𝙊𝙉𝙀

746 56 2
                                    

ADA SEBUAH RASA YANG TAK PERNAH IA MENGERTI. Gadis itu memang ahmak dalam menyadari perasaan yang kerap kali hadir dalam hal menemani dirinya dalam luka.

Ia menginjakkan kaki. Pertama kali di sini, memandang kediaman yang tak pernah dikunjungi kendati dulu hubungannya pernah dekat. Mengambil nafas sebelum tangan terulur untuk mengetuk pintu kayu geser di depannya, ragunya menyelinap dengan mata berdenyar resah.

"[Name]?"

Suara menyentak sadar, tubuh berbalik cepat mendapati pemuda dengan Haori serampangan menjadi ciri khasnya, Tomioka Giyuu tercengang mendapati fakta bawa figur gadis itu yang berdiri tepat di depan kediamannya. Ia pikir ini hanyalah sebuah ilusi namun saat tubuhnya ia dekap ini kenyataan.

"Giyuu—"

"Jangan. Aku tidak mau mendengarnya sekarang, aku hanya takut kau tidak bisa kembali bersamaku. Aku takut bahwa kau akan sepenuhnya berpaling dariku, karena itu kumohon sebelum kau berbicara perihal aku untuk melepaskanmu, biarkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya, kumohon [Name]." Lirihnya.

Lengan pemuda itu merengkuh dengan erat, seolah tak membiarkan sang hujan meninggalkan hati yang dipenuhi tanah tandus, "Aku menghindarimu, aku mencoba untuk melupakanmu, aku berusaha untuk mengenyahkan perasaanku untukmu Giyuu."

Hatinya mencelos, dikatakan bahwa kalimat gadis itu mengirisnya perlahan. "Tapi Giyuu, aku menyadarinya... aku menyadari kalau aku—"

"Aku mencintaimu [Name]. Sangat mencintaimu, aku tidak bisa menyangkal itu. Maaf, maaf, maafkan aku yang saat itu meninggalkanmu—"

"Giyuu, maaf. Tapi kita tidak bisa kembali untuk sedia kala lagi seperti saat itu."

Pupil biru gelapnya membelalak, asanya dibawa jatuh bebas oleh kalam yang diucap oleh bibir itu. Giyuu sangat tahu bahwa kesalahannya memang membuat gadis ini sakit hati namun jika saja ia berpikir lebih rasional sejak saat itu mungkin saat ini ia tidak akan merasa sebuah remasan pada batinnya.

Bodoh.

Seharusnya saat itu tak ia ucapkan kalimat perpisahan, tak seharusnya juga ia lepaskan genggam sang gadis untuk pergi. Kalau ia tahu akan begini sakitnya, Tomioka Giyuu mungkin tidak akan pernah melepas sang gadis untuk menemui sang pelipur lara.

"Walaupun ini sudah berakhir, bisakah kau tetap tinggal malam ini?"

"Gomen aku tidak bisa."

Dia tahu.

"Jika hari esok kau bukanlah milikku, maukah kau memberikan aku satu pelukan sebelum melepas kebersamaan?" Tubuh mungil mendekap, berikan rasa hangat padanya untuk sebuah afeksi yang tak akan pernah lagi ia dapatkan. Hangat peluknya yang tersisa Giyuu akan mencoba meresapi kenyataan pahit yang ada bahwa si gadis pemilik hati tak akan pernah kembali untuk dirinya.

Dalam sakitnya figur yang kian menjauh, kini tubuhnya terporosok jatuh dengan lutut menghantam tanah, tak pernah ia pungkiri bahwa semua tindakan untuk mendapatkan hal indah kembali akan berakhir tanpa bisa ia sangkal juga.

Dengan pandangan yang acap kali mengabur oleh tirta yang jatuh, menatap dengan asa kosong mengantarkan punggung mungilnya yang  lesap diujung mata.

Sang Dewi malam meninggi menemani hiruk pikuk gemintang menyebar luas, tungkai kaki kerap berlari menembus angin dingin dipertengahan malam menuju dini hari, ia mencari sebuah figur kala hatinya lelah, mencari pundak kala diri tak kuat dengan pelik nestapa sakit hati, juga mencari peluk yang membuat hatinya menghangat.

Ia sudah tak ingin berteman dengan kesedihan nyata membuat dia terpuruk, sedihnya hati tak mampu buat ia berpikir dengan baik. Barangkali buta dengan apa yang ada di depan mata, kaki refleks berhenti.

Piguranya ada disana, tengah berjalan kemari. Saliva ditelan kasar, bibir sudah siap untuk mengungkapkan kalimat tersendat pada tenggorokan kala tubuhnya sudah berada dengan jarak yang dekat untuk ia cakapi namun detik itu juga hatinya mencelos.

Figur itu melewati dirinya tanpa sepatah katapun, mata berdenyar resah menatap tanah. Ada perasaan menyesakkan meremas jantung—mungkinkah ini sebuah karma untuknya? Karena menyia-nyiakan seseorang yang mungkin memang benar mencintainya, saliva ditelan kasar sebelum tubuh berbalik.

Dengan kepalan tangan, bibir itu terbuka, "Kyojuurou!" Teriaknya kecil membelah malam. Dia tak berhenti, dengan gundahnya hati diterpa rasa takut kaki berjalan lantas memacu temponya mengikis sebuah distansi.

Kedua lengan kecil menahan tubuh besar itu dari belakang, mencegahnya mengambil langkah banyak. "Kalau kau seperti ini aku tidak bisa melupakanmu, kumohon berhentilah memberiku sebuah harapan—"

"Iie! Aku tidak ingin kau melupakanku. Aku tidak mau kau berhenti untuk memperhatikanku, aku tidak mau kau berpaling dariku—"

"Bukankah kau egois?" Tubuhnya berbalik, mendapati wajahnya yang menunduk menyembunyikan rupa jelita yang dimiliki gadis di depannya. "Kau benar aku egois, aku egois karena menginginkanmu. Aku egois karena aku ingin kau terus disisiku," perlahan wajah itu mengadah. Mata kuning merahnya membelalak, "Aku egois karena aku ingin kau terus mencintaiku, aku egois karena aku ingin kau selalu memelukku, aku egois karena aku mencintaimu Kyo—" perkataanya terputus oleh sebuah kecupan kepalang cepat, mengantarkan sejuta kupu-kupu yang berterbangan pada perut dua anak manusia itu mengirim desir menyengat kala tindakan itu tak hanya sebuah penempelan material saja.

Karantala besarnya menangkup wajah sang adiratna, membawanya dalam ciuman dalam dibawah sang rembulan. Otot basah tanpa tulang itu bergumul berlomba siapa yang akan memenangkan dominasi, namun dengan mudahnya si pria yang memenangkan pergumulan itu dengan cepat. Daging tanpa tulang memasuki, mengabsen tiap gigi berbaris rapih tak ayal kembali dipertemukan lagi oleh penguhi mulut hingga keduanya membutuhkan pasokan oksigen.

"Katakan," nafas mereka terengah wajah itu sayu ditimpa cahaya dari Dewi malam membuat dirinya terus mendambakan sang gadis, "Tentang?"

"Perasaanmu yang sesungguhnya." Dalam keheningan yang memakan dua manusia, jantung itu terus berpacu dalam tubuh memainkan drama ungkapan yang ditunggu kebenarannya. Dia senantiasa untuk menunggu bibir kecil itu berkata, ditemani berisiknya sayap jangkrik bergesekan, si pria tak ada hentinya untuk amati wajah itu.

Perasaanya semakin dalam saat ia menyelam dalam mata indah miliknya, mungkin itulah kenapa ia selalu kalah dengan hatinya. Berkata untuk tidak mencintai lagi namun gadis ini selalu membuatnya takluk, sekon demi sekon akhirnya labium itu mengungkapkan, "Aku mencintaimu, aku mencintaimu Kyoujuurou."

Benarkah hal ini terjadi? Jika memang ini adalah mimpi yang diberikan Batara dengan dalih menghibur dirinya patah hati maka ia tak ingin terbangun, namun saat gadis itu menangkup wajahnya agar pundak merendah serta kecupan pada dahi diberikan rasanya debaran ini benar-benar nyata dirasa.

Ia tidak ingin terbangun sekarang.

"Kuterima proposal lamaranmu itu, tak ada lagi keraguan dalam hatiku padamu. Rengoku Kyojuurou kau berhasil mengambil hatiku jadi jangan pernah sesekali melepasnya,"

Bukan ini bukan mimpi ataupun sebuah fatamorgana yang diberikan Batara karena merasa kasihan melihat umatnya menderita hati nestapa, ini sebuah kenyataan yang datang padanya bahkan hangat dari pelukan tubuh itu juga nyata. Kedua lengan kekar itu balas memeluk tubuh mungil, membungkusnya dengan tubuhnya yang besar dengan air mata yang luruh kepala itu mengangguk. "Terimakasih sudah membalas perasaanku, karena mulai detik ini kau akan selalu menjadi tempatku untuk pulang."[]

𝐃𝐎𝐖𝐍𝐏𝐎𝐔𝐑 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang