SEMESTA••38

16 0 0
                                    

"Arkan?"

"Mama?" lirih Arkan, tubuhnya membeku melihat kedatangan wanita paruh baya yang tak lain adalah sang mama. Jika biasanya Ia akan langsung memeluk wanita itu, lain dengan hari ini. Rasa kecewa di hatinya seolah menahan semua pergerakan tubuhnya.

Wanita itu berjalan ke arahnya, memberikan sebuah amplop berwarna putih sembari tersenyum. Setelah itu Arkan memutuskan untuk beranjak dari ruang tamu tanpa peduli dengan keberadaan sang mama.

"Nak, jangan lupa dengan janji kamu." ucap wanita itu, seketika Arkan memutar badannya. Lelaki itu tersenyum dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Kasih aku waktu 6 bulan." balas Arkan sebelum melanjutkan langkahnya. Wanita paruh baya itu pun memutuskan untuk pergi dari kediaman Pratama.

Brakkk

Arkan menggebrak meja di dalam kamarnya, membuang amplop putih itu sembarangan. Ia sudah lelah dengan semua masalah yang semakin rumit.

"Aulitta maafin kakak." lirihnya sebelum menenggelamkan tubuhnya dalam selimut tebal itu. Arkan memutuskan untuk tidur, walaupun pikirannya berkecamuk entah memikirkan solusi atau hanya mempersulit kondisi.

Tanpa lelaki itu sadari, ada seseorang berdiri di ambang pintu dan menyaksikan semua perbuatannya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah karena tidak pernah bertanya tentang luka yang Arkan rasakan. Bahkan dalam keadaan kacau pun kakak nya masih sempat memikirkan dirinya.

"_""_"

Pagi ini Aulitta memutuskan untuk membuat nasi goreng kesukaan kakaknya. Bi Nasih masih sakit sejak kemarin dan hari ini juga belum datang ke rumahnya. Suara langkah kaki menuruni tangga berhasil membuat Aulitta mengedarkan pandangan. Ia tersenyum ke arah Arkan yang melihatnya dengan tatapan aneh.

"Kak sarapan dulu yuk, Aulitta masak nasi goreng kesukaan kakak." ucap Aulitta dengan nada bahagia seolah tidak ada perdebatan apapun dengan Arkan.

Baru saja lelaki itu ingin melangkahkan kaki menyambut adiknya di meja makan, namun langkahnya terhenti. Ia mengingat alasan yang membuatnya harus membenci gadis kecil dihadapannya itu.

Arkan terkekeh pelan, "Lo pikir lo siapa ha?!" seolah dihantam oleh ribuan belati. Mata Aulitta mulai berkaca-kaca, tetapi berhasil Ia sembunyikan dengan senyumnya.

"Kak please sekali ini aja ya?" pintanya sembari membawa satu piring nasi goreng ke arah sang kakak.

Prang

Mata Aulitta memanas ketika melihat tangan kakaknya menepis kasar sepiring nasi goreng itu. Sebenci itukah Arkan padanya, hingga kerja kerasnya tidak dianggap ada.

"Berhenti bertingkah seolah kita dekat! Lo bukan adek gue!" bentak Arkan sebelum Ia berjalan meninggalkan rumahnya.

Air mata gadis itu lolos begitu saja, pertahannya runtuh tepat setalah suara deru motor menjauh dari halaman rumahnya. Aulitta menghapus air matanya menggunakan punggung tangan dengan kasar. Lalu segera membersihkan tumpahan nasi goreng lengkap dengan pecahan piring disana.

Gadis itu meringis kesakitan saat pecahan piring itu berhasil menggores jarinya. Namun rasa sakit itu hilang digantikan rasa sakit di dalam hatinya.

----

Kini Aulitta sudah berada di dalam kelas dengan raut wajah sendu. Tentu saja lantaran memikirkan sikap kakaknya yang seolah di luar nalar.

"Ada masalah?" suara bass seseorang itu berhasil membuat Aulitta menggeleng pelan. Ia sama sekali tidak ingin bicara. Bahkan Alena dan Maura sudah menyerah menanyakan kondisi gadis itu.

Devano mengulas senyum tipisnya, kemudian duduk di bangku kosong yang ada di sebelah gadis itu. Tentunya setelah berdebat dengan kedua sahabat Aulitta yang kini sudah pergi menyisakan mereka berdua.

"Tangan lo luka, ikut gue ke uks!" ucap Devano lalu menarik tangan Aulitta menuju uks.

Tidak ada penolakan, gadis itu hanya pasrah karena malas berdebat. Lagi pula luka di jarinya sudah mengering, akan lebih baik jika diobati.

Sesampainya di uks, Devano mulai membersihkan luka itu. Lelaki itu menatap tatapan kosong gadis di hadapannya. Tersirat beribu luka disana seolah bukan jari nya yang terluka.

"Cabut ya biar tenang?" tanya Arkan yang disambut anggukan oleh Aulitta. Kali ini membolos adalah pilihan yang tepat, dibandingkan melamun di kelas saat jam pelajaran.

Benar, lelaki itu membawa Aulitta menuju roof top. Ada beberapa siswa disana, tetapi Aulitta hanya diam dan memilih duduk di tepi. Kakinya dibiarkan menggantung, ia sama sekali tidak berniat untuk loncat. Aulitta hanya ingin menenangkan pikirannya tetapi tidak dengan menangis.

Marcel ingin sekali bertanya, namun dihentikan oleh tatapan tajam Hitto. Sedangkan Devano mulai berjalan menghampiri gadis itu setelah memerintahkan semua siswa meninggalkan tempat itu.

"Kenapa hm?" tanya Devano dengan tatapan yang hangat. Gadis itu menatap Devano dengan tatapan sendu.

"Gue lemah ya Dev?"

Senyum tipis terulas di bibir Devano. Akhirnya gadis itu mau berbicara, ya walaupun dengan pertanyaan yang cukup aneh. Devano menggeleng pelan, lalu memegang kedua pundak gadis itu.

"Hei, kenapa bilang gitu? Luka setiap orang itu beda, jadi kapasitas mereka juga ngga sama."

Aulitta menunduk, "Tapi hari ini gue gagal-" gadis itu tampak mengatur nafas menjeda ucapannya "gue gagal pertahanin senyum gue Dev."

"Litta, harus berapa kali gue bilang. Tunjukin apa yang sebenernya lo rasain. Ga akan ada abisnya kalo lo bohong sama diri lo sendiri."

Gadis itu hanya diam tidak membalas ucapan Devano.  Pikirannya berkecamuk memikirkan semua masalah yang tiba-tiba datang.  Hidupnya yang damai kini seolah sedang diguncang oleh semesta. Tanpa sadar, bulir air matanya jatuh kontan membuat Devano terbelalak. Seberat itukah masalahnya? Hingga merenggut semua keceriaan gadis itu.

"Gue duluan, thanks Dev." ucap Aulitta setelah menghapus air matanya kasar. Gadis itu melengang pergi dari rooftop menyisakan Devano dengan berjuta pertanyaan.

"Jangan buat gue menggagalkan apa yang seharusnya gue lakukan, Litta." lirih laki-laki itu, lalu melengang pergi.

Mld-28.4.21
i miss him so much


SEMESTA •• (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang