SEMESTA •• 31

42 11 1
                                    

Taksi berhenti tepat di depan rumah Aulitta. Gadis itu keluar dengan raut wajah masam. Masalah yang tak kunjung selesai ditambah dengan Arkan yang harus les tambahan membuat Aulitta jengah. Andai saja pagi tadi ia tidak pergi ke sekolah, mungkin semua akan lebih baik. Tetapi semua hanya perandaian yang andai bukan andai. Pusing. Apa tidak ada kalimat lain yang lebih sederhana untuk mendeskripsikan masalah ini?

Setelah gerbang di buka oleh satpam, Aulitta melangkah dengan malas. Pandangan gadis itu beralih menatap sebuah mobil yang terpakir di halaman. Dahi nya berkerut, tunggu sebentar mobil itu bukan milik keluarga Pratama (nama marga). Kerutan itu semakin jelas saat Aulitta mendengar seseorang sedang berbicara di dalam rumah.

Satu langkah. Manik mata Aulitta kini tertuju pada dua orang yang sedang asik mengobrol di ruang tamu. Arkan? Kenapa laki-laki itu ada di rumah? Bukannya tadi ada les tambahan? Percuma saja. Tidak ada jawaban untuk semua pertanyaan yang ada di benak Aulitta.

"Assalamualaikum..Litta pulangggg!" Teriak Aulitta seolah tidak mengetahui jika di rumah nya ada tamu.

Tiba-tiba seseorang memeluk tubuh gadis itu. Aulitta menegang. Pelukan ini sudah lama ia rindukan. Mata Aulitta mulai memanas ketika pelukan itu semakin erat. Bertahun-tahun menunggu momen seperti ini akhirnya sekarang terjadi. Mama nya pulang. Pasti sebentar lagi keluarga kecil nya akan berkumpul kembali. Tentu saja seperti dahulu kala.

Aulitta melerai pelukan itu, "Kenapa mama pergi nya lama? Padahal mama janji cuma sebentar kan?"

Tangan wanita itu tergerak menghapus air mata Aulitta. "Maafin mama ya.."

Seketika ukiran senyum di bibir Aulitta mengembang. Penantian nya selama ini seolah terbayar lunas ketika sang mama pulang. Bahkan rasa bahagia tidak cukup untuk menjelaskan suasana kali ini. Lamunan gadis itu buyar saat suara dentingan ponsel milik mama nya terdengar nyaring.

"Hallo"

"..."

"Tapi aku baru aja ketemu dengan anakku. Kamu jangan egois seperti itu."

"..."

Tut

Telepon diputus sepihak oleh orang di seberang sana. Arkan yang mengetahui perubahan raut wajah sang mama, ia segera mengalihkan situasi. Laki-laki itu sudah berdiri di samping Aulitta entah sejak kapan.

"Litta, mandi dulu sana!"

Aulitta memutar bola mata malas, "Apaan, nanti aja kak! Gue masih mau disini temenin mama."

"Nak, mama harus pergi karena ada beberapa urusan." Sontak Aulitta menelan ludah pahit sembari mengangguk pasrah. Belum satu jam mereka bertemu. Tetapi sudah harus berpisah lagi. Ya tuhan sulit sekali hanya untuk sekedar memiliki waktu bersama. Bahkan gadis itu belum sempat bercerir panjang lebar dengan mama nya. Tapi mau bagaimana lagi, tidak semua hal bisa berjalan sesuai kendali kita kan?

----
Setelah mengantar mama nya ke depan, gadis itu memutuskan untuk berdiam diri di kamar. Mentari sudah tenggelam beberapa waktu yang lalu. Sekarang Ia memikirkan ucapan Arkan tempo hari yang terbukti benar seratus persen.

Flashback on

Arkan meraih tangan Aulitta mencoba meyakinkan gadis itu. Isakan tangis masih terdengar jelas di telinga Arkan.

"Apa lagi kak? Belum cukup selama ini lo rahasiain tentang mama?

Kalimat itu berhasil membuat Arkan semakin merasa bersalah. Mungkin sudah saatnya Aulitta mengetahui semua. Tentang alasan dirinya merahasiakan keberadaan sang mama.

Helaan napas berat milik Arkan kontan membuat Aulitta beralih menatapnya, "Litta, dengerin penjelasan gue! Selama ini gue sembunyiin kebenaran dari lo karena gue gak pernah mau lo sakit hati. Cukup gue. Cukup gue yang ngerasain gimana sakit nya lihat mama dikendaliin orang lain. Cukup gue yang nelan rasa pahit sendirian. Cukup gu-" lirih Arkan yang tidak sanggup melanjutkan ucapan nya. Beberapa tahun ia berusaha bersembunyi dibalik sikap tak acuh terhadap keluarga. Tapi hari ini Arkan dipaksa berkata jujur di hadapan Aulitta.

"Terus kenapa mama gak pulang aja ke rumah?" Gadis itu mengusap air mata nya.

"Ke-na-pa?" Arkan sengaja menggantung ucapan nya sembari menetralkan sesak di dada. "Karena mama udah punya keluarga baru." Sebenarnya Arkan tidak pernah sanggup mengatakan ini.

Aulitta meraup paksa oksigen di tempat itu. Perkataan kakak nya seolah menghujam dan menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuh. Tidak. Ini semua pasti hanya mimpi. Ia mencubit pergelangan tangan nya. Masih terasa sakit, jadi bukan mimpi. Sangat sulit bagi Aulitta menerima segala kepahitan. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah jelas luka lama di hati kakak nya kembali menganga.

Flashback off

Drtttt..drttt..

Kesadaran Aulitta pulih bersamaan dengan getaran pada benda pipih di atas kasur. Ia mengatur napas yang tadi sempat tersendat, kemudian menggeser tombol berwarna hijau pada layar handphone miliknya.

"Hai"

"Hm?"

"Besok gue jemput!"

"Mana ada. Gue dianter besok!"

"Gak usah bawel! Kaki lo masih sakit."

"Terserah."

Aulitta melempar ponsel sembarangan. Pusing memikirkan masalah hidup yang terlalu rumit. Apalagi Devano tetap bersikeras mengusik dirinya. Kalau begini Aulitta akan memilih tinggal di pluto sendirian. Biar saja berteman dengan makhluk astral disana.

^_^ ^_^

Lapangan yang semula sepi kini menjelma bising karena deruan motor. Tidak membutuhkan waktu lama untuk anggota inti Sky bergabung dengan para warior. Devano berdiri paling depan berhadapan dengan Bima yang diketahui menjabat sebagai pemimpin geng Potret. Senyum smirk milik Devano tercetak jelas  memancing emosi dari lawan.

"Devano-Devano, masih betah aja lo mimpin mereka!" Ucap Bima seolah meremehkan kekuasaan Devano. Laki-laki berwajah asia itu sengaja menyulut api. Namun sayang nya Devano terlalu tenang menghadapi masalah apapun. Jadi tindakan Bima merupakan kesalahan besar.

Devano mengeraskan rahang, "Bacot! Keburu malem." Kemudian laki-laki itu menguap seolah merasakan kantuk. Tawa Sky pecah. Sungguh mereka tidak bisa menahan lagi. Devano memainkan peran layak nya pemain utama pada film layar lebar.

Potret semakin geram menyaksikan tingkah mereka. Seperti nya Devano berhasil membuat Potret tersulut api yang dibuat sendiri. Potret menyerang sesaat setelah Bima berteriak dan mengangkat tangan. Kericuhan sudah tidak terelakan lagi, walaupun Devano ingin menolak.

Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit anggota Potret mulai tumbang. Entah terluka karena pukulan atau karena tergores benda tajam milik mereka. Memang selalu seperti itu, Potret terbiasa membawa benda tajam untuk berlaku curang pada lawan. Sedangkan Sky sudah diwanti-wanti oleh anggota inti agar tidak membawa benda tajam berbentuk apapun.
Tetapi kelincahan Sky berhasil mengecoh lawan, sehingga benda itu mengenai Potret sendiri. Ya semacam pepatah senjata makan tuan.

"CABUT!" teriak Bima sambil mengusap darah segar di ujung bibir nya. Tentu saja akibat terkena pukulan Devano yang membuat lawan tidak berkutik.

Suara deruan motor itu semakin menghilang diganti hembusan angin malam. Hitto memerintahkan warior Sky untuk pulang sebelum banyak orang yang melihat kejadian disana. Kelima anggota inti masih berada di lapangan guna membereskan semua bukti.

Verel membuka bungkus permen cokelat yang sengaja dibeli tadi. "Buset dah. Tangan gue hampir ditebas sama pisau." Stevan memungut salah satu benda yang tertinggal di lapangan. Lalu menunjukan benda itu kepada Verel.

"Tangan lo gak bakal mempan ditebas sama pisau kecil gini kali!" Sontak mata Verel membulat ke arah pisau mengkilap itu. Tidak mempan? Enak saja Stevan berkata, padahal terlihat jelas benda itu sangat tajam.

Devano merebut pisau itu dari tangan Stevan, "Sini gue uji coba ke lo Stev!" Sontak Stevan melotot ke arah manusia setengah waras itu. Sedangkan yang lain malah tertawa terbahak-bahak.

"Aduh perut gue sakit lihat muka lo Stev." Celetukan Verel berhasil membuat Stevan menghadiakan pukulan di kepala pemuda itu secara cuma-cuma. Ringisan Verel menjadi penghujung cerita mereka hari ini.


Mld-13.07.20

-to be continue-

SEMESTA •• (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang