26 - Dia Siapa?

27.1K 1.2K 56
                                    

Chava melebarkan senyumnya saat mobil Nicho datang mendekat, lalu berhenti di hadapannya. Nicho keluar dari mobil--menghampiri Chava. Ketampanan laki-laki itu terlihat meningkat hanya karena mengubah tatanan rambutnya. Rambut yang awalnya ditata rapih ke samping--kini berjambul. Ya, hanya itu, tapi efeknya cukup membuat Nicho tejh rlihat lebih muda. kalau begini--bagaimana Chava tidak semakin jatuh hati.

Ternyata tidak hanya Chava yang terpesona pada penampilan Nicho. Laki-laki berkepala tiga tersebut juga merasakan hal yang sama. Kali ini Chava tidak mengenakan pakaian kurang bahan yang merupakan baju favoritnya. Sebuah dress hitam polos, sebawah lutut dengan lengan sesiku itu terlihat lebih sopan, namun tidak mengurangi kesan sexy pada tubuh Chava.

Nicho mengalihkan pandangannya saat tersadar dari lamunannya. Bisa-bisa Chava jadi besar kepala karena terus diperhatikan.

"Tidak ada barang yang tertinggal?" tanya Nicho yang dijawab gelengan kepala oleh Chava. "Ya sudah. Sini kopernya."

Nicho mengambil alih koper Chava--memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Ia sendiri yang menyuruh Chava untuk sekalian berkemas, karena selepas acara nanti mereka akan pulang bersama ke Jakarta.

Chava lebih dulu masuk ke mobil. Tak lama Nicho menyusul. Ia langsung melajukan mobilnya meninggalkan kawasan Hotel.

Chava menopang dagunya mengamati Nicho yang sedang fokus menyetir. Pemandangan seperti ini tidak boleh disia-siakan.

"Chava suka jambulnya, tambah ganteng," jujur Chava.

Jujur Nicho jadi salah tingkah, manun juga bangga dalam waktu bersamaan. Sebenarnya style rambutnya saat ini terinspirasi dari idol korea yang fotonya betulan muncul di bagian explore instagramnya. Mengetahui Chava mengidolakan laki-laki dari negeri gingseng tersebut, entah kenapa Nicho jadi terdorong untuk mengikuti style rambut tersebut. Ternyata hasilnya tidak buruk. 

"Cha, pakaian kamu-" Nicho menghentikan ucapannya karena sadar--ucapannya akan menyinggung Chava.

Otomatis Chava menunduk--memeriksa pakaian yang dikenakannya. Rasanya tidak ada hal aneh dibajunya.

"Baju Chava kenapa, Om? Ada yang bolong ya? Sebelah mana?" Chava sampai memeriksa bagian jahitan di punggungnya.

"Tidak--bukan begitu. Maksud saya-- kamu tepat memilih dress karena eyang tidak menyukai perempuan berpakaiam minim?" jelas Nicho.

Chava menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Iya, Chava masih ingat kok ucapan eyang galak kemarin malam. Makannya Chava beli dress ini di mall deket hotel."

"Maaf jika perkataan eyang menyinggung kamu, Cha. Eyang memang ceplas-ceplos--seperti kamu," ucap Nicho.

Masing dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya, Chava menganggukkan kepala. Sebenarnya ia lumayan tersakiti oleh ucapan Eyang Diah, padahal itu adalah pertemuan pertama mereka. Tapi apa yang dikatakan Nicho benar. Eyang Diah memiliki sifat yang tidak berbeda jauh darinya. Mungkin inilah yang dirasakan orang-orang disekitarnya saat Chava terlalu ceplas-ceplos dalam bertutur kata. Bedanya, Chava tidak bermaksud menyakiti seseorang melalui perkataannya. Ya--walaupun mungkin tanpa ia sadari ada segelintir perkataan yang menyakiti prasaan mereka.

Chava meraih satu tangan Nicho yang bebas, lalu menggenggamnya. Karena itu, Nicho menoleh sekilas pada Chava. Dalam hati, Nicho merapalkan doa-doa agar tangannya tidak dingin dan berkeringat dalam genggaman Chava. Nicho juga bingung mengapa setiap berada di dekat gadis itu tangannya menjadi seperti itu.

"Om Nicho, gimana kalau Om ubah cara bicara Om ke Chava," usul Chava tiba-tiba.

"Memangnya--apa yang perlu diubah?" heran Nicho. Apa yang salah dari cara bicaranya? Rasanya normal-normal saja.

"Yang lebih santai gitu loh, Om. Sama Kak Anna aja Om bisa santai. Masa sama calon istri senjdiri ngomonya kayak sama rekan bisnis," ucap Chava sedikit merajuk.

"Saya dan Anna sudah lama kenal satu sama lain. Jadi kami sudah biasa. Sedangkan kita kan belum lama kenal, Cha."

"Tapi bisa diubah kan ...." rajuk Chava sambil menunduk--memainkan buku-buku jari Nicho.

Nicho pun kembali menoleh memperhatikan Chava. Kali ini lebih lama, karena di depan sana lampu masih berwarna merah. 

"Saya juga calon suami kamu, tapi mengapa kamu masih memanggil saya 'Om'?" Nicho membalikkan ucapan Chava sebelumnya. Sejak awal pertemuan mereka, Nicho membenci panggilan tersebut ditujukan untuknya. Ibarat buah, ia memang sudah matang, tapi tidak setua itu juga.

"'Om' itu panggilan sayang Chava buat Om Nicho tau," elak Chava.

"Kamu juga memanggil papa saya 'Om', berarti kamu juga sayang dengan papa saya, hmm?" cibir Nicho.

"Kata siapa?" balas Chava tidak terima, "beda tau, Om. Panggilan'Om' buat Om Nicho tuh spesial."

Apa bedanya njir, rutuk Nicho dalam hati.

'Tin tin ....'

Ternyata lampu sudah berubah jadi hijau. Pantas saja para pengemudi di belakang sana begitu tak sabaran. Baru beberapa detik saja sudah heboh. Nicho pun kembali melajukan mobilnya sebelum mereka benar-benar mengamuk. Otomatis dilepasnya genggaman tangan Chava--beralih memegang perseneling mobil.

"Saya tidak akan merubahnya, jika kamu masih memanggil saya seperti itu," ucap Nicho datar--sedikit mengancam.

Chava menghela nafas pasrah.  "Yaudah, Chava ubah panggilan Chava. Om Nicho mau dipanggil apa? Sayang, bae, baby, papi, dady, mas-"

"Itu saja," potong Nicho cepat.

"Itunya yang mana?"

"Mas."

"Mas? Oke, mulai saat ini Chava panggil Om Nicho, Mas, hihihi," ucap Chava cengengesan. "Terus panggilan sayang Om--eh--Mas Nicho ke Chava apa?"

"Nama saja."

Chava mencebikkan bibirnya. "Kok gitu? Gak adil dong ..." rajuknya, "gimana kalau 'sayang'? Ouuhhh, pasti gemes kaya yang sering Chava liat di tiktok."

"Alay Cha."

"Tapi Chava mau, biar romantis. Om Nicho aja boleh milih, masa Chava engga." Chava menyilangkan tangannya di dada-pandangannya lurus ke depan. Anggap saja ia sedang menuntut keadilan.

Kali ini Nicho yang menghela nafas pasrah. Sayang? Alay gila. Tapi kalau gak diturutin yang ada gak selesai-selesai debatnya, ucapnya dalam hati.

"Baiklah terserah kamu saja."

Chava langsung menoleh dengan wajah sumeringah. "Coba panggil."

Tiba-tiba Nicho jadi kesusahan menelan ludahnya sendiri. Tuhan, haruskah saya melakukannya, keluhnya dalam hati. Seakan panggilan itu mengandung unsur haram.

"Sayang," ucap Nicho cepat dan pelan. Alahasil ucapannya terdengar tidak jelas.

"Apa Mas, Chava gak denger, nih?" Chava mendekatkan telinganya pada Nicho.

"Sayang," ucap Nicho. Masih pelan, namun lebih jelas dari sebelumnya.

"Wuhu ...!" sorak Chava--terlihat begitu bahagia. "Pokonya Chava gak mau ngorek kuping sebulan."

'Cup'

Satu kecupan dilayangkan Chava ke pipi Nicho.

"Lipstik kamu nempel di wajah saya-"

"Eits, gak ada 'saya-sayaan'," potong Chava. Bisa kalian nilai sendiri, gadis itu mulai ngelunjak.
...

Nicho dan Chava jalan bergandengan menuju ruang keluarga. Dari pintu masuk saja mereka telah mendengar betapa berisiknya keadaan di dalam sana.

"Assalamualaikum," ucap Nicho yang dibeo oleh Chava.

"Nicho," panggil salah seorang wanita yang tiba-tiba saja langsung berlari memeluk tubuh Nicho. Chava sampai terdorong dan gandengannya pada lengan Nicho terlepas.

Chava menatap Nicho seakan bertanya, dia siapa?

...

Terimakasih telah singgah. Jangan lupa tinggalin jejak yupss.

I Love You Om Nicho #ILYON (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang