Chap. 29

1.3K 137 7
                                    


Tandai jika berjumpa dengan typo:v

####

"Nai, nggak mau nikah, Mah."

Aisyah sedikit terkejut mendengar perkataan anaknya itu. "Lho, kenapa?"

Tanpa mengatakan apa-apa, Naira lalu memeluk tubuh Aisyah dengan terisak. "Hiks ... kalau Naira menikah, pasti Naira bakal ninggalin Papa,  Mama dan Raihan. Kalau boleh, Nai nggak mau nikah selamanya, Mah. Naira mau sama keluarga Naira selamanya!" Pernyataan ini semakin membuat Aisyah terkejut.

"Kok ngomong gitu, Nai? Kamu nggak boleh seperti itu, Nak. Kalau memang jodoh kamu sudah datang, maka itu sudah rezeki dari Allah. Kamu harus bisa memikirkan masa depan kamu, Sayang." Aisyah mengelus puncak kepala Naira. Harus ia akui, dirinya pun sedih melihat kedua putri kembarnya kini akan meninggalkan mereka.

Namun, sebagai orang tua tentunya cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi dan sudah menjadi kewajiban Aisyah untuk menerima dengan lapang dada dan mendukung putrinya. "Mama sama Papa nggak bisa jagain kamu selamanya, Nak. Waktu akan terus berputar dan usiapun akan selalu berjalan hingga waktu yang tepat akan tiba dan membuat kami berhenti berjalan. Kamu itu udah dewasa, Naira. Kamu sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan keputusanmu salah, Sayang."

Naira melerai pelukannya. "Bagaimana kalau Naira jadi jauh ama Mama dan Papa?"

Aisyah tersenyum. "Itu tidak akan terjadi. Pintu rumah akan selalu terbuka untuk kamu dan Khaira. Kalian itu putri kecil mama dan Papa, bukti cinta kami berdua dan bukan berarti jika kalian sudah menikah maka kalian akan melupakan orang tua kalian."

Naira menunduk, ia lalu mengusap air matanya. "Maafin Nai, Mah. Naira udah bersikap egois."

Aisyah tersenyum haru. "Jadi gimana?"

"Gimana kenapa, Mah?"

"Keluarga Pak Angga udah nunggu di bawah lho." Naira melotot. Wanita lupa bahwa saat ini ada orang yang sedang menantikannya.

"Ya Allah, Mah! Duh, bentar Nai ganti jilbab dulu." Aisyah terkekeh melihat putrinya itu. "Kamu benar, Mas. Sebesar apapun putri kita, di mata orang tua mereka tetaplah putri kecil yang menggemaskan."

"Gini udah pas, belum?" tanya Naira dengan memperlihatkan hijab bergo warna army ukuran jumbonya. Aisyah tersenyum. "Udah cantik!"

Naira tersenyum kikuk. Mereka berdua pun berjalan meninggalkan kamar Naira. Entah mengapa suasana jantung wanita itu kini sedang tidak baik. Kedua tangannya menjadi dingin seketika. "Ya Allah, kok aku jadi gugup sih?"

"Eh, Mama duluan aja ya, Nai mau bantu Bi Ipah buat bikin minuman." Aisyah mengangguk menyetujui, setelah menuruni tangga Naira langsung berjalan menuju dapur. Di sana sudah ada Bi Inah yang sudah membawa nampan kue dan Bi Ipah yang sudah selesai dengan urusan minuman.

"Bi, biar Nai yang bawa minumannya, ya."

"Tapi, Non ...."

"Udah, Bi. Nai bisa kok." Dengan penuh hati-hati Naira lalu membawa nampan berisi minuman tersebut ke ruang tamu.

Melihat keadaan ruang tamu yang ramai, membuatnya seketika kembali gugup. Ia berjalan perlahan mendekati meja lalu menyimpan nampan tersebut di atasnya. Ia bahkan tidak mampu menatap semua orang yang ada di sana, tentu termasuk Pak Hariz.

RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang