‡ Chapter XXII ‡ ~ "Langit Berwarna Merah, Salju Terukir Darah"

1.5K 285 12
                                    

Dalam sistem peraturan Kerajaan Aethra, perang antarkeluarga bangsawan lumrah terjadi. Setidaknya itulah bagaimana Kerajaan ini memangkas bangsawan yang tak pantas dan justru menciptakan kelemahan.

Surat izin resmi dari Raja?

"Aku tahu. Hanya saja aku tidak peduli." Rone tidak membalas ucapanku setelah mendengarkan jawabanku.

Aku tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini atau memikirkan hal-hal yang rumit seperti izin resmi perang. Kehormatan? Siapa peduli. Nama Berville saja sudah cukup untuk mendeklarasikan status itu.

Apa yang ingin mereka raih dengan mengusik Keluarga Berville? Apakah mereka pikir tindakannya tidak akan terbongkar. Ha. Hanya karena aku baru saja melakukan upacara kedewasaan? Mengada-ada saja.

"Mau menggantikan aku menangis lagi?"

Aku melirik Luzel Berville yang duduk di depanku, wajahnya datar dan terkesan tak acuh — andai saja dia memikirkan apa yang barusan diucapkannya.

Sangat lucu.

"Tidak ada alasan bagimu untuk menangis. Kau bahkan tidak dekat dengannya."

Luzel Berville melihat ke arah langit-langit dan membalas tanpa pembenaran. "Benar juga. Aku bahkan tidak ingat wajahnya."

Luzel Berville berdiri dan mengambil surat tadi kemudian membuangnya ke perapian. "Kau pasti menyukai pelayanmu sampai semarah ini."

Meskipun aku mengatakan 'perang' setelah membaca surat itu. Apakah dia pikir seseorang sepertiku yang selalu mengedepankan hal logis dalam setiap hal akan memberikan pernyataan tanpa alasan berdasarkan amarah.

"Kau pasti menganggapku lelucon. Apa kau pikir mereka benar-benar hanya pelaku dalam satu kasus saja?"

"Tsk. Memangnya kasus apalagi —"

Saat ucapan Luzel Berville terjeda, di detik itu aura disekitarnya berubah menjadi lebih dingin. Meskipun wajahnya datar, dia menatap dengan pandangan yang tajam.

"Saat kau mengatakan perang. Kita akan membunuh mereka semua bukan?"

"Tidak."

"Huh? KAU BERSIMPATI PADA MEREKA!!" Luzel Berville berseru, dia menarik lenganku dengan kasar.

"Simpati? Jangan mengatakan hal yang konyol." aku membalasnya dengan tatapan tak bergeming. "Aku akan membuat mereka tetap hidup dan menyiksanya sampai mereka sendiri yang menginginkan kematian."

Setelah percakapan yang tidak kuingat kelanjutannya. Luzel Berville dan Rone menuju aula terlebih dahulu. Dan dengan demikian — ruangan menjadi hampa.

Apakah aku sedang merasa kesepian... ataukah sedih? Aku benar-benar tidak tahu.

Jika ini adalah pertanda bahwa alurnya berubah, apakah aku harus senang atau tidak? Jika ada seseorang yang dikorbankan, bukankah ini artinya aku tetap melangkah di jalan protagonis?

"Marquess dan Marchioness... apakah mereka pelaku yang sama...?"

Aku berdiri tegak dan mengikat rambutku. Berlama-lama berpikir tanpa bertindak hanya akan menjadi hal sia-sia. Seiring berlalunya waktu, kehilangan orang-orang yang selalu berada disampingku adalah hal yang pasti. Suatu hari nanti aku akan terbiasa dengannya — dan menjadi baik-baik saja.

Aku akan baik-baik saja.

{ ‡ ‡ ‡ }

"Baru empat hari dan gadis ini sudah ingin melakukan perang — Barusan... kalian berpikir seperti itu, 'kan?"

No Longer A ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang