‡ Chapter X ‡ ~ "Perasaan yang Belum Selesai (2)"

2.5K 443 18
                                    

#2
“Apa yang kau harapkan dari sebuah kisah dengan tragedi sebagai alur utamanya?”

{ ‡ ‡ ‡ }

Aku banyak mendapatkan undangan dari bangsawan lain setelah mengadakan upacara kedewasaan. Bahkan — tak hanya itu — Lyra mengatakan padaku diantaranya juga terdapat undangan pertunangan.

Dan dengan alasan itu, aku tidak menyentuh sampah-sampah itu sama sekali. Berani sekali figuran seperti mereka menambah tragedi padaku.

"Lyra, apakah kau ingat saat aku hilang kesadaran selama beberapa hari?" aku melihat ke atas. Dari kursi taman, tampak jendela kamarku di lantai dua.

"Iya, saya ingat, Nona."

"...Apakah saat itu taman berisi bunga mawar merah?" tanyaku kembali.

Lyra tampak kebingungan. "Marchioness tidak pernah mengubah struktur taman sejak saya menjadi pelayan. Saya yakin taman mawar merah tidak ada di mansion ini."

Tetapi... aku mengingat dengan pasti yang kulihat dari bawah jendela kamarku hari itu adalah mawar merah.

Taman bunga Verbena dan taman bunga Mawar, siapapun tidak cukup gila untuk tidak tahu cara membedakannya.

Hah. Apakah ingatanku yang salah?

Ketika aku mengeluh pasrah, danau yang menjadi es perlahan mengepulkan embunnya. Aku tidak merasa kedinginan saat ini karena lemariku penuh dengan pakaian tebal. Luzel Berville tidak bercanda saat dia mengatakan akan membuang seluruh pakaian tipisku.

Aku menunduk dan melihat kuncup bunga Verbena yang bersembunyi.

"Aku dengar dari Lyra, Lacie sangat menyukai bunga di taman. Apa itu benar?"

Marchioness mengejutkanku dari belakang, aku yang sedang menatap bunga Verbena sambil jongkok seketika langsung berdiri. "Ah, Ibu? Saya tidak menyadarinya."

Biasanya aku selalu bertindak sesukaku. Karena Lyra selalu melaporkan padaku jika ada orang lain yang akan datang. Tapi kali ini dia tidak melakukannya. Apakah dia tidak memasukkan Marchioness sebagai kategori orang lain?

"Kalau diingat-ingat, sebelumnya taman ini berisi mawar merah. Tetapi, aku lebih suka warna ungu bunga ini."

"Warnanya cantik," balasku.

"Ya, bunga ini adalah lambang pengingat bagi Ibu."

Suara Marchioness memelan sambil melihat bunga tersebut. Setelah dipikir-pikir, aku tidak pernah melihat Marchioness keluar dari kediaman ini kecuali bersama Marquess. Aku tidak tahu apa kesibukannya, tetapi dia juga tidak terlihat sebebas itu untuk pergi ke pertemuan para Marchioness.

Jika Marchioness bukanlah orang yang sedang mencoba untuk menghindari sesuatu. Dia pasti merasa bosan dengan kehidupannya saat ini.

"Ibu, apakah Ibu kesepian? Saya tidak pernah melihat Ibu dengan orang lain selain Ayah."

Pertanyaanku menimbulkan senyum di mata Marchioness. "Sebelum kalian lahir, aku sudah menjalani kehidupan yang memuaskan. Saat ini aku sedang melakukan peranku." ucapnya, "Seperti opera yang terakhir kali kita tonton."

Aku menatap Marchioness dengan bingung, segala tentangnya tidak begitu dijelaskan di game Secret Princess — karena itu aku tidak mengerti dia karakter yang seperti apa.

"Ngomong-ngomong selera warnamu sudah berubah, ya? Seingat Ibu, kau jarang memakai yang gelap. Ah, kalau diingat-ingat, setelah dua tahun lalu, Lacie sangat berubah ya."

Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Marchioness. Perkataannya seakan menampar tepat di pipiku dan menegaskan 'Kau bukan Lacie'.

"Apakah Ibu benci dengan perubahan saya?" gumamku.

No Longer A ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang