3. Usaha untuk menahan

2.5K 266 42
                                    

.

.

.

  Lukai saja aku, sakiti terus jiwaku, selagi aku masih bisa mengubahnya menjadi senyum.

                           


Luny membuka pintu rumah yang luas dan mewah, berlantai dua serta di isi dengan barang barang mahal di dalamnya dan tertata amat rapi, bagai kerajaan yang siap mengadakan pesta sayembara, tetapi tak ada kenyamanan dibalik kemewahan rumah ini, selain papa yang masih menganggapnya hidup. Dengan wajah lesuh dan lelah ia melangkah memasuki ruang tamu.

"Udah pulang?" tanya Rama ibu tirinya yang berumur 38 tahun, sedang duduk santai di atas sofa sambil memainkan ponselnya.

"Udah ma," jawabnya lembut, lalu melangkah ke kamarnya. Beberapa detik kemudian Ramah berteriak.

"Kamu memang anak yang ku ajar! Jam segini baru pulang? Ngapain aja kamu di sekolah!" Bentak Rama dengan suara keras. Membuat satu ruangan diam.

"Udahlah ma, Luny baru pulang sekolah biarin dia istirahat dulu," sahut Aldy lelaki yang berumur 42 tahun itu, yang notabenenya adalah ayah kandung Luny.

"Nggak bisa gitu pa! Dia udah besar seharusnya sudah dewasa dan bukan menjadi beban!" Sergah Rama yang membuat hati Luny terhantam keras. Dengan lembut Aldy menarik tangan gadis yang berdiri dengan ketakutan itu, lalu membawa Luny untuk duduk di sampingnya. Aldy tahu persis bagaimana Luny tertekan dengan sikap ibu tirinya yang belum bisa menerimanya menjadi bagian dalam keluarga.

"Sayang, kamu ngapain di sekolah kok baru pulang? Bukannya les privat kamu lagi kosong, ya?" tanya Aldy sambil mengusap pundak Luny, gadis itu menatap mata ayahnya yang teduh. Luny merasa setiap kali ia dibenci ada Aldy yang selalu memberinya dukungan untuk tetap bertahan. Sedangkan di mata Aldy, tersirat luka yang mendalam. Wajah Luny sangat mirip dengan Lusy istri pertamanya. Jikalau waktu bisa di ulang, mungkin ia tak akan melihat wajah Luny yang merasa tertekan selama ini.

"Luny tadi kerja kelompok pa." Luny menatap wajah Aldy dengan manja. Lalu Aldy membelai rambut panjang anak kandungnya dengan lembut, sedangkan Rama menatap tajam ke arah Luny. Saat itu juga Resy, anak kedua menghampiri Aldy dengan raut wajah cemburu.

"Pa, aku mau masuk les biola bisa nggak?" tanya Resy gadis berumur 12 tahun yang masih duduk di jenjang SMP, anak kandung dari Aldy dan Rama.

"Boleh sayang, apa sih yang nggak bisa untuk anak papa? emang pendaftarannya kapan?"

"Terakhir besok pa." Resy menyodorkan kertas berisi pendaftaran, lalu duduk manja di samping Aldy.

"Maaf sayang, lain kali aja ya. Papa baru ingat, kemarin kakak kamu masuk les privat semua bidang study di sekolah, jadi pembayarannya mahal." Aldy menatap wajah Resy memohon pengertian.

"Tapi, teman-teman Resy udah banyak yang daftar pa! Sekali ini aja please, Resy janji bakal les biolanya sungguh-sungguh. Papa tau sendiri 'kan Resy hobby banget main biola!" Resy merengek, memaksa Aldy untuk memenuhi keinginannya. Wajahnya memerah, air matanya hampir jatuh, suaranya terdengar gemetar. Tatapan sinisnya tertuju tajam pada Luny.

"Sayang, 'kan masih banyak les privat lain. Kapan-kapan aja ya, papa juga lagi hemat uang untuk pembaharuan perusahaan papa." Aldy mengelus rambut gelombang Resy, mencoba menenangkan gadis itu.

"Papa kenapa sih, nggak pernah perhatian sama Resy!
Resy pengen masuk les biola sekali aja papa yang bayar, selama ini mama semua yang perhatian penuh ke Resy! Papa nggak pernah sayang 'kan sama Resy? Papa emang udah beda, bukan papa yang dulu!" Bentaknya dengan keras dan melepaskan tangan Aldy yang berusaha menghambatnya pergi. Resy berlari menaiki tangga kamar lalu membanting pintu dengan kuat hingga suaranya memenuhi ruangan tamu.

Luluh tapi Luka [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang