"...?"
Kedua iris emas gadis itu memandang ke langit. Mengenakan pakaian tipis di tubuhnya dan rambut panjang dikuncir dua rendah berantakan, seolah dia melihat hal luar biasa di atas sana, tatapannya begitu intens. Di sisi lain membuat laki-laki yang berada di sampingnya bergidik ngeri.
Saat keduanya berpisah sesaat untuk menyelesaikan misi, gadis disebelahnya itu terus melakukan hal-hal yang tidak ada dalam rencana. Melanggar aturan sendiri, menggerutu, dihukum, lalu melakukan pelanggaran lagi. Intinya gadis itu sangat mengkhawatirkan.
Kini pun caranya memegang belati dalam posisi terbalik, sudah lebih dari cukup untuk membuat laki-laki disampingnya itu menegurnya. "...Berapa lama kau akan melakukan itu?"
"Apa?"
"Adelise—kau—sejak tadi kau menatap langit dengan intens seolah-olah sedang mengajaknya bertengkar." jelas laki-laki itu, dengan lambang beraksara Ceiven pada dadanya. "Ada apa?"
"Tidak ada hal khusus." Gadis itu melempar belatinya ke belakang, tepat mengenai burung yang hinggap di dahan. "Rasanya seperti ada orang yang kukenal mati."
{ ‡ ‡ ‡ }
Rangkaian bunga mawar yang asing memenuhi mansion Berville. Satu sketsa besar berwarna hitam putih itu memperlihatkan seorang laki-laki dengan ekspresi dinginnya. Sementara seorang gadis dengan penampilan mirip berdiri tegak disana, tidak ada yang cukup berani untuk menebak ekspresinya.
"Seseorang membunuh Luzel Berville."
Satu pernyataan itu tampaknya sudah cukup membungkam semua orang. Bagi mereka, kabar yang beredar secara cepat itu adalah tragedi. Resikan di segala kalangan berempati betapa terlukanya gadis itu — Lacie Berville — saat mengetahui fakta ini. Sebab, lebih dari siapapun, Lacie lah yang paling berharap agar laki-laki yang kini bersemayam pada kotak itu tetap hidup.
Memang, dia pantas untuk mendapat hukuman mati. Tetapi, gadis itu terus saja berusaha menyelamatkannya. Hukuman mati yang seharusnya diberikan, turun menjadi hukuman penjara seumur hidup, kemudian hukuman itu kembali turun menjadi pengasingan.
Padahal pengampunan sama sekali tidak bisa diberikan pada keangkuhan seseorang seperti laki-laki itu. Tetapi dia bekerja keras lebih dari siapapun untuk mengejar seseorang yang tidak pernah mau menerimanya itu. Dan kali ini pun, setelah semua usaha yang dia lakukan, pada akhirnya laki-laki itu memang ditakdirkan untuk mati.
"Lacie..."
Laki-laki yang baru saja datang dan dengan berani menghampiri gadis itu adalah sang pangeran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keduanya mungkin akan menjadi pasangan di masa depan. Tetapi, sekarang entahlah. Nama Berville kini hanya tersisa pada gadis itu, kecuali jika dia ingin tidak peduli dengan hilangnya nama Berville. Sebuah hal di luar dugaan pasti terjadi. Itulah kenapa para bangsawan lain mulai heboh mengirimkan putri mereka.
"Lacie, dia tidak pernah memperdulikanmu, dia juga tidak pernah menyukaimu, jadi jangan menyakiti dirimu lagi, sekarang dia sudah benar-benar meninggalkanmu."
Pangeran mengira gadis itu menunduk karena menyembunyikan air matanya, jadi dia berusaha menghiburnya. Tetapi yang terlihat dari wajahnya yang terangkat hanyalah senyuman tipis — seakan-akan memaksakan diri. Dan entah untuk alasan apa, laki-laki itu ikut menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah.
"Kau pasti merasa tidak adil, tetapi sekalipun aku membencinya, aku sungguh tidak melakukan apapun padanya." ucapnya mengepalkan tangan.
Gadis itu mengangguk, "Aku tahu, Oz. Kau bukan orang yang suka mengingkari janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer A Protagonist
FantasyJika kebahagiaan hanya bisa diraih dengan tragedi, masihkah kau ingin meraihnya? Tidak. Entah sebesar apapun kebahagiaan tersebut. Seseorang yang memilih tragedi untuk meraih kebahagiaan. Bahkan sekalipun ia tahu tragedi macam apa yang akan menimpan...