SEMESTA •• 27

49 13 2
                                    

Gemerlap lampu warna-warni menghiasi setiap sudut sekolah termasuk dinding luar gedung utama. Di sisi kanan lapangan basket sudah didirikan panggung untuk pertunjukan malam ini. Anak OSIS terlihat bekerja keras demi kelangsungan acara tahunan di sekolahnya.

Beberapa murid SMA Angkasa kini mulai memadati area panggung. Berbeda dengan kelima gadis yang memilih duduk di bazar yang sengaja disiapkan oleh panitia. Mereka menikmati coffee sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling guna membaca situasi. Ternyata dugaan Aulitta salah besar kalau acara ini bisa mengobati luka hatinya. Justru lebih membosankan daripada rebahan di rumah.

Hanna tersenyum menyapa Marcel yang baru saja melewati mereka. Setelah itu ngacir mengikuti lelaki yang masih menjabat sebagai pacarnya. Mungkin kata bucin saja belum cukup untuk menjuluki mereka. Sudahlah tidak terlalu penting untuk dipikirkan.

"Gue bosen disini." Maura mengaduk-aduk minumannya tanpa selera. Membuat yang lain kini beralih menatapnya.

"Bosen hidup kali lo." Akhirnya nadifa membuka suara juga. Ia memang tergolong orang-orang yang sekali ngomong bisa membuat panas telinga.

Maura memutar bola matanya malas, "Awas--" ucapannya terpotong karena suara seseorang dari atas panggung. Sontak yang lain terkekeh ketika melihat raut wajah gadis itu yang sengaja dijelek-jelekan.

"Tes..tes..semua murid harap mendekat ke arah panggung karena acara band akan segera dimulai."

Mendengar suara bass dari ketua OSIS pengganti Azriel itu membuat mereka mau tidak mau harus melangkahkan kaki menuju lapangan. Riuh. Adalah kata pertama yang ada di benak Aulitta saat menapaki lapangan yang luas itu.

Benar kata seseorang jika menyelesaikan masalah sangat dibutuhkan ketenangan. Aulitta berkali-kali mencoba berhenti memikirkan persoalan mama nya yang sampai sekarang belum menemui titik terang. Tapi sayang masalah di dalam keluarganya jauh lebih rumit daripada rumus fisika yang diajarkan oleh Pak Afan di kelas.

Tiba-tiba seseorang menggenggam tangannya dengan lembut. Sudah bisa dipastikan jika ia mengenali tangan itu. Aulitta menoleh ke arah laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan bertanya.

"Ikut gue sebentar."

Gadis itu tersentak kaget saat Devano membisikan tiga kata di telinganya. Ia masih bisa mendengar jelas suara Devano meskipun saat ini mereka berada di keramaian. Entah kenapa Aulitta hanya pasrah ketika Devano menarik tangannya. Padahal akal waras nya masih bekerja dengan benar.

Mata Aulitta terbelalak melihat laki-laki itu membawanya berjalan melewati koridor yang sepi dan minim penerangan. Ia hanya diam berharap Devano tidak berbuat macam-macam. Sebenarnya Aulitta ingin mencibirnya, tapi bisa malu kalau cibirannya salah. Gawat kalau Devano berpikir hal-hal yang buruk tentang nya.

Suara decitan pintu menggema di ujung ruangan. Devano menghentikan langkah saat sudah berada di rooftop. Gadis itu menghela napas lega melihat tatapan tenang di mata Devano. Setidaknya ia masih berpikir positif tentang cowok itu.

"Dev ada apa?"

"Gue cuma pengen bareng sama lo disini." Aulitta mendudukan dirinya di samping Devano. Menelisik laki-laki di hadapan nya yang bersikap aneh. Ia hanya tersenyum berpikir bahwa tidak ada salahnya juga berteman dengan Devano. Bahkan sampai sekarang tangan mungilnya masih digenggam erat. Laki-laki itu hanya diam dengan pandangan ke atas menatap langit.

"Eh gue lupa gak pamitan sama yang lain." Sebuah kode meminta Devano untuk membawanya pergi dari tempat ini. Namun lelaki itu tidak mengenyahkan ucapannya. To the poin mungkin bisa mengatasi.
"Dev gue mau balik!"

Devano menoleh sebentar lalu kembali menatap langit. "Kenapa?"

Satu kata yang berhasil membuat Aulitta menghela napas kasar. Apa laki-laki ini tidak punya kepekaan layaknya manusia normal yang lain. Ia mendengkus kesal lalu melepas genggaman Devano.

SEMESTA •• (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang