58. Sword. 5. 2

634 132 8
                                    

SABITO tertawa saat melihat wajah cengo dari gadis ini, "astaga wajahmu itu membuatku sakit perut [Name]." Otaknya masih mencerna kejadian sebelumnya dan kenapa dirinya bisa sampai disini. "Sabito?"

"Hm?" Sabito yang ia lihat sekarang bukanlah perwujudan saat terakhir kali keduanya berpisah, "apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tangan Sabito berada pada sisi tubuh gadis ini menjadi tumpuan tubuh besarnya.

Saliva ditelan kasar, Sabito yang ia lihat sekarang adalah perwujudan dewasanya. Rahang tegas serta bahu lebar miliknya menjadi gambaran ia sekarang, bibir gadis itu bungkam.

"[Name] kenapa diam? Tidak mau bertemu denganku ya?"

Netra violetnya, memandang lurus pada kelereng [e/c] gadis yang masih membaringkan dirinya diatas hamparan rumput hijau. Kedua tangan kurus terangkat, membawa tengkuk si pria perlahan jatuh ia dekap dalam. Hidung mencium aroma familiar yang menguar dari Sabito tersenyum tipis. Membiarkan kepalanya bersandar dan membiarkan telinganya mendengar debaran jantung gadis itu, "aku...merindukanmu."

Dalam dua menit Sabito sedikit menarik tubuh yang berbaring itu pada rengkuhannya, "hontou ka?" Sabito merasakan kepala gadis itu yang mengangguk dalam pelukannya.

"Ya."

Senyum pahit terulas pada wajah. "Aku juga merindukanmu, tapi sekarang kau tidak udah berpura-pura [Name]."

"Apa maksud—"

"Kau mencintai Giyuu bukan?"

"Ya, Sabito. Gomen." Sabito tertawa, pelukan terlepas, wajah gadis itu menatapnya dengan alit bertaut bingung. "Kenapa kau meminta maaf padaku hm? Padahal di sini aku yang salah." Ia menggeleng, "tidak Sa—"

"Jika saja dulu kukatakan aku mencintaimu juga, apa ada hal dari kita yang berubah?" Netra violetnya menyendu, tangan mengusap pipi gembil [Name]. "Jika dulu kukatakan terlebih dahulu perasaanku padamu apakah kau masih bisa mendengar detak jantungku sekarang?" Tangan Sabito menuntun, membawa telapak tangan gadis itu tepat diatas dadanya. Dengan senyum kecutnya kembali Sabito terkekeh, "mou ii yo. Aku sudah bisa mengerti keadaannya. Jadi [Name] hal apa yang ingin kau katakan padaku?"

Bibirnya masih bungkam, pelupuk mata tergenang oleh air, "baka. Jangan menangis, dasar masih saja cengeng seperti dulu. Pantas saja Urokodaki-sensei sangat memgkhawatirkanmu." Mata [e/c] mengerjap, ah Sabito benar. Ia menangis, dengan cepat diusapnya kasar oleh lengan menyebabkan sedikit merah sekitar mata. "Jangan bodoh, Urokodaki-sensei memang selalu memperhatikan anak didiknya tahu." Ujar [Name] menyangkal dengan kepalan tangan sedikit memukul dada Sabito pelan. "Hai, hai."

Tercipta keheningan diantara keduanya, kelereng mata berbeda warna hanya menatap langit biru yang membentang,

"Kyoujuurou berkata dia mencintaiku. Lalu Giyuu—"

"Giyuu mencintaimu, hanya mencintaimu. Dia hanya bimbang sekilas, karena kau tahu? Giyuu selalu mengesampingkan perasaan pribadinya saat aku masih ada, dia mungkin tahu kalau aku memang menyukaimu sejak dulu."

Kepala ditoleh, Sabito tersenyum kecil. "Yah dia memang selalu seperti itu sih."

"Entahlah, aku masih terlalu bingung harus menanggapi bagaimana."

Lagi-lagi kehingan menyeruak diantara keduanya, hingga suara Sabito memecahkan rasa senyap.

"[Name] percayalah pada dirimu sendiri."

"Eh? Tiba-tiba?"

"Haha, yahh. Ada urusan yang harus kau selesaikan bukan [Name]?" Sabito memiringkan kepala masih dengan senyum hangat miliknya. "Ganbare, aku tahu kau bisa menyelesaikan segala permasalahanmu." Tangan terulur mengusap puncak kepala gadis itu lembut, "kau mau ke mana?"

"Tentu saja aku akan pergi baka." Kening disentil pelan, bibir [Name] cemberut mengusap dahinya. "Jaga dirimu baik-baik dan jaga apa yang menurutmu penting." Dagu diangkat oleh Sabito hingga kedua kelereng bertabrakan, senyum lembut memenuhi relung hati, "karena ini pertemuan terakhir kita, aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Berbahagialah [Full name]." Kecupan dilayangkan pada kening dengan itu semuanya terlihat mengabur dengan cepat.

Perlahan matanya terbuka mendapati figur Muichirou yang tengah mengambang dalam gelembung, "Muichirou!"

"Sial kenapa tiba-tiba seperti ini." Kotetsu sedang mencoba menusuk gelembung air itu dengan pisau yang dipegang, mata heterochrom melirik pada ikan bersirip tajam seperti pedang yang siap menyerang bocah berumur 10 tahun itu dari belakang. Tungkai kaki langsung berlari tak memperdulikan luka akibat jarum yang masih menusuk tubuhnya, dengan cepat bilahnya menebas ikan tersebut. "Menyingkir dari sini." Ujar [Name] sedikit mendorong tubuh si bocah untuk mundur.

"Ame no kokyu : Juu ichi no kata : Yoru no bōfūu!"

"Nafas kabut : jurus kedua : kabut berlapis!"

Kedua jurus bersitabrak, membuat gelembung air itu kini pecah, Muichirou tengah mengambil oksigen banyak-banyak. Sementara gadis itu mencabut jarum yang menancap pada tubuhnya, "ano terimakasih."

"Kinishinaide, siapa namamu?" Ujar gadis itu menoleh pada bocah yang menghampirinya. "Kotetsu."

"Nama yang bagus, sekarang aku harus menyelamatkan orang yang di dalam gubuk itu." Kakinya berlari dengan cepat, menuju gubuk itu. Terlihat Gyokko yang sudah mengeluarkan gucinya. "Mizu no Kokyu: Shi no kata: Uchishio"

Gyokko berdecih, "lagi-lagi kau membuat guci kebanggaanku pecah."

Ujung nichirin teracung, "pergi dari sana Gyokko, kembalilah kemari." Dapat dilihat oleh matanya kedua warga penempa pedang dengan salah satunya terluka, ia mengenalinya topeng dari salah satu hyottoko yang tengah mengasah pedang itu. "Haganezuka-san?" Gumamnya. Muichirou berdiri di samping, "pergilah kutangani dari sini."

"Baiklah lebih baik begitu. Kutitipkan iblis ini padamu."

Gadis itu berlari, matanya menangkap bocah bernama Kotetsu yang masih berdiri. "Hey ayo ikut aku."

"Eh tapi Kanamori-san dan Haganezuka-san ada—"

"Percaya pada orang yang kau panggil kepala rumput laut itu, ia akan melindunginya."

"Kau?! Bagaimana bisa?!"

"Aku mendengarmu mengumpat saat itu." Tangan gadis itu menggendong Kotetsu cepat, "jangan cepat-cepat!"

Tungkai kakinya berlari, mengandalkan insting pilarnya. Kotetsu yang dibawa hanya pasrah oleh keadaan hingga kepalanya mencugat, "bukankah itu Tanjirou?!" Perkataan Kotetsu membuat kaki berhenti, menatap telunjuk yang diarahkan si bocah pada Tanjirou, "jangan menyerah!! Serang saja sekali lagi! Tebas lehernya sekali lagi! Jangan pernah menyerah! Kali ini kau pasti bisa! Akan kulindungi kau fokuslah memenggal kepalanya!!" Teriakan Tanjirou bisa didengar sampai sini, tubuh Kotetsu diturunkan. "Berlindung Kotetsu jangan sampai iblis lain menemukanmu, jika ada hal yang mencurigakan teriak saja. Dan aku akan menolongmu. Kau mengerti?"

"Hai!" Bocah itu berlari mencari tempat persembunyian. Sedang [Name] berlari pada arah Tanjirou, "bukankah kau ingin menjadi pilar? Shinazugawa Genya?!"

[Name] mengerutkan alisnya tatkala mendengar marga yang tak asing pada telinga, "masaka?!"

Tanjirou berlari, tak menyadari ada iblis lain dari arah belakangnya. 'Sialan serangannya mengenaiku sekarang aku..' wajah Tanjirou sontak mencugat, "Shinazugawa Genya, harapanmu menjadi seorang pilar sangat mulia. Aku menghormatinya."

Netra Tanjirou dan Genya melihat gadis itu yang tengah tersenyum, lantas beralih pada iblis yang berada dibawah kakinya. "Mungkin kau akan menjadi pilar sekuat kakakmu nanti."

"Gadis sialan!"

Tanjirou tersenyum, "[Name]-san!!"[]

𝐃𝐎𝐖𝐍𝐏𝐎𝐔𝐑 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang