‡ Chapter IX ‡ ~ "Perasaan yang Belum Selesai (1)"

2.7K 471 18
                                    

~•II.0.II.I~
Aku perlu mengatakannya padamu. Jika kau hanya mempercayai apa yang terlihat, kau akan terpedaya pada tipu muslihat.

{ ‡ ‡ ‡ }

Rutinitasku setiap malam adalah mengecek kembali kertas penyelamat di bawah tempat tidurku. Karena itu, ketika Marchioness mengetuk pintu dan menawarkan tidur bersamaku, aku langsung panik dan menyembunyikan kertas itu di bawah bantal.

"Jika Ibu tidak melakukan ini, entah mengapa Ibu akan menyesal." ucapnya meresap kepanikanku menjadi bingung.

Akan tetapi aku tidak bisa menolak bulan sabit pada mata jernihnya yang berwarna zamrud itu.

Marchioness meletakkan lilin aroma di atas meja. Dan dengan penerangan kecil itu, aku bisa melihat wajahnya yang cantik bercahaya di bawah rembulan. Perasaanku menjadi pedih dalam beberapa saat — aku tidak seharusnya menerima kehangatan ini. Jika Marchioness tahu aku bukanlah Lacie Berville, dia pasti akan menatapku dengan dingin.

Hah. Menjadi emosional sama sekali tidak pantas buat orang sepertiku.

"Ibu... Anda benar-benar orang yang baik."

Sangat baik sampai aku merasa bersalah telah mengambil tempat yang dimiliki Lacie Berville.

Marchioness tertawa kecil mendengar ucapanku. "Terimakasih atas pujiannya, aku tidak pernah mendengarnya akhir-akhir ini."

Dan dengan perkataannya itu, Marchioness berbaring di sampingku. Dia mengarahkan kepalanya ke samping dan melihatku dengan pandangan hangat.

"Waktu sangat cepat berlalu. Sebelumnya Lacie sangat kecil. Lacie yang kecil tapi bertindak dewasa. Tetapi sekarang aku tidak perlu khawatir lagi, rupanya putriku sudah mencapai kedewasaannya. Kau bisa membuat alur terbaik untuk dirimu sendiri."

Perkataan Marchioness menahan senyumanku. Karena Lacie Berville selalu menjadi sosok protagonis yang disayangi pasangan Berville, aku tidak pernah memikirkan betapa pedulinya mereka padaku.

Bahkan sekalipun aku mengerti bahwa keduanya sibuk, mereka selalu menyempatkan diri untuk setidaknya berkumpul di ruang makan. Mereka juga lebih memilih keluarga dibandingkan pekerjaannya.

"Tidak seperti putriku, aku belum pernah melawan alur itu. Aku menerima takdir yang sudah ditetapkan, karena kurasa hidup seperti itu sudah cukup." nada Marchioness menjadi lirih, "Ayahmu benar-benar membuatku jatuh cinta sampai-sampai merelakan kesempatan itu."

Perkataan Marchioness tidak dapat kucerna seluruhnya. Tetapi aku bisa memahami betapa harmonis keduanya dan betapa keduanya sayang pada anaknya. Sangat sayang — sampai-sampai mereka tidak bisa melepaskan keberadaan Lacie Berville yang telah tiada.

Jika aku bertanya sekarang...

"Lacie Berville..."

Marchioness memotong ucapanku dengan elusan di kepala, "Lacie adalah Lacie, siapapun dirimu kau tetaplah putriku yang terbaik. Kau harus menjalani hidupmu dengan baik. Cintai orang yang baik, jalani kehidupan yang baik — bahkan jika harus menggunakan cara yang berbeda, bahagialah."

Ah.

Aku tidak bisa menahannya lagi

Aku benar-benar lemah.
Pada kehangatan yang tak seharusnya kuterima ini, aku merasa tak berdaya.

Di pelupuk mataku, air berwarna bening turun perlahan. Aku tidak bisa menyembunyikannya dalam selimut dan aku tak sempat untuk mengucapkan alasan mengapa menangis. Hanya dengan air mata yang turun dan keheningan dari lilin di sudut kamar sudah cukup untuk membuat emosiku meluap.

Ctak.

"Ibu, Ayah sudah — "

Ruangan menjadi terang dalam seketika. Luzel Berville sialan, kenapa dia harus datang dan melihatku yang begini. Dasar antagonis jahat!

"Ah, Maaf. Karena pintunya terbuka..."

Marchioness tersenyum sambil menutupiku dengan selimut, "Tidak masalah, Luzel. Ibu yang salah karena lupa menutup pintu."

"Ibu akan menemui Ayah supaya kita berempat bisa tidur bersama", bisik Marchioness sebelum akhirnya meninggalkan tempat tidur.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakan Marchioness pada Luzel Berville dengan suara yang pelan. Tetapi apapun pembicaraan itu, hal itu pasti menjadi alasan Luzel Berville tidak pergi dari kamarku — selain karena kami akan tidur sekeluarga.

Yang jelas hanya karena kami ditinggalkan berdua, bukan berarti kami harus mengobrol. Aku menutup tubuhku dengan selimut dan menyeka air mataku. Kalau aku begini, bisa-bisa aku jadi protagonis.

"Kau tidak sekuat yang kupikirkan, tetapi kau juga tidak selemah yang kau pikirkan. Jadi, tidak masalah menangis, Lacie."

Pupilku melebar — terkejut. Sepanjang memerankan nama Lacie Berville, ini adalah pertama kalinya dia memanggilku dengan nama itu. Tetapi, aku tidak tahu apakah itu hanya salah dengar atau karena aku terlalu emosional untuk menciptakan keluarga bahagia. Yang jelas setelah Pasangan Berville datang dengan pelayan yang membawa tempat tidur tambahan, Luzel Berville tidak lagi memanggilku seperti sebelumnya.

{ ‡ ‡ ‡ }

Pagi yang cerah, pagi yang indah, dan pagi perpisahan — lagipula hanya setahun saja.

Ya, saat ini aku sedang membahas Luzel Berville yang akan pergi ke asramanya sekali lagi.

"Saat kau dewasa nanti, masa depanmu pasti sudah tertata."

Kabar bahwa Luzel Berville akan menjadi tangan kanan atau tepatnya ajundan Oz de Luserghx pasti sudah sampai ke telinga pasangan Berville. Posisi yang biasanya tidak mungkin didapatkan hanya karena favoritisme saja itu, dalam sekejap menjadi topik yang ramai dibicarakan bangsawan — atau begitulah kata Lyra. Jujur saja aku tidak tertarik dengan acara sosial, meskipun biasanya putra-putri bangsawan perlu melakukannya.

Marquess menyentuh kepala Luzel Berville yang nyatanya lebih tinggi darinya. Bocah gila, dia bahkan belum 18 tahun. Apakah nantinya dia akan setinggi menara?

"Ibu senang Luzel belajar dengan baik. Tetapi selalu ingat kesehatanmu dan sering-seringlah mengirim surat."

Marchioness tersenyum sambil menyentuh pundak Luzel Berville. Sebenarnya aku tidak pernah sadar, tetapi dibandingkan dengan Marquess — dia lebih takut dengan Marchioness? Atau hanya perasaanku saja.

Langkah Luzel Berville terhenti saat melihatku. Aku balas menatapnya sambil berpikir, 'Hanya setahun lagi dan aku akan bebas dari tragedi terkait Luzel Berville. Aku akan menunggu setahun itu, kemudian menciptakan keluarga yang bahagia'.

Kami canggung agak lama. Karena ini juga tradisi melepas kepergian, maka memberikan sepatah kata sudah menjadi kewajiban.
Apa yang harus kukatakan padanya? Jujur saja aku tidak memikirkannya sama sekali. Jadi apa yang kuucapkan saat ini adalah hasil tanpa pemikiran apapun.

"Sampai jumpa lagi tahun depan."

Dia mengangguk dalam hening, kemudian menaiki kereta kuda yang akan membawanya ke Akademi Crownlion.

Aku tidak pernah tahu sampai detik itu, bahwa kata-kata tersebut pada akhirnya tidak bisa ditepati.

{0-IV.0-I.II-I}

Tidak ada baris info.

No Longer A ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang