«« "Selingan Chapter VI" »»

2.2K 398 6
                                    

Marchioness tertawa saat melihat opera di tengah kota.

Mungkin karena opera bukan selera kami, aku dan Marquess hanya diam sambil bertanya-tanya bagian mana dari pertunjukkan opera tersebut yang dianggap lucu.

"Oh, ini opera yang disukai Luzel. Sayang sekali dia tidak ikut."

Aku menatap panggung yang dilihat oleh Marchioness. Opera kesukaan Luzel Berville?

Aku tidak pernah tahu dia juga bisa menyukai sesuatu. Tetapi sayang sekali karena dia tidak akan bisa menikmati pertunjukkan opera lagi sebelum lulus.

Hari ini — Luzel Berville akan meninggalkan mansion. Bahkan, aku yakin saat ini dia sedang menyusun tasnya menuju ke asrama. Dia selalu begitu, keras kepala dan tidak bisa berpikir dewasa. Satu-satunya yang bagus tentangnya adalah wajahnya.

Aku melirik ke samping. Marchioness masih tertawa menonton pertunjukan. Saat tertawa matanya akan membentuk bulan sabit yang elegan. Sekalipun Marquess tidak menyukai opera, Ia ikut tertawa saat Marchioness tertawa.

Pasti bagus kalau Lacie Berville bukanlah anak adopsi, aku tidak perlu merasakan kesenjangan diantara hubungan kami.

"Dan mereka pun hidup bahagia selamanya."

Dengan diakhiri tepukan tangan dan kelopak bunga di atas panggung, akhirnya opera itu berakhir. Kata-kata seperti 'hidup bahagia selamanya' sama sekali tidak bisa kupercaya.

Saat kau hidup, kau tidak akan bisa selalu bahagia. Itu adalah kutukan yang mutlak untuk manusia. Jadi kata-kata seperti 'hidup bahagia selamanya' hanyalah omong kosong.

"Lacie, bagaimana kalau kita pergi ke tempat ramalan?"

Pertanyaan Marchioness seketika membuat Marquess tersentak. "Apakah itu tempat ramalan yang kupikirkan?"

"Ya. Itu adalah tempat Ayah dan Ibu putus."

Oh. Eh? Saking di luar dugaannya aku sampai bingung harus berekspresi seperti apa.

"Kalau diingat-ingat itu sudah lama sekali sejak Ayahmu menjadi penghancur hati wanita." Marchioness tersenyum dengan cara yang aneh.

"Tu-Tunggu, Isavella..."

"Dia jahat sekali menjadikan ramalan sebagai alat untuk memutuskan hubungan kami. Tetapi karma terjadi padanya..." Marchioness berbisik. "Lihat, dia kembali pada Ibu. Ah, nostalgianya!"

Marquess menyembunyikan wajah merahnya. "Istriku, tolong jangan mengungkit masa lalu."

Aku tertawa mendengar ucapan malu-malu Marquess. Apakah Marquess pernah mencampakkan Marchioness lalu kembali padanya? Cerita mereka tampaknya lebih manis jika didengarkan.

Dengan cerita-cerita kecil Marchioness, kami sampai di sebuah tempat dengan kondisi yang terbilang menakjubkan. Aku tidak mengira kalau tempat ramalan akan semodern ini.

"Selamat datang Nona dan Tuan Pelanggan."

Kami disambut oleh suara dari balik tirai merah. Sulit memastikan apakah dibaliknya adalah seorang pria atau wanita. Dan rupanya, aku tetap tidak menemukan jawabannya — sebab peramal yang baru saja bicara tersebut, rupanya mengenakan jubah yang menutupi wajahnya.

"Saya adalah Arexin Frohrie, sebuah kehormatan didatangi oleh keluarga bangsawan."

Ibu tertawa kecil saat mendengar nama yang sekali lagi sulit ditebak apakah ia pria atau wanita, yang jelas Marquess tampak tidak senang dengan tempat ini.

"Aku ingin mengenalkanmu pada putriku, Rex."

"Aku tahu," tiba-tiba peramal itu menghentikan bahasa formalnya. "Tetapi Bella, bukankah cukup kejam bagimu untuk datang kesini setelah bertahun-tahun lamanya?"

No Longer A ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang