32 - Cerita Chava

20.4K 1K 43
                                    

Tarik nafas dulu guys, jangan tegang. Gak serem kok ehehe
...

Kedua orangtua Nicho telah mengetahui soal Rafa yang ternyata adalah cucu kandung mereka. Mereka telah mendengar penjelasan dari Anna. Anna pun meminta maaf karena menutup-nutupi status Rafa sebagai cucu mereka. Padahal, jika dulu Anna mengatakannya, mereka pasti akan menerima keduanya dengan tangan terbuka.

Alih-alih takut mencoreng nama baik keluarga besar Nicho, apa yang Anna lakukan malah terkesan egois. Bukankah Anna melakukan itu juga karena rasa insecure-nya. Menganggap dirinya tidak sebanding dengan Nicho. Jika sudah tahu begitu, mengapa sejak awal ia malah menjalin hubungan dengan Nicho. Malah sampai melakukan hal di luar batas. Jadi sakit yang Anna rasakan adalah pilihannya sendiri.

Nicho pun tak luput dari bogeman Chandra. Jika bukan Chava yang memohon pada papa mertuanya tersebut untuk berhenti, mungkin kini Nicho telah terbaring di UGD.

Sekarang Chandra dan Layla malah merasa tak enak hati pada Chava. Menantu mereka yang tak tahu apa-apa itu harus menerima fakta pahit dari masa lalu anak mereka.

Takut-takut Chava akan meninggalkan Nicho, kini mereka justru tersenyum hangat pada sang menantu yang sedang duduk di tepi brankar tempat Rafa berbaring. Ia berusaha menghibur anak itu menggunkan boneka tangan berkarakter panda. Chava terus bermonolog dengan cerita-cerita absurd yang dibuatnya sendiri secara dadakan. Rafa cukup terhibur, walau beberapakali ia harus terbengong dan bertanya pada Chava saat ada bagian cerita yang sulit dicerna oleh otaknya. 

Azab Beruang Nakal Pencuri Signal Wifi Tetangga Tanpa Bilang-Bilang. Itu adalah judul dari cerita yang sedang Chava ceritakan saat ini.

"Entah kenapa Mama menyukai sifat kekanakan Chava. Ada saja tingkahnya yang membuat orang-orang disekitarnya terhibur," ucap Layla memecah kesunyian.

Namun dalam seperkian detik air wajah Layla berubah menjadi raut khawatir. "Tapi—apa Chava juga merasa bahagia? Mama gak pernah melihat Chava marah ataupun sedih, lalu bagaimana cara dia menyalurkan emosinya?"

Selama ini Chava selalu menampilkan dirinya yang ceria di depan semua orang. Tatapan polos, Senyum lebar, cengiran lucu, celotehan ceplas-ceplos, tawa riang, dan aktif bergerak ke sana ke mari, itulah yang selama ini Layla lihat.

"Chava memang pintar menyembunyikan air matanya, Ma. Itu yang aku tahu sejak kami baru kenal," ucap Nicho menyetujui ucapan mamanya.

Hanya sekali Nicho menyaksikan Chava marah, ketika wanita itu cemburu secara berlebihan padanya.
Membuat Nicho balik marah besar pada Chava, hingga wanita itu pergi dari rumanya.

Nicho merasa bersalah. Karena setelah kejadian itu, Chava semakin membatasi dirinya untuk meluapkan emosi. Padahal itu sangat perlu.

Layla memegang tangan Nicho yang duduk di sampingnya. "Mama mohon, perlakukan Chava dengan baik. Sekokoh apapun balok kayu, kalau terlalu lama digerogoti oleh rayap maka akan hancur juga. Jangan sampai Chava merasakan itu. Mama gam akan rela."

Nicho balas menggenggam tangan sang Mama yang sedikit bergetar. Berkali-kali ia memberikan kecupan di punggung tangan tersebut. Pasti Layla sedang menahan tangis. Beliau saja bisa merasakan bagaimana sakitnya hati Chava saat ini.

"Iya Ma, aku janji."

Layla beralih menatap Anna yang duduk di seberangnya. Wanita tersebut tengah menagis dalam diam. Ia terus menyalahkan dirinya atas semuanya. Andai, andai, andai ... pikirannya dipenuhi oleh berbagai pengandaian yang seharusnya dirinya lakukan di waktu masa lalu. Sekarang apa gunanya ia berandai-andai jika semuanya sudah terjadi.

"Anna," panggil Layla dengan intonasi lembut. Sebagai sesama wanita, apalagi mereka sama-sama seorang ibu, Layla memahami bagaimana kondisi hati Anna saat ini.

Cepat-cepat Anna menepis air matanya menggunakan punghung tangan. Kemudian menegapkan duduknya, balas menatap Layla dengan mata sembabnya.

"Iya Bu?"

"Sini, duduk samping saya," titah Layla. Menepuk-nepuk permukaan sofa di sebelahnya yang masih ditempati Nicho.

Nicho mengerti, ia memberikan anggukan pada Anna sebagai kode bahwa untuk bertukar tempat duduk. Anna pun berpindah duduk di samping Layla dengan rasa amat canggung. Padahal sebelumnya mereka cukup akrab satu sama lain.

Layla mengusap-usap lengan bagian atas Anna. Memberikan kekuatan pada wanita tersebut agar tetap tegar. Lagi-lagi Anna mengusap air matanya yang kembali berjatuhan.

"Saya sungguh meminta maaf—atas semua keegoisan saya. Saya hanya memikirkan perasaan saya sendiri, sampai tega memisahkan Rafa dari Nicho," ucap Anna yang sedikit tersendat karena tangisnya.

Layla mengangguk. "Anna, kami juga ingin meminta maaf atas kelakuan anak kami yang berani menyentuhmu tanpa memikirkan resiko kedepannya."

Anna menggeleng cepat. "Tidak Bu, itu kesalahan kami berdua."

"Tapi sebagai laki-laki seharusnya dia berpikir dua langkah lebih maju sebelum melakukan sesuatu," sinis Chandra yang kini membuka suara. Sedari tadi ia bungkam karena sedang meredakan emosinya. Baru kali ini beliau bisa semarah ini.

"Mulai sekarang kamu juga bagian dari keluarga kami, Ann. Jadi gak usah sungkan lagi ya," ucap Layla sembari merangkul Anna.

"Tapi—" Layla menatap Anna dan Nicho bergantian. Mempertimbangkan sesuatu yang akan diucapkannya.

"—bisakah mulai sekarang kalian berdua menjaga jarak. Berhubungan seperlunya saja, jika ada hal yang menyangkut Rafa," lanjutnya.

"Bagaimana dengan pekerjaan saya Bu?" tanya Anna. Sebenarnya Anna setuju-setuju saja. Sebelumnya, ia pun berpikir untuk menjaga jarak dari Nicho. Walau kehidupan Rafa kini telah terjamin, tapi Anna tetap membutuhkan pekerjaan tersebut untuk kebutuhan hidupnya.

"Gak usah khawatir, kamu bisa pindah ke kantor cabang," sela Chandra sebelum Nicho akan membuka suara.

"Iya Ann. Seperti yang sudah aku katakan, untuk urusan finansial Rafa biar menjadi tanggunganku," ucap Nicho.

"Mmm, baiklah jika itu yang terbaik."

Mungkin memang harus begini jalannya. Jika menjauh adalah solusi, Anna akan melakukannya.

Tiba-tiba Chava melangkah mendekat ke arah mereka. Meninggalkan Rafa yang sudah terlelap dalam tidurnya setelah Chava menyelesaikan ceritanya. Mungkin anak berumur enam tahun tersebut lelah mencerna cerita-cerita Chava yang absurd itu.

"Gimana Cha, Rafanya sudah tidur ya," ucap Layla.

"Iya Ma, padahal Chava belum ceritain sequel ceritanya."

Mereka semua terkekeh mendengarnya. Ada-ada saja kelakuan wanita muda itu.

"Yasudah, nanti dilanjut lagi nyeritain sequelnya. Sebaiknya sekarang kamu isatirahat."

Chava mengangguk. Ia langsung mendudukkan dirinya di lengan sofa yang diduduki Nicho. Ia mengalungkan tangannya di leher sang suami, kemudian menyandarkan kepalanya di punggung Nicho. Matanya terpejam, menikmati aroma tubuh Nicho yang menenangkan.

"Mas Nicho, Chava ngantuk," ucap Chava lesu.

"Ya sudah, kita pulang saja ya." Chava mengangguk setuju.

Nicho dan Chava pun berpamitan untuk pulang lebih dulu. Sedangkan Layla dan Chandra masih menetap di sana. Menemani Anna yang katanya sedang menunggu kakaknya yang akan datang menemaninya. Padahal Anna telah mengatakan tidak apa-apa jika harus menjaga Rafa seorang diri, tapi pasangan paruh baya itu kekeh untuk menemaninya.

...

Hmm, Owgeh.

I Love You Om Nicho #ILYON (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang