Kisah yang selalu didambakan semua orang, kisah yang berakhir dengan bahagia. Tetapi di mata kalian, aku hanyalah karakter dari sebuah scene di antara banyaknya skenario. Dan kalian akan selalu berperan sebagai seorang bystander. Bukankah begitu kebenarannya? Tetapi, kita lebih suka menyangkal hal yang disebut kebenaran.
{ ‡ ‡ ‡ }
"Seperti yang Anda duga, salah satunya berasal dari pihak kerajaan," terang ksatria itu — Rone — memberikan laporannya pada Luzel. "tetapi saya tidak menemukan darimana mata-mata yang satunya berasal."
Mata merah scarlet Luzel menyala — iris tersebut seakan melahap habis api di setiap sudut dunia dan menanggalkan warna putih pada salju. Ekspresinya yang sejak tadi datar menjadi lebih dingin. Memandang Rone seakan dia memberikan pernyataan paling tak ingin didengarnya.
"Apakah kau ingin mati? Laporan tak berguna macam apa ini?"
Rone menundukkan kepalanya, mencari celah untuk menghindari mata yang menatapnya dengan tajam, "Maafkan saya. Saya kesulitan mencari siapa yang mengutusnya karena mata-mata tersebut mengintai Marquess Lacie tanpa waktu yang konsisten. Dia juga sangat mudah menyadari keberadaan saya, tetapi saya memiliki spekulasi bahwa dia tidak berasal dari tempat ini. Tekniknya terlalu berbeda."
"Tsk. Aku membiarkan mereka hidup untuk menunjukkan seperti apa Adikku. Jika mereka hanya akan menjadi ancaman artinya mereka tidak berguna lagi," kata-kata selanjutnya seperti biasa menjadi perintah yang selalu didengar Rone. "Kembalilah ke mansion besok dan bunuh mereka semua."
"Baik, Tuan Muda Luzel."
"Lalu," Luzel membalikkan tubuhnya, mengetuk kakinya seraya melihat lukisan dinding berwarna wine. "Carikan lilin aromaterapi."
"Baik, akan segera saya cari."
{ ‡ ‡ ‡ }
Tiap kali terbangun, pemandangan itu selalu sama — warna putih yang mengguyur dan hawa dingin yang perlahan menusuk. Lalu, aroma khas yang entah berasal dari mana.
Tetapi mungkin hari ini akan sedikit berbeda. Aku bermimpi — setelah kehilangan mimpiku selama dua tahun terakhir... akhirnya aku bermimpi.
Tidak ada yang menarik dengan mimpinya. Hanya ada aku — berdiri di samping tubuh Lacie Berville yang sedang tidur. Rambut merah wine yang panjang dengan mata tertutup yang damai, nafas yang beraturan, dan ekspresi yang tampak — kesepian.
Itu bukanlah eskpresiku. Aku tahu itu dengan pasti, sebab, tidak ada alasan bagiku untuk memberikan ekspresi yang menyedihkan. Terlebih, itu adalah eskpresi dari seseorang yang menghabiskan waktunya untuk mengejar afeksi, mencari pengakuan, dan menyakiti dirinya sendiri — Lacie Berville yang sebenarnya. Membuatku bertanya-tanya apakah mimpi ini dimaksudkan supaya aku mengingat tubuh siapa yang sedang kupakai.
Aku duduk di atas lantai, meletakkan kedua lenganku ke tepian tempat tidur dan menyenderkan kepalaku disana seraya menatap pada wajah yang selalu kulihat di cermin itu.
Menyedihkan.
"Walau kau menunjukkan ekspresi seperti itu, aku tidak akan berubah pikiran." secara tidak sengaja aku bergumam. Padahal aku tahu dia tidak akan memberikan jawaban, tetapi aku justru bicara dengannya. Rasanya seperti menjadi orang bodoh yang sedang bermonolog.
"Hei... Lacie Berville — apakah kau masih tidak mau menerima kenyataan bahwa aku sudah menyerah dengan Luzel Berville?"
Aku dengan bodohnya tetap berbicara sendiri. Ah, terserahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer A Protagonist
FantasyJika kebahagiaan hanya bisa diraih dengan tragedi, masihkah kau ingin meraihnya? Tidak. Entah sebesar apapun kebahagiaan tersebut. Seseorang yang memilih tragedi untuk meraih kebahagiaan. Bahkan sekalipun ia tahu tragedi macam apa yang akan menimpan...