Chap. 35

1.6K 165 16
                                    


####

Pagi ini Naira terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Wanita itu mengucek sebentar matanya lalu beranjak dari kasurnya.

Dia ingin salat sekarang, tetapi tenggorokannya terasa kering, ia juga ceroboh karena tidak membawa segelas air putih di kamarnya. Setelah memakai jilbab instannya, wanita itu berjalan linglung menuju dapur dengan sendal tidur beruangnya.

Ceklek

Kantuk Naira seketika hilang, wanita itu sedikit melotot melihat Pak Hariz yang juga baru saja membuka pintu. Mereka nampak sama-sama terkejut, apalagi Naira yang melihat Pak Hariz tanpa menggunakan  kacamatanya.

"Pak Hariz ngapain keluar?" tanya Naira.

"Itu yang harusnya saya tanyakan sama kamu." Nah kan, bukannya menjawab, lelaki itu justru tidak memberikan jawaban yang Naira inginkan. "Aku cuma mau minum doang."

Tanpa berkata-kata lagi Naira melanjutkan langkahnya menuju dapur. Wajah Pak Hariz sungguh aneh, bisa-bisanya dengan menatap wajah itu kantuk Naira menghilang seketika.

Wanita itu mengambil gelas kaca dari atas meja lalu mengisinya dengan air mineral, sambil meneguk Naira masih memikirkan kejadian tadi, tidak mungkin mereka terbangun di waktu yang bersamaan. Mungkin karena alarm Naira yang terlalu besar hingga ikut membangunkan Hariz, tapi kalau diingat lagi, Naira sama sekali tidak memasang alarm.

"Melamun saat seperti ini tidak baik." Naira terperanjak kerika mendengar suara lelaki di sampingnya.

"S-siapa yang melamun?"

Hariz menghela napas. Wanita memang seperti itu, selalu mengelak dari fakta yang sebenarnya. "Lupakan," ujarnya dengan mengambil gelas baru di atas meja.

"Pakai gelas  ini aja, Pak." Naira menyerahkan gelas bekal minumnya.

Hariz menaikkan alisnya sebelah. Apakah Naira bermaksud untuk Hariz meminum air di gelas yang sama dengannya layaknya Rasulullah yang minum di gelas bekas Aisyah? Sangat menarik. Tersentuh? Tentu saja.

"Anu, soalnya nanti cucian piring menumpuk lagi hehe, jadi pakai aja lagian gelas ini masih bersih kok atau mau aku cuciin dulu?"

Hariz terdiam beberapa saat. Ekspektasinya ternyata terlalu tinggi, Naira melakukan ini hanya karena tidak ingin cucian piring menumpuk. Harusnya lelaki itu sadar. "Tidak perlu, biarkan saja seperti itu." Hariz mengambil gelas dari tangan Naira lalu mengisi penuh dengan air mineral.

Naira tersenyum. "Maaf, Pak. Aku hanya ingin menjalankan sunnah Rosul bersamamu dengan alasan seperti ini." Naira membatin. Berusaha membuka hati, itulah yang wanita itu lakukan saat ini.

Naira dan Hariz memang telah terikat hubungan yang suci, tetapi antara mereka berdua masih terdapat dinding yang kuat bernama ego. Keduanya masih memiliki ego masing-masing. Naira yang masih menjaga jarak pada Pak Hariz karena takut membuat Pak Hariz merasa tidak nyaman ketika dekat dengannya, sedangkan Pak Hariz sudah menyadari perasaannya, tetapi belum percaya pada diri sendiri untuk menyatakannya secara langsung.

"Yaudah, kalau gitu aku mau salat subuh dulu." Naira berjalan lebih dulu menuju kamarnya, sementara Hariz masih berdiri di tempat hanya bisa memendam rasa ingin mengajak wanita itu salat bersama. "Mungkin dia masih ragu."

RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang