Satu hari setelah Marquess dan Marchioness Berville meninggal, hidupku berubah menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Aku merasa sia-sia terjebak dalam peran bernama Elcie dan aku merasa takut pada peran bernama Lacie Berville. Tiap kali aku melingkari kalender untuk menghitung pergantian hari, rasanya aku semakin mendekat pada perangkap bernama penjara identitas hingga aku lebih memilih untuk mengakhiri semuanya.
Tetapi pada akhirnya, aku masih tidak mati, aku masih tidak bisa mati. Seiring berlalunya waktu aku juga menyadari bahwa mengakhiri sesuatu bukanlah peran yang diperbolehkan untukku. Pedang yang menjadi simbol kekuatan itu tak bisa membunuh siapapun, begitu diayunkan-pedang itu akan jatuh, patah, atau hancur dengan sendirinya.
Dan meski aku hidup dalam peran terbaik sebagai protagonis, kisah ini sekali lagi bukan sebuah novel yang memiliki akhir bahagia dengan jelas. Ini adalah sebuah peran dalam permainan yang memiliki banyak akhir tragedi dibandingkan akhir yang bahagia. Peran kusut ini, hidup yang tak kumiliki, tempat dimana aku ditolak, dan ketiadaan hak bahkan hanya untuk mengendalikan takdirku sendiri-dunia ini begitu kejam bahkan mengambil memori milikku.
Aku sudah tidak memiliki keinginan untuk mengeluarkan air mata lagi, alih-alih hanya tersenyum seperti orang yang tak berdaya. Jadi mengapa diantara setiap perasaan yang sudah terhapus itu, perasaan menyakitkan dari afeksi Lacie Berville pada kakaknya tetap tak bisa hilang. Seolah memberikan bom waktu yang akan meledak suatu saat. Dan meski sangat menyakitkan, aku hanya bisa memberinya tatapan dingin yang sama seperti cermin dua arah.
"Kau memang tak terlalu peduli dengan aturan kerajaan, bukan?"
Mataku mengarah pada kumpulan kunci di tangannya-tangan Luzel Berville. Aku tidak pernah tahu bahwa Luzel Berville sangat berhati-hati dengan mansionnya, dia punya kunci kedua untuk semua pintu di mansion Berville, bahkan untuk ruang kerja pribadi yang seharusnya hanya boleh dibuka oleh seorang Marquess.
Meski musim dingin hampir berakhir, dia masih menggunakan pakaian yang tebal. Dan matanya yang seharusnya lebih cocok dikatakan merah membara, lebih terlihat seperti merah yang dingin. Dia tidak menyalakan penerangan sehingga di ruangan yang minim cahaya itu hanya terlihat wajahnya yang menghembuskan putih salju dan tangannya yang menggenggam selembar sketsa dari Alrich Hayden.
Aku menyalakan penerangan sementara Luzel Berville perlahan menunjukkan wajahnya. Ekspresi dinginnya yang biasanya seperti salju, entah mengapa kini terasa seperti titik balik matahari musim dingin. Dia menatapku, menggenggam kertas di tangannya dengan erat hingga hampir hancur.
"Apakah sketsa ini adalah gadis yang akan menggantikan dirimu? Dimana dia akan bersikap seolah-olah mengenalku sepanjang hidupku dan dia akan memanggil dirinya Lacie Berville lalu berusaha untuk terlihat seperti adikku dengan memanggilku Kakak?" Luzel Berville memberikan jeda pada ucapannya, lalu menyeringai dingin seakan-akan telah mengalami sebuah pengkhianatan. "Seperti yang orangtuaku lakukan sebelumnya? Apakah adikku adalah peran yang bisa digantikan siapa saja? Apakah hanya aku yang aneh di keluarga ini?"
Aku tidak ingin kau mati, karena jika aku melihatmu mati mungkin aku juga akan memutuskan untuk mati.
Aku tidak bisa mengatakannya. Kebenaran bahwa ada kemungkinan diantara aku dan Luzel Berville hanya satu yang hidup. Bahwa dalam sisa ingatan dalam game Secret Princess, aku tidak pernah melihat akhir dimana kita berdua hidup dalam satu waktu. Aku tidak keberatan untuk mati, tetapi jika aku harus mati maka biarkan aku mati dengan tenang bukan karena alur dalam sebuah cerita. Dan keinginan itu akan terlalu sulit jika aku terus berada disini karena kita berdua adalah benang merah yang menjadi roda penggerak dalam permainan ini. Aku sudah melihat bagaimana pasangan Berville tetap terjebak dalam cerita yang asli, jadi itu tidak akan ada bedanya dengan kita berdua kecuali ada roda baru yang diganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer A Protagonist
FantasyJika kebahagiaan hanya bisa diraih dengan tragedi, masihkah kau ingin meraihnya? Tidak. Entah sebesar apapun kebahagiaan tersebut. Seseorang yang memilih tragedi untuk meraih kebahagiaan. Bahkan sekalipun ia tahu tragedi macam apa yang akan menimpan...