalu akupun ikut memasuki mobil dan duduk dikursi penumpang samping kemudi.

"Langsung pulang bu?" Tanya Pak Gera, supir yang duduk di kursi pengemudi. "Iya, pak." Jawabku, lalu mobil pun mulai melaju menuju perumahan.

*****

"Sini, bi. Saya bantu," kataku saat memasuki dapur dan melihat Bi Mira sedang menyiapkan masakan untuk makan malam.

Bi Mira adalah asisten rumah tangga yang akan membantuku mengurus rumah. Dia juga sopan dan bersahabat, menurutku umurnya hampir sama dengan supirku, Pak Gera.

"Oh, gak usah non. Mendingan non istirahat, kan non itu lagi sakit."

"Gak apa bi, saya udah mendingan kok," kataku tetap membantu Bi Mira, kulihat Bi Mira hanya menghela nafas pasrah.

Tiba-tiba aku merasakan mual lagi dan pusing menyerangku, aku berusaha menahan semuanya tanpa harus menimbulkan kecurigaan dari Bi Mira. Semoga saja dia tidak menyadari gelagatku.

Setelah meletakkan piring-piring dimeja makan, aku segera berbalik dan berpapasan dengan Bi Mira, dia terus memperhatikan wajahku dengan serius sehingga membuatku risih.

"Bi, ada apa ya?" Tanyaku dengan heran, risih juga sih kalau diliatin begitu.

"Non, beneran udah sembuh? Muka non pucat banget," ujar Bi Mira akhirnya. Yah ketahuan deh.

"Udah kok, perasaan Bi Mira aja kali," kataku menyangkalnya, masa iya aku jujur pada Bi Mira. Dia pasti akan laporan pada David dan akan membuat David khawatir.

Kali ini, mual mulai menyerangku lebih hebat. Aku tidak bisa menahannya, maka aku berjalan dengan cepat ke wastafel yang ada di dapur dan memuntahkan isi perutku.

Untung saja saat aku memuntahkan isi perutku, tidak ada piring ataupun gelas kotor yang diletakan diwastafel. Jadi aku tinggal menyalakan keran untuk membersihkan bekas muntahanku.

Aku merasa ada yang memijat tengkukku, aku menengok dan menemukan Bi Mira yang berada dibelakangku sedang memperhatikanku dengan khawatir.

Setelah puas memuntahkan isi perutku, aku pun membilas mulutku dengan air keran dan membiarkan air keran untuk membersihkan wastafel dari mulutku.

"Makasih, bi," ujarku tulus padanya dan dijawabnya dengan sebuah anggukan serta senyum menenangkan.

"Mending non istirahat dulu, biar bibi bikinin teh hangat," ujar Bi Mira lalu menuntunku menuju kamarku dan David.

Tak lama setelah aku berbaring dan Bi Mira meninggalkanku sendiri dikamar untuk membuatkanku teh hangat, ia segera kembali dengan teh hangat ditangannya.

"Diminum dulu non," aku segera meminumnya, entah mengapa setelah mmeminumnya aku merasa lebih baik.

Sembari meletakkan gelas di nakas aku mengucapkan terimakasih pada Bi Mira dengan tulus. Sungguh dia baik sekali.

"Kalo boleh tau, non begini sejak kapan ya?" Tanya Bi Mira dengan sedikir takut. Buat apa dia takut denganku, aku bukanlah majikan yang jahat dan kejam seperti di sinetron-sinetron.

" Euhmm, kurasa udah sejak kemarin. Dan bi, aku minta sama bibi untuk jangan segitu takutnya sama aku, aku gak gigit kok," kataku yang berhasil membuat Bi Mira tertawa kecil dan merasa sedikit rileks.

"Apa non telat datang bulan sekarang?" Seketika aku ingat kalau sudah telat datang bulan sejak seminggu yang lalu. Aku pun mengangguk membalas ucapan Bi Mira.

"Non, sepertinya hamil. Coba aja di cek dulu pakai testpack," perkataan Bi Mira benar-benar sukses mencampur adukan perasaanku. Aku memang senang jika aku memang beneran hamil, tapi di satu sisi aku sedih. Aku takut David tidak akan menerima bayi ini.

Dan sepertinya, kesedihanlah yang akan menghampiriku untuk selanjutnya. Aku tahu David tidak akan bisa menerima kenyataan ini, dia terlihat begitu tidak suka denganku dan dia terlihat sangat menyayangi Camelia.

Jika kuberi tahu kalau aku memang benar hamil, dia pasti akan marah besar padaku dan memaksaku untuk membunuh bayi yang bahkan belum terlahir.

Semoga saja perkataan Bi Mira bukanlah kenyataan. Aku memang sangat mengharapkan bayi dalam pernikahanku dan David tapi untuk saat ini aku belum siap kehilangan David.

"Saya beliin testpack-nya ya, non istirahat aja dulu, saya gak lama kok," ujar Bi Mira dan setelah mendapat izin ku dia segera pergi ke apotek terdekat.

*****

Jantungku berdegub kencang saat melihat hasil testpack yang kugunakan. Demi tuhan aku sangat takut sekali jika sudah seperti ini.

Tok tok tok

"Non, gimana hasilnya?" Tanya Bi Mira dari balik pintu.

Akhirnya setelah menenangkan diri, aku pun segera keluar dan langsung berhadapan dengan Bi Mira yang sedang menungguku dengan cemas.

"Gimana non?"

"Aku.." aku begitu takut untuk menjelaskannya, dan terlihat Bi Mira yang berharap harap cemas.

"Ak-aku.. Hamil," kataku akhirnya.

°°°°°°

Hai, semoga ini gak mengecewakan yaa, ditunggu kelanjutannya.

Makasih ya yang udah vote dan komen di cerita ini. Dan makasih juga untuk pembaca setia cerita ini.

Love,
Hilda

The Power Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang